Nasabnya ialah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib (namanya Syaibatu al-Hamid) bin Hisyam bin Abdi Manaf (namanya al-Mughirah) bin Quraisy (namanya Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazar bin Mu’iddu bin Adnan.
Itulah nasab Rasulullah ﷺ yang telah disepakati. Selebihnya dari yang telah disebutkan di atas masih diperselisihkan. Tetapi hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi ialah, bahwa Adnan termasuk anak keturunan Isma’il, Nabi Allah, bin Ibrahim, kekasih Allah. Dan bahwa Allah telah memilihnya (Nabi ﷺ) dari kabilah yang paling bersih, keturunan yang paling suci dan utama. Tak sedikitpun dari karat-karat Jahiliyah yang menyusup ke dalam nasabnya.
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak Isma’il dan memilih Quraisy dari Kinanah, kemudian memilih Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim.“
Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan pada tahun Gajah, yakni tahun dimana Abraham al-Asyram berusaha menyerang Mekkah dan menghancurkan Ka’bah. Lalu Allah menggagalkan dengan mu’jizat yang mengagumkan, sebagaimana diceritakan di dalam Al-Qur’an. Menurut riwayat yang paling kuat jatuh pada hari Senin malam 12 Rabi’ul Awwal.
Ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Bapaknya, Abdullah, meninggal ketika ibunya mengandungnya dua bulan. Lalu ia diasuh oleh kakeknya Abdul Muththalib, dan disusukannya sebagaimana tradisi Arab waktu itu kepada seorang wanita Bani Sa’d bin Bakar, bernama Halimah binti Dzu’aib.
Para perawi Sirah telah sepakat bahwa pedalaman Bani Sa’d pada waktu itu sedang mengalami musim kemarau yang menyebabkan keringnya ladang peternakan dan pertanian. Tidak lama setelah Muhammad berada di rumah Halimah, tinggal di kamarnya dan menyusu darinya, menghijaulah kembali tanaman-tanaman di sekitar rumahnya, sehingga kambing-kambingnya pulang kandang dengan perut kenyang dan sarat air susu.
Selama keberadaan Nabi ﷺ di pedalaman Bani Sa’d terjadilah peristiwa pembelahan dada sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim kemudian ia dikembalikan kepada ibunya setelah genap berumur lima tahun.
Ketika sudah berumur enam tahun, ibunya, Aminah, meninggal dunia. Kemudian berada dalam asuhan kakeknya, Abdul Muththalib. Tetapi setelah genap berusia delapan tahun, ia ditinggal oleh kakeknya. Setelah itu dia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.
Beberapa Ibrah
Dari bagian Sirah Nabi ﷺ di atas dapat diambil beberapa prisip dan pelajaran yang penting antara lain :
1. Di dalam nasab Nabi ﷺ yang mulia tersebut terdapat beberapa dalil yang jelas, bahwa Allah mengutamakan bangsa Arab dari semua manusia, dan mengutamakan Quraisy dari semua kabilah yang lain. Hal ini dengan jelas dapat kita baca pula di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Juga terdapat hadits-hadits lain yang semakna, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah berdiri di atas mimbar kemudian bersabda : “Siapakah aku?” Para sahabat menjawab, “Engkau adalah Rasul Allah, semoga keselamatan atasmu.“ Nabi ﷺ bersabda : “Aku adalah Muhammad bin Adullah bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk (manusia) kemudian Dia menjadikan mereka dua kelompok, lalu menjadikan aku di dalam kelompok yang terbaik, kemudian Dia menjadikan mereka beberapa kabilah, dan menjadikan aku di dalam kabilah yang terbaik, kemudian Dia menjadikan mereka beberapa rumah, dan menjadikan aku di dalam rumah yang terbaik dan paling baik jiwanya.“
Ketahuilah, bahwa di antara konsekuensi mencintai Rasulullah ﷺ ialah mencintai kaum dan kabilah di mana Rasulullah ﷺ lahir, bukan dari segi individu dan jenis, tetapi dari segi hakekat semata. Ini karena hakekat Arab Quraisy telah mendapatkan kehormatan dengan bernasabkan Rasulullah ﷺ kepada kabilah tersebut.
Hal ini tidaklah bertentangan dengan adanya orang-orang Arab atau Quraisy yang menyimpnang dari jalan Allah, dan merosot tingkat kehormatan Islamnya. Karena penyimpangan atau kemerosotan ini secara otomatis akan memutuskan dan menghapuskan kaitan nisbat antara mereka dan Rasulullah ﷺ.
2. Bukan suatu kebetulan jika Rasulullah ﷺ dilahirkan dalam keadaan yatim, kemudian tidak lama kehilangan kakeknya juga, sehingga pertumbuhan pertama kehidupannya jauh dari asuhan bapak dan tidak mendapat kasih sayang dari ibunya.
Allah telah memilihkan pertumbuhan ini untuk Nabi-Nya karena beberapa hikmah. Di antaranya agar musuh Islam tidak mendapatkan jalan untuk memasukkan keraguan ke dalam hati, atau menuduh bahwa Muhammad ﷺ telah mereguk susu dakwah dan risalahnya semenjak kecilnya, dengan bimbingan dan arahan bapak dan kakeknya. Sebab kakek Abdul Muththalib adalah seorang tokoh di antara kaumnya. Kepadanyalah tanggungjawab memberikan jamuan makan dan minum para hujjaj diserahkan. Adalah wajar bila seorang kakek atau bapak membimbing dan mengarahkan cucu atau anaknya kepada warisan yang dimilikinya. Hikmah Allah telah menghendaki agar musuh-musuh Islam tidak menemukan jalan kepada keraguan seperti itu, sehingga Rasul-Nya tumbuh dan berkembang jauh dari tarbiyah (asuhan) bapak, ibu, dan kakeknya. Bahkan masa kanak-kanaknya yang pertama, sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala, harus dijalani di pedalaman Bani Sa’d jauh dari seluruh keluarganya. Ketika kakeknya meninggal, ia berpindah kepada asuhan pamannya, Abu Thalib, yang hidup sampai tiga tahun sebelum hijrah. Sampai akhir kehidupannya, pamannya tidak pernah menyatakan dirinya masuk Islam. Ini juga termasuk hikmah lain, agar tidak muncul tuduhan bahwa pamannya memiliki saham, di dalam dakwahnya, dan bahwa persoalannya adalah persoalan kabilah, keluarga kepemimpinan dan kedudukan.
Demikianlah Allah menghendaki agar Rasulullah ﷺ tumbuh sebagai yatim, dipelihara oleh inayah Allah semata, jauh dari tangan-tangan yang memanjakannya, dan harta yang akan membuatnya hidup dalam kemegahan, agar jiwanya tidak cenderung kepada kemewahan dan kedudukan. Bahkan agar tidak terpengaruh oleh arti kepemimpinan dan ketokohan yang mengintainya, sehingga orang-orang akan mencampur-adukkan kesucian nubuwah dengan kemegahan dunia, dan agar orang-orang tidak menuduhkan telah mendakwahkan nubuwwah demi mencapai kemegahan dunia.
3. Para perawi Sirah nabawiyah telah sepakat bahwa ladang-ladang Halimah as-Sa’diyah kembali menghijau setelah sebelumnya mengalami kekeringan. Bahkan kantong susu untanya ynag sudah tua dan telah berhenti meneteskan air susu, kembali memproduksi air susu lagi. Kejadian ini menunjukkan ketinggian derajat dan martabat Rasulullah ﷺ di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan semenjak kecilnya, di antara bentuk kemuliaan Allah kepadanya yang paling menonjol adlaah pemuliaan Allah kepada rumah Halimah as-Sa’diyah lantaran keberadaannya dan penyusuannya di rumah itu. Hal ini tidak aneh, sebab syari'at Islam juga mengajarkan kepada kita agar, pada waktu terjadi kemarau, meminta hujan (kepada Allah) dengan parantaraan orang-orang shaleh dan keluarga rumah Rasulullah ﷺ karena mengharapkan terkabulnya do’a kita.
Kehadiran dan keberadaan Rasulullah ﷺ di tempat ini menjadi sebab utama bagi datangnya berkah dan pemuliaan Ilahi. Ini karena Rasulullah ﷺ merupakan rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam firmannya : “Dan kami tidak mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi segenap alam“.
4. Peristiwa peembelahan dada yang dialami oleh Rasulullah ﷺ ketika berada di pedalaman Bani Sa’d dianggap sebagai salah satu pertanda kenabian dan isyarat pemilihan Allah kepadanya untuk suatu perkara besar dan mulia. Peristiwa ini telah diriwayatkan dengan beberapa riwayat yang shahih, dan dari banyak sahabat. Di antaranya adalah Anas bin Malik dalam suatu riwayatnya yang dikeluarkan oleh Muslim : Bahwa Rasulullah ﷺ didatangi oleh Jibril ketika beliau sedang bermain-main dengan anak-anak sebayanya. Kemudian Jibril mengambilnya dan menelentangkannya. Lalu Jibril membelah hati (dada)-nya dan mengeluarkannya. Kemudian (Jibril) mengeluarkan suatu gumpalan (‘alaqah) darinya, lantas berkata “Ini adalah bagian setan yang ada padamu.“ Kemudian (Jibril) mencucinya di dalam bejana emas dengan air zam-zam, lalu mengembalikannya ke tampatnya semula.
Melihat peristiwa ini anak-anak yang sedang bermain dengannya lari menuju ibu susunya secara berseru, “Muhammad telah dibunuh“. Maka mereka mendatangi dengan penuh cemas.
Tujuan peristiwa ini wallahu a’lam, bukan untuk mencabut kelenjar kejahatan di dalam jasab Rasulullah ﷺ sebab jika kejahatan itu sumbernya terletak pada kelenjar yang ada di dalam jasad, atau pada gumpalan yang ada pada salah satu bagiannya, niscaya orang jahat bisa menjadi baik bila melakukan operasi bedah. Tetapi nampaknya tujuannya dari peristiwa itu adalah sebagai pengumumam terhadap suatu perkara Rasulullah ﷺ, persiapan untuk mendapatkan pemeliharaan (‘ishmah) dan wahyu semenjak kecilnya dengan sarana-sarana material. Ini agar manusia lebih mudah mengimani Rasulullah ﷺ dan membenarkan risalahnya. Dengan demikian peristiwa tersebut merupakan „operasi pembersihan spiritual“ tetapi melalui proses fisik empirik sebagai pengumumam ilahi kepada manusia.
Apapun hikmahnya peristiwa tersebut kita tidak boleh, karena keshahian riwayatnya, berusaha mencari jalan keluar untuk mengeluarkan hadits tersebut dari makna hakiki dan lahiriyah dengan takwil-takwil yang jauh dan dibuat-buat. Hanya orang yang lemah iman saja yang akan melakukannya. Kita harus mengetahui kriteria penerimaan kita terhadap suatu khabar (hadits) adalah kebenaran dan keshahihan riwayat, bila telah terbukti keshahihannya, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus menerimanya dengan jelas secara bulat. Selanjutnya kriteria kita untuk memahaminya adalah penunjukkan (dalalah) bahasa dan hukumnya. Dalam pada itu asal setiap perkataan adalah hakekat. Seandainya boleh bagi setiap pembaca dan pembahas untuk memalingkan setiap perkataan dari hakikatnya kepada berbagai dalalah majaziyah (penunjukkan di luar arti hakekat) niscaya ia akan memilih dengan seenaknya arti yang disukainya, di samping akan menghilangkan nilai bahasa dan penunjukkannya. Akibatnya terjadilah berbagai pemahaman yang membingungkan orang.
Kemudian mengapa kita harus mencari takwil dan berusaha mengingkari hakekat? Sesungguhnya sikap ini hanya akan dilakukan oleh orang yang imannya kepada Allah dan keyakinannya kepada kenabian Muhammad ﷺ sangat lemah. Jika tidak, betapa mudahnya meyakini setiap riwayat yang shahih, baik diketahui hikmahnya atau tidak.
(Sirah Nabawiyah - Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy)
Itulah nasab Rasulullah ﷺ yang telah disepakati. Selebihnya dari yang telah disebutkan di atas masih diperselisihkan. Tetapi hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi ialah, bahwa Adnan termasuk anak keturunan Isma’il, Nabi Allah, bin Ibrahim, kekasih Allah. Dan bahwa Allah telah memilihnya (Nabi ﷺ) dari kabilah yang paling bersih, keturunan yang paling suci dan utama. Tak sedikitpun dari karat-karat Jahiliyah yang menyusup ke dalam nasabnya.
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak Isma’il dan memilih Quraisy dari Kinanah, kemudian memilih Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim.“
Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan pada tahun Gajah, yakni tahun dimana Abraham al-Asyram berusaha menyerang Mekkah dan menghancurkan Ka’bah. Lalu Allah menggagalkan dengan mu’jizat yang mengagumkan, sebagaimana diceritakan di dalam Al-Qur’an. Menurut riwayat yang paling kuat jatuh pada hari Senin malam 12 Rabi’ul Awwal.
Ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Bapaknya, Abdullah, meninggal ketika ibunya mengandungnya dua bulan. Lalu ia diasuh oleh kakeknya Abdul Muththalib, dan disusukannya sebagaimana tradisi Arab waktu itu kepada seorang wanita Bani Sa’d bin Bakar, bernama Halimah binti Dzu’aib.
Para perawi Sirah telah sepakat bahwa pedalaman Bani Sa’d pada waktu itu sedang mengalami musim kemarau yang menyebabkan keringnya ladang peternakan dan pertanian. Tidak lama setelah Muhammad berada di rumah Halimah, tinggal di kamarnya dan menyusu darinya, menghijaulah kembali tanaman-tanaman di sekitar rumahnya, sehingga kambing-kambingnya pulang kandang dengan perut kenyang dan sarat air susu.
Selama keberadaan Nabi ﷺ di pedalaman Bani Sa’d terjadilah peristiwa pembelahan dada sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim kemudian ia dikembalikan kepada ibunya setelah genap berumur lima tahun.
Ketika sudah berumur enam tahun, ibunya, Aminah, meninggal dunia. Kemudian berada dalam asuhan kakeknya, Abdul Muththalib. Tetapi setelah genap berusia delapan tahun, ia ditinggal oleh kakeknya. Setelah itu dia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.
Beberapa Ibrah
Dari bagian Sirah Nabi ﷺ di atas dapat diambil beberapa prisip dan pelajaran yang penting antara lain :
1. Di dalam nasab Nabi ﷺ yang mulia tersebut terdapat beberapa dalil yang jelas, bahwa Allah mengutamakan bangsa Arab dari semua manusia, dan mengutamakan Quraisy dari semua kabilah yang lain. Hal ini dengan jelas dapat kita baca pula di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Juga terdapat hadits-hadits lain yang semakna, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah berdiri di atas mimbar kemudian bersabda : “Siapakah aku?” Para sahabat menjawab, “Engkau adalah Rasul Allah, semoga keselamatan atasmu.“ Nabi ﷺ bersabda : “Aku adalah Muhammad bin Adullah bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk (manusia) kemudian Dia menjadikan mereka dua kelompok, lalu menjadikan aku di dalam kelompok yang terbaik, kemudian Dia menjadikan mereka beberapa kabilah, dan menjadikan aku di dalam kabilah yang terbaik, kemudian Dia menjadikan mereka beberapa rumah, dan menjadikan aku di dalam rumah yang terbaik dan paling baik jiwanya.“
Ketahuilah, bahwa di antara konsekuensi mencintai Rasulullah ﷺ ialah mencintai kaum dan kabilah di mana Rasulullah ﷺ lahir, bukan dari segi individu dan jenis, tetapi dari segi hakekat semata. Ini karena hakekat Arab Quraisy telah mendapatkan kehormatan dengan bernasabkan Rasulullah ﷺ kepada kabilah tersebut.
Hal ini tidaklah bertentangan dengan adanya orang-orang Arab atau Quraisy yang menyimpnang dari jalan Allah, dan merosot tingkat kehormatan Islamnya. Karena penyimpangan atau kemerosotan ini secara otomatis akan memutuskan dan menghapuskan kaitan nisbat antara mereka dan Rasulullah ﷺ.
2. Bukan suatu kebetulan jika Rasulullah ﷺ dilahirkan dalam keadaan yatim, kemudian tidak lama kehilangan kakeknya juga, sehingga pertumbuhan pertama kehidupannya jauh dari asuhan bapak dan tidak mendapat kasih sayang dari ibunya.
Allah telah memilihkan pertumbuhan ini untuk Nabi-Nya karena beberapa hikmah. Di antaranya agar musuh Islam tidak mendapatkan jalan untuk memasukkan keraguan ke dalam hati, atau menuduh bahwa Muhammad ﷺ telah mereguk susu dakwah dan risalahnya semenjak kecilnya, dengan bimbingan dan arahan bapak dan kakeknya. Sebab kakek Abdul Muththalib adalah seorang tokoh di antara kaumnya. Kepadanyalah tanggungjawab memberikan jamuan makan dan minum para hujjaj diserahkan. Adalah wajar bila seorang kakek atau bapak membimbing dan mengarahkan cucu atau anaknya kepada warisan yang dimilikinya. Hikmah Allah telah menghendaki agar musuh-musuh Islam tidak menemukan jalan kepada keraguan seperti itu, sehingga Rasul-Nya tumbuh dan berkembang jauh dari tarbiyah (asuhan) bapak, ibu, dan kakeknya. Bahkan masa kanak-kanaknya yang pertama, sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala, harus dijalani di pedalaman Bani Sa’d jauh dari seluruh keluarganya. Ketika kakeknya meninggal, ia berpindah kepada asuhan pamannya, Abu Thalib, yang hidup sampai tiga tahun sebelum hijrah. Sampai akhir kehidupannya, pamannya tidak pernah menyatakan dirinya masuk Islam. Ini juga termasuk hikmah lain, agar tidak muncul tuduhan bahwa pamannya memiliki saham, di dalam dakwahnya, dan bahwa persoalannya adalah persoalan kabilah, keluarga kepemimpinan dan kedudukan.
Demikianlah Allah menghendaki agar Rasulullah ﷺ tumbuh sebagai yatim, dipelihara oleh inayah Allah semata, jauh dari tangan-tangan yang memanjakannya, dan harta yang akan membuatnya hidup dalam kemegahan, agar jiwanya tidak cenderung kepada kemewahan dan kedudukan. Bahkan agar tidak terpengaruh oleh arti kepemimpinan dan ketokohan yang mengintainya, sehingga orang-orang akan mencampur-adukkan kesucian nubuwah dengan kemegahan dunia, dan agar orang-orang tidak menuduhkan telah mendakwahkan nubuwwah demi mencapai kemegahan dunia.
3. Para perawi Sirah nabawiyah telah sepakat bahwa ladang-ladang Halimah as-Sa’diyah kembali menghijau setelah sebelumnya mengalami kekeringan. Bahkan kantong susu untanya ynag sudah tua dan telah berhenti meneteskan air susu, kembali memproduksi air susu lagi. Kejadian ini menunjukkan ketinggian derajat dan martabat Rasulullah ﷺ di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan semenjak kecilnya, di antara bentuk kemuliaan Allah kepadanya yang paling menonjol adlaah pemuliaan Allah kepada rumah Halimah as-Sa’diyah lantaran keberadaannya dan penyusuannya di rumah itu. Hal ini tidak aneh, sebab syari'at Islam juga mengajarkan kepada kita agar, pada waktu terjadi kemarau, meminta hujan (kepada Allah) dengan parantaraan orang-orang shaleh dan keluarga rumah Rasulullah ﷺ karena mengharapkan terkabulnya do’a kita.
Kehadiran dan keberadaan Rasulullah ﷺ di tempat ini menjadi sebab utama bagi datangnya berkah dan pemuliaan Ilahi. Ini karena Rasulullah ﷺ merupakan rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam firmannya : “Dan kami tidak mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi segenap alam“.
4. Peristiwa peembelahan dada yang dialami oleh Rasulullah ﷺ ketika berada di pedalaman Bani Sa’d dianggap sebagai salah satu pertanda kenabian dan isyarat pemilihan Allah kepadanya untuk suatu perkara besar dan mulia. Peristiwa ini telah diriwayatkan dengan beberapa riwayat yang shahih, dan dari banyak sahabat. Di antaranya adalah Anas bin Malik dalam suatu riwayatnya yang dikeluarkan oleh Muslim : Bahwa Rasulullah ﷺ didatangi oleh Jibril ketika beliau sedang bermain-main dengan anak-anak sebayanya. Kemudian Jibril mengambilnya dan menelentangkannya. Lalu Jibril membelah hati (dada)-nya dan mengeluarkannya. Kemudian (Jibril) mengeluarkan suatu gumpalan (‘alaqah) darinya, lantas berkata “Ini adalah bagian setan yang ada padamu.“ Kemudian (Jibril) mencucinya di dalam bejana emas dengan air zam-zam, lalu mengembalikannya ke tampatnya semula.
Melihat peristiwa ini anak-anak yang sedang bermain dengannya lari menuju ibu susunya secara berseru, “Muhammad telah dibunuh“. Maka mereka mendatangi dengan penuh cemas.
Tujuan peristiwa ini wallahu a’lam, bukan untuk mencabut kelenjar kejahatan di dalam jasab Rasulullah ﷺ sebab jika kejahatan itu sumbernya terletak pada kelenjar yang ada di dalam jasad, atau pada gumpalan yang ada pada salah satu bagiannya, niscaya orang jahat bisa menjadi baik bila melakukan operasi bedah. Tetapi nampaknya tujuannya dari peristiwa itu adalah sebagai pengumumam terhadap suatu perkara Rasulullah ﷺ, persiapan untuk mendapatkan pemeliharaan (‘ishmah) dan wahyu semenjak kecilnya dengan sarana-sarana material. Ini agar manusia lebih mudah mengimani Rasulullah ﷺ dan membenarkan risalahnya. Dengan demikian peristiwa tersebut merupakan „operasi pembersihan spiritual“ tetapi melalui proses fisik empirik sebagai pengumumam ilahi kepada manusia.
Apapun hikmahnya peristiwa tersebut kita tidak boleh, karena keshahian riwayatnya, berusaha mencari jalan keluar untuk mengeluarkan hadits tersebut dari makna hakiki dan lahiriyah dengan takwil-takwil yang jauh dan dibuat-buat. Hanya orang yang lemah iman saja yang akan melakukannya. Kita harus mengetahui kriteria penerimaan kita terhadap suatu khabar (hadits) adalah kebenaran dan keshahihan riwayat, bila telah terbukti keshahihannya, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus menerimanya dengan jelas secara bulat. Selanjutnya kriteria kita untuk memahaminya adalah penunjukkan (dalalah) bahasa dan hukumnya. Dalam pada itu asal setiap perkataan adalah hakekat. Seandainya boleh bagi setiap pembaca dan pembahas untuk memalingkan setiap perkataan dari hakikatnya kepada berbagai dalalah majaziyah (penunjukkan di luar arti hakekat) niscaya ia akan memilih dengan seenaknya arti yang disukainya, di samping akan menghilangkan nilai bahasa dan penunjukkannya. Akibatnya terjadilah berbagai pemahaman yang membingungkan orang.
Kemudian mengapa kita harus mencari takwil dan berusaha mengingkari hakekat? Sesungguhnya sikap ini hanya akan dilakukan oleh orang yang imannya kepada Allah dan keyakinannya kepada kenabian Muhammad ﷺ sangat lemah. Jika tidak, betapa mudahnya meyakini setiap riwayat yang shahih, baik diketahui hikmahnya atau tidak.
(Sirah Nabawiyah - Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy)