Muhammad ﷺ adalah penutup para Nabi. Tidak ada nabi sesudahnya. Ini telah disepakati oleh kaum Muslimin dan merupakan salah satu ‘aksioma’ Islam. Sabda Rasulullah ﷺ, “Perumpamaan aku dengan Nabi sebelumku adalah seperti seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan, kemudian ia memerintahkan dan mempercantik bangunan tersebut, kecuali satu tempat batu-bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengitarinya, mereka kagum dan berkata : Amboi, jika batu-bata ini diletakkan? Akulah batu-bata itu, dan aku adalah penutup para Nabi.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Hubungan antara dakwah Nabi Muhammad dan dakwah para Nabi terdahulu berjalan atas prinsip ta’kid (penegasan) dan tatmin (penyempurnaan) sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Dakwah para Nabi didasarkan pada dua asas. Pertama : aqidah, kedua : Syari’at dan akhlak. Aqidah mereka sama, dari Nabi Adam 'alaihissalam sampai kepada Nabi penutup para Nabi (Muhammad ﷺ). Esensi aqidah mereka adalah iman kepada Wahdaniyah Allah. Mensucikan-Nya dari segala perbuatan dan sifat yang tidak layak lagi bagi-Nya. Beriman kepada hari akhir, hisab, neraka dan surga. Setiap Nabi mengajak kaumnya untuk mengimani semua perkara tersebut. Masing-masing dari mereka datang sebagai pembenaran atas dakwah sebelumnya. Sebagai kabar gembira akan bi’tsah Nabi sesudahnya. Demikianlah bi’tsah mereka saling sambung menyambung kepada berbagai kaum dan ummat. Semuanya membawa satu hakekat yang diperintahkan untuk menyampaikan kepada manusia, yaitu dainunah Lillahi wahdah (tunduk patuh kepada Allah semata). Inilah yang dijelaskan Allah dengan firman-Nya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu : tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.“ (QS. Asy-Syura : 13)
Tidak mungkin akan terjadi perbedaan aqidah di antara dakwah-dakwah para Nabi, karena masalah aqidah termasuk ikhbar (pengabaran). Pengabaran tentang sesuatu tidak mungkin akan berbeda antara satu pengabar dengan pengebar lainnya. Jika kita yakini kebenaran khabar yang dibawanya. Tidak mungkin seorang Nabi diutus untuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga (Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan). Kemudian diutus nabi lain yang datang sesudahnya utuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah Maha satu. Tiada sekutu bagi-Nya. Padahal masing-masing dari kedua Nabi tersebut sangat jujur. Tidak akan pernah berkhianat tentang apa yang dikhabarkannya.
Dalam masalah syari’at yaitu penetapan hukum yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi, telah terjadi perbedaan menyangkut cara dan jumlah antara satu Nabi dengan Nabi lainnya. Karena syari’at termasuk dalam kategori insya’ bukan ikhbar, sehingga berbeda dengan masalah aqidah. Selain itu perkembangan jaman dan perbedaan ummat dan kaum akan berpengaruh terhadap perkembangan syari’at dan perbedaannya. Karena prinsip penetapan hukum didasarkan pada tuntunan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Di samping bi’tsah setiap Nabi sebelum Rasulullah ﷺ adalah khusus bagi ummat tertentu, bukan untuk semua manusia. Maka hukum-hukum syari’atnya hanya terbatas pada ummat tertentu, sesuai dengan kondisi ummat tersebut.
Musa 'alaihissalam, misalnya diutus kepada Bani Israil. Sesuai dengan kondisi Bani Israil pada waktu itu. Mereka memerlukan syari’at yang ketat yang seluruhnya didasarkan atas azas ‘azimah bukan rukhshah. Setelah beberapa kurun waktu, diutuslah Nabi Isa 'alaihissalam, kepada mereka dengan membawa syari’at yang agak longgar, bila dibandingkan dengan syari’at yang dibawa oleh Nabi Musa. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Isa 'alaihissalam yang ditunjukkan kepada Bani Israil :“... Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu ...” (QS. Ali Imran, 3 : 50)
Nabi Isa 'alaihissalam menjelaskan kepada mereka, bahwa menyangkut masalah-masalah aqidah, ia hanya membenarkan apa yang telah tertera di dalam kitab Taurat, menegaskan dan memperbaharui dakwah kepadanya. Tetapi menyangkut masalah syari’at dan hukum halal haram, maka ia telah ditugaskan untuk mengadakan beberapa perubahan dan penyederhanaan, dan menghapuskan sebagian hukum yang pernah memberatkan mereka.
Sesuai dengan ini, maka bi’tsah setiap Rasul membawa aqidah dan syari’at.
Dalam masalah aqidah, tugas setiap Nabi tidak lain hanyalah menegaskan kembali (ta’lid) aqidah yang sama yang pernah dibawa oleh para Rasul sebelumnya, tanpa perubahan atau perbedaan sama sekali.
Dalam masalah syari’at, maka syari’at setiap Rasul menghapuskan syari’at sebelumnya, kecuali hal-hal yang ditegaskan oleh syari’at yang datang kemudian, atau didiamkannya. Ini sesuai dengan madzhab orang yang mengatakan : Syari’at sebelum kita adalah syari’at bagi kita (juga) selama tidak ada (nash) yang dapat menghapuskan.
Dari uraian di atas, jelas tidak ada apa yang disebut orang dengan Adyan Samawiyah (agama-agama langit) Yang ada adalah Syari’at-syari’at Samawiyah (langit), di mana setiap syari’at yang baru menghapuskan syari’at sebelumnya, sampai datang syari’at terakhir yang dibawa oleh penutup para Nabi dan Rasul.
Ad-Dienul Haq hanya satu, Islam. Semua Nabi berdakwah kepadanya, dan memerintahkan manusia untuk tunduk (dainunah) kepadanya, sejak Nabi Adam 'alaihissalam sampai Muhammad ﷺ.
Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ya’qub diutus dengan membawa Islam, Firman Allah : “Dan tiada ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang-orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh kami telah memilihnya di dunia, dan sesungguhnya dia di akherat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh. Ketika Rabbnya berfirman kepadanya : Tunduk patuhlah! Ibrahim menjawab : Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Nabi Ya’qub (Ibrahim berkata), Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu maka janganlah kami mati kecuali dalam memeluk Islam“ (QS. Al-Baqarah 130-132)
Musa 'alaihissalam diutus kepada Bani Israil juga dengan membawa Islam. Firman Alah tentang tukang-tukang sihir Fir’aun : “Ahli sihir itu menjawab : Sesungguhnya kepada Rabb kamilah kami kembali. Dan kamu tidak membalas dendam dengan menyiksa kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Rabb kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami. (Mereka berdo’a) Wahai Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).“ (QS. Al-A’raf : 126)
Demikian pula Isa 'alaihissalam. Ia diutus dengan membawa Islam. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Maka ketika Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil), berkatalah dia, Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama Allah)? Maka hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab : Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada-Nya, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim.“ (QS. Ali Imran, 3:52)
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa orang-orang yang menganggap dirinya pengikut Musa 'alaihissalam menganut aqidah yang berbeda dari aqidah Tauhid yang dibawa oleh para Nabi? Mengapa orang-orang yang menganggap dirinya pengikut Isa 'alaihissalam meyakini aqidah lain?
Jawaban atas pertanyaan ini terdapat di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam, tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada ) di antara mereka .....” (QS. Ali Imran, 3:19)
“Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Rabbmu dahulunya (untuk menangguhkan siksa) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar dalam keraguan yang mengguncangkan tentang kitab itu.“ (QS. Asy-Syura : 14)
Dengan demikian semua Nabi diutus dengan membawa Islam yang merupakan agama di sisi Allah. Para ahli kitab mengetahui kesatuan agama ini. Mereka juga mengetahui bahwa para Nabi diutus untuk saling membenarkan dalam hal agama yang diutusnya. Mereka (para Nabi) tidak pernah berbeda dalam masalah aqidah. Tetapi para ahli Kitab sendiri berpecah belah dan berdusta atas nama para Nabi, kendatipun telah datang pengetahuan tentang hal itu kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka, sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah di atas.
Wallahu a'lam.
(Sirah Nabawiyah - Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthy)
Hubungan antara dakwah Nabi Muhammad dan dakwah para Nabi terdahulu berjalan atas prinsip ta’kid (penegasan) dan tatmin (penyempurnaan) sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Dakwah para Nabi didasarkan pada dua asas. Pertama : aqidah, kedua : Syari’at dan akhlak. Aqidah mereka sama, dari Nabi Adam 'alaihissalam sampai kepada Nabi penutup para Nabi (Muhammad ﷺ). Esensi aqidah mereka adalah iman kepada Wahdaniyah Allah. Mensucikan-Nya dari segala perbuatan dan sifat yang tidak layak lagi bagi-Nya. Beriman kepada hari akhir, hisab, neraka dan surga. Setiap Nabi mengajak kaumnya untuk mengimani semua perkara tersebut. Masing-masing dari mereka datang sebagai pembenaran atas dakwah sebelumnya. Sebagai kabar gembira akan bi’tsah Nabi sesudahnya. Demikianlah bi’tsah mereka saling sambung menyambung kepada berbagai kaum dan ummat. Semuanya membawa satu hakekat yang diperintahkan untuk menyampaikan kepada manusia, yaitu dainunah Lillahi wahdah (tunduk patuh kepada Allah semata). Inilah yang dijelaskan Allah dengan firman-Nya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu : tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.“ (QS. Asy-Syura : 13)
Tidak mungkin akan terjadi perbedaan aqidah di antara dakwah-dakwah para Nabi, karena masalah aqidah termasuk ikhbar (pengabaran). Pengabaran tentang sesuatu tidak mungkin akan berbeda antara satu pengabar dengan pengebar lainnya. Jika kita yakini kebenaran khabar yang dibawanya. Tidak mungkin seorang Nabi diutus untuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga (Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan). Kemudian diutus nabi lain yang datang sesudahnya utuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah Maha satu. Tiada sekutu bagi-Nya. Padahal masing-masing dari kedua Nabi tersebut sangat jujur. Tidak akan pernah berkhianat tentang apa yang dikhabarkannya.
Dalam masalah syari’at yaitu penetapan hukum yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi, telah terjadi perbedaan menyangkut cara dan jumlah antara satu Nabi dengan Nabi lainnya. Karena syari’at termasuk dalam kategori insya’ bukan ikhbar, sehingga berbeda dengan masalah aqidah. Selain itu perkembangan jaman dan perbedaan ummat dan kaum akan berpengaruh terhadap perkembangan syari’at dan perbedaannya. Karena prinsip penetapan hukum didasarkan pada tuntunan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Di samping bi’tsah setiap Nabi sebelum Rasulullah ﷺ adalah khusus bagi ummat tertentu, bukan untuk semua manusia. Maka hukum-hukum syari’atnya hanya terbatas pada ummat tertentu, sesuai dengan kondisi ummat tersebut.
Musa 'alaihissalam, misalnya diutus kepada Bani Israil. Sesuai dengan kondisi Bani Israil pada waktu itu. Mereka memerlukan syari’at yang ketat yang seluruhnya didasarkan atas azas ‘azimah bukan rukhshah. Setelah beberapa kurun waktu, diutuslah Nabi Isa 'alaihissalam, kepada mereka dengan membawa syari’at yang agak longgar, bila dibandingkan dengan syari’at yang dibawa oleh Nabi Musa. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Isa 'alaihissalam yang ditunjukkan kepada Bani Israil :“... Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu ...” (QS. Ali Imran, 3 : 50)
Nabi Isa 'alaihissalam menjelaskan kepada mereka, bahwa menyangkut masalah-masalah aqidah, ia hanya membenarkan apa yang telah tertera di dalam kitab Taurat, menegaskan dan memperbaharui dakwah kepadanya. Tetapi menyangkut masalah syari’at dan hukum halal haram, maka ia telah ditugaskan untuk mengadakan beberapa perubahan dan penyederhanaan, dan menghapuskan sebagian hukum yang pernah memberatkan mereka.
Sesuai dengan ini, maka bi’tsah setiap Rasul membawa aqidah dan syari’at.
Dalam masalah aqidah, tugas setiap Nabi tidak lain hanyalah menegaskan kembali (ta’lid) aqidah yang sama yang pernah dibawa oleh para Rasul sebelumnya, tanpa perubahan atau perbedaan sama sekali.
Dalam masalah syari’at, maka syari’at setiap Rasul menghapuskan syari’at sebelumnya, kecuali hal-hal yang ditegaskan oleh syari’at yang datang kemudian, atau didiamkannya. Ini sesuai dengan madzhab orang yang mengatakan : Syari’at sebelum kita adalah syari’at bagi kita (juga) selama tidak ada (nash) yang dapat menghapuskan.
Dari uraian di atas, jelas tidak ada apa yang disebut orang dengan Adyan Samawiyah (agama-agama langit) Yang ada adalah Syari’at-syari’at Samawiyah (langit), di mana setiap syari’at yang baru menghapuskan syari’at sebelumnya, sampai datang syari’at terakhir yang dibawa oleh penutup para Nabi dan Rasul.
Ad-Dienul Haq hanya satu, Islam. Semua Nabi berdakwah kepadanya, dan memerintahkan manusia untuk tunduk (dainunah) kepadanya, sejak Nabi Adam 'alaihissalam sampai Muhammad ﷺ.
Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ya’qub diutus dengan membawa Islam, Firman Allah : “Dan tiada ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang-orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh kami telah memilihnya di dunia, dan sesungguhnya dia di akherat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh. Ketika Rabbnya berfirman kepadanya : Tunduk patuhlah! Ibrahim menjawab : Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Nabi Ya’qub (Ibrahim berkata), Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu maka janganlah kami mati kecuali dalam memeluk Islam“ (QS. Al-Baqarah 130-132)
Musa 'alaihissalam diutus kepada Bani Israil juga dengan membawa Islam. Firman Alah tentang tukang-tukang sihir Fir’aun : “Ahli sihir itu menjawab : Sesungguhnya kepada Rabb kamilah kami kembali. Dan kamu tidak membalas dendam dengan menyiksa kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Rabb kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami. (Mereka berdo’a) Wahai Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).“ (QS. Al-A’raf : 126)
Demikian pula Isa 'alaihissalam. Ia diutus dengan membawa Islam. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Maka ketika Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil), berkatalah dia, Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama Allah)? Maka hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab : Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada-Nya, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim.“ (QS. Ali Imran, 3:52)
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa orang-orang yang menganggap dirinya pengikut Musa 'alaihissalam menganut aqidah yang berbeda dari aqidah Tauhid yang dibawa oleh para Nabi? Mengapa orang-orang yang menganggap dirinya pengikut Isa 'alaihissalam meyakini aqidah lain?
Jawaban atas pertanyaan ini terdapat di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam, tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada ) di antara mereka .....” (QS. Ali Imran, 3:19)
“Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Rabbmu dahulunya (untuk menangguhkan siksa) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar dalam keraguan yang mengguncangkan tentang kitab itu.“ (QS. Asy-Syura : 14)
Dengan demikian semua Nabi diutus dengan membawa Islam yang merupakan agama di sisi Allah. Para ahli kitab mengetahui kesatuan agama ini. Mereka juga mengetahui bahwa para Nabi diutus untuk saling membenarkan dalam hal agama yang diutusnya. Mereka (para Nabi) tidak pernah berbeda dalam masalah aqidah. Tetapi para ahli Kitab sendiri berpecah belah dan berdusta atas nama para Nabi, kendatipun telah datang pengetahuan tentang hal itu kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka, sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah di atas.
Wallahu a'lam.
(Sirah Nabawiyah - Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthy)