Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menegaskan bahwa dosa kecil bisa menjadi besar gara-gara beberapa sebab, di antaranya:
✅ Pertama, dosa tersebut dilakukan secara terus menerus. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus (tidak ditaubati), dan tidak ada dosa besar jika di-istighfari (ditobati).” (HR. Ad-Dailami)
Dosa besar yang telah berhenti memiliki peluang yang lebih besar untuk diampuni daripada dosa kecil yang terus dilakukan. Ibaratnya seperti tetesan air jika terjadi secara terus menerus, maka air tersebut bisa melubangi batu. Namun, jika misalnya air dalam volume besar ditumpahkan dengan sekaligus ke atas batu, maka tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap keutuhan batu tersebut.
Karena itulah, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Dan, ketahuilah sesungguhnya amal baik yang paling disukai oleh Allah adalah yang paling bertahan lama, meskipun amal tersebut hanya sedikit.” (HR. Muslim)
Dalam hal kebaikan, amal sedikit yang terus menerus masih lebih baik daripada amal besar tapi terputus. Sebab, apa yang dilakukan secara terus menerus akan melekat menjadi karakter dalam jiwa manusia. Karakter terbentuk melalui kebiasaan, bukan melalui hal-hal yang bersifat sporadis. Begitu pula amal buruk. Keburukan yang dilakukan secara terus menerus, meskipun kecil, maka akan melekat menjadi karakter yang berpotensi mengendalikan jiwa manusia.
✅ Kedua, dosa yang dianggap kecil. Anggapan kecil terhadap sebuah dosa menandakan bahwa orang tersebut tidak menjaga etikanya kepada Allah. Dalam petuah sufi disebutkan, “Jangan kau berpikir seberapa kecil kesalahan yang kau lakukan, tapi pikirkanlah betapa Maha Besar Tuhan yang engkau durhakai.”
Sayyidina Abdullah bin Mas’ud berkata,
“Orang yang mukmin (orang yang kuat imannya) melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di lereng gunung, dia sangat khawatir gunung tersebut runtuh kepadanya. Sedangkan orang bejat (fasik) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya. Lalu, dia berkata: Cukup begini (cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut).”
Anggapan kecil terhadap sebuah dosa menandakan bahwa pelakunya sudah terbiasa dengan dosa tersebut. Anggapan dan persepsi yang salah semacam ini memiliki akibat yang lebih fatal daripada perbuatan dosa itu sendiri, sebagaimana kesalahan akidah lebih fatal daripada kesalahan amal.
Oleh karena itu, Sayyidina Anas bin Malik menyatakan, “Kalian melakukan beberapa kesalahan yang dalam pandangan kalian lebih kecil daripada rambut, padahal pada masa Rasulullah dulu, kami menganggapnya sebagai dosa yang sangat berbahaya.”
Semakin benci hati seseorang terhadap perbuatan dosa, maka semakin berat dosa tersebut di matanya. Sebaliknya, semakin suka seseorang terhadap perbuatan dosa, maka semakin remeh pula dosa itu di matanya.
✅ Ketiga, perasaan senang apalagi bangga terhadap dosa. Orang yang berbuat dosa seraya tertawa dan bangga jelas tidak sama dengan orang yang berbuat dosa seraya menangis karena menyesali. Kebanggaan terhadap dosa merupakan hal yang sangat lumrah terjadi, padahal hal itu sangatlah berbahaya, karena secara tidak langsung dia telah
(1) menghina ajaran Allah,
(2) menganggap baik perbuatan dosa tersebut, dan
(3) mengajak orang lain untuk meniru apa yang dilakukannya.
✅ Keempat, melakukan dosa secara terang-terangan. Ketika seseorang melakukan dosa secara terang-terangan, maka lambat laun masyarakat akan menganggap dosa tersebut sebagai hal biasa. Akibatnya, hilanglah beban moral dan perasaan malu masyarakat dalam melakukan dosa tersebut.
✅Kelima, melakukan dosa di tempat atau di waktu-waktu mulia. Dosa yang dilakukan di masjid atau dilakukan pada waktu bulan Ramadhan menyebabkan dosa tersebut menjadi semakin berat karena ada unsur melanggar kehormatan masjid dan bulan suci.
✅ Keenam, dilakukan oleh orang yang menjadi panutan. Kesalahan yang dilakukan oleh orang 'alim atau tokoh panutan berpotensi besar untuk ditiru oleh masyarakat awam. Maka, ketika orang 'alim atau tokoh panutan melakukan dosa, sangat mungkin dosa tersebut menjadi dosa jariyah, dosa yang terus mengalir karena ditiru oleh orang lain. Oleh karena itu, dari ujaran sufi dinyatakan:
“Keberuntungan bagi orang yang ketika mati, maka ikut mati (terputus) pula dosa-dosanya.”
Sayyidina Tamim ad-Dari pernah berpidato di hadapan para Sahabat Nabi. Dalam pidatonya beliau berkata,
“Takutlah kalian terhadap kekeliruan orang 'alim.”
Setelah selesai berpidato, Sayyidina Umar bin al-Khaththab bertanya kepada beliau, “Apa (yang dimaksud) kekeliruan orang 'alim itu?”
Tamim ad-Dari menjawab,
“Orang 'alim (ketika) salah, (maka) masyarakat juga salah. Kesalahannya akan diikuti. Boleh jadi, orang 'alim itu sudah bertaubat, tapi masyarakat tetap terus mengikuti kesalahan tersebut.”
Oleh karena itu, Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyatakan bahwa orang 'alim atau tokoh panutan, harus berusaha keras untuk menghindari berbagai kesalahan. Dan, kalau misalnya dia terjatuh ke dalam sebuah dosa, maka sebisa mungkin jangan sampai dosa tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Sebab, apa yang dia lakukan rentan ditiru oleh orang lain. Jika sudah ditiru oleh orang lain, maka akan menjadi dosa jariyah baginya.
Konon, ada seorang raja yang terbiasa memakan daging babi dan berusaha menggiring rakyatnya untuk juga makan daging babi. Suatu ketika, raja itu mengundang seorang ulama panutan ke istana. Sebelum menyuguhkan hidangan, ajudan raja berkata, “Khusus untuk Tuan, kami telah menyembelih seekor kambing.” Namun demikian, ulama tersebut tetap menolak untuk memakannya. Akhirnya, raja memerintahkan agar dia dihukum mati. Sebelum dieksekusi, ajudan raja menghampirinya dan berkata, “Bukankah telah aku katakan kepada Tuan bahwa daging yang disuguhkan kepada Tuan itu adalah daging kambing!?” Maka, ulama itu berkata, “Tapi, dari mana orang-orang yang mengikutiku bisa mengetahui keadaan yang sesungguhnya?”
Lihatlah betapa ulama ini sangat berhati-hati. Dia rela mengorbankan nyawanya untuk menghindari barang halal sekalipun, jika masih berpotensi merusak persepsi umat yang menjadi pengikutnya! Ini harus ditiru oleh para tokoh panutan. Mereka harus memiliki kehati-hatian yang ekstra dalam membuat pernyataan atau tindakan. Pola pikir seorang figur tidak boleh sekadar ‘benar dan baik’ untuk dirinya sendiri. Tidak kalah penting dari itu, dia juga harus mempertimbangkan persepsi publik yang mungkin salah dalam menilai pernyataan atau tindakannya, karena mereka tidak mengerti latar belakang sesungguhnya. Satu kaki seorang tokoh berpijak di atas amal jariyah, tapi kakinya yang lain berpijak di atas dosa jariyah.
[Sidogiri Media]
✅ Pertama, dosa tersebut dilakukan secara terus menerus. Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ إِصْرَارٍ وَلَا كَبِيْرَةَ مَعَ اسْتِغْفَارٍ
“Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus (tidak ditaubati), dan tidak ada dosa besar jika di-istighfari (ditobati).” (HR. Ad-Dailami)
Dosa besar yang telah berhenti memiliki peluang yang lebih besar untuk diampuni daripada dosa kecil yang terus dilakukan. Ibaratnya seperti tetesan air jika terjadi secara terus menerus, maka air tersebut bisa melubangi batu. Namun, jika misalnya air dalam volume besar ditumpahkan dengan sekaligus ke atas batu, maka tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap keutuhan batu tersebut.
Karena itulah, Rasulullah ﷺ bersabda,
وَاعْلَمُوْا أَنَّ أَحَبَّ العَمَلِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Dan, ketahuilah sesungguhnya amal baik yang paling disukai oleh Allah adalah yang paling bertahan lama, meskipun amal tersebut hanya sedikit.” (HR. Muslim)
Dalam hal kebaikan, amal sedikit yang terus menerus masih lebih baik daripada amal besar tapi terputus. Sebab, apa yang dilakukan secara terus menerus akan melekat menjadi karakter dalam jiwa manusia. Karakter terbentuk melalui kebiasaan, bukan melalui hal-hal yang bersifat sporadis. Begitu pula amal buruk. Keburukan yang dilakukan secara terus menerus, meskipun kecil, maka akan melekat menjadi karakter yang berpotensi mengendalikan jiwa manusia.
✅ Kedua, dosa yang dianggap kecil. Anggapan kecil terhadap sebuah dosa menandakan bahwa orang tersebut tidak menjaga etikanya kepada Allah. Dalam petuah sufi disebutkan, “Jangan kau berpikir seberapa kecil kesalahan yang kau lakukan, tapi pikirkanlah betapa Maha Besar Tuhan yang engkau durhakai.”
Sayyidina Abdullah bin Mas’ud berkata,
إِنَّ المُؤْمِنَ يَرٰى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ فِىْ أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرٰى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Orang yang mukmin (orang yang kuat imannya) melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di lereng gunung, dia sangat khawatir gunung tersebut runtuh kepadanya. Sedangkan orang bejat (fasik) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya. Lalu, dia berkata: Cukup begini (cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut).”
Anggapan kecil terhadap sebuah dosa menandakan bahwa pelakunya sudah terbiasa dengan dosa tersebut. Anggapan dan persepsi yang salah semacam ini memiliki akibat yang lebih fatal daripada perbuatan dosa itu sendiri, sebagaimana kesalahan akidah lebih fatal daripada kesalahan amal.
Oleh karena itu, Sayyidina Anas bin Malik menyatakan, “Kalian melakukan beberapa kesalahan yang dalam pandangan kalian lebih kecil daripada rambut, padahal pada masa Rasulullah dulu, kami menganggapnya sebagai dosa yang sangat berbahaya.”
Semakin benci hati seseorang terhadap perbuatan dosa, maka semakin berat dosa tersebut di matanya. Sebaliknya, semakin suka seseorang terhadap perbuatan dosa, maka semakin remeh pula dosa itu di matanya.
✅ Ketiga, perasaan senang apalagi bangga terhadap dosa. Orang yang berbuat dosa seraya tertawa dan bangga jelas tidak sama dengan orang yang berbuat dosa seraya menangis karena menyesali. Kebanggaan terhadap dosa merupakan hal yang sangat lumrah terjadi, padahal hal itu sangatlah berbahaya, karena secara tidak langsung dia telah
(1) menghina ajaran Allah,
(2) menganggap baik perbuatan dosa tersebut, dan
(3) mengajak orang lain untuk meniru apa yang dilakukannya.
✅ Keempat, melakukan dosa secara terang-terangan. Ketika seseorang melakukan dosa secara terang-terangan, maka lambat laun masyarakat akan menganggap dosa tersebut sebagai hal biasa. Akibatnya, hilanglah beban moral dan perasaan malu masyarakat dalam melakukan dosa tersebut.
✅Kelima, melakukan dosa di tempat atau di waktu-waktu mulia. Dosa yang dilakukan di masjid atau dilakukan pada waktu bulan Ramadhan menyebabkan dosa tersebut menjadi semakin berat karena ada unsur melanggar kehormatan masjid dan bulan suci.
✅ Keenam, dilakukan oleh orang yang menjadi panutan. Kesalahan yang dilakukan oleh orang 'alim atau tokoh panutan berpotensi besar untuk ditiru oleh masyarakat awam. Maka, ketika orang 'alim atau tokoh panutan melakukan dosa, sangat mungkin dosa tersebut menjadi dosa jariyah, dosa yang terus mengalir karena ditiru oleh orang lain. Oleh karena itu, dari ujaran sufi dinyatakan:
طُوْبَى لِمَنْ إِذَا مَاتَ مَاتَتْ مَعَهُ ذُنُوْبُهُ
“Keberuntungan bagi orang yang ketika mati, maka ikut mati (terputus) pula dosa-dosanya.”
Sayyidina Tamim ad-Dari pernah berpidato di hadapan para Sahabat Nabi. Dalam pidatonya beliau berkata,
اِتَّقُوْا زَلَّةَ العَالِمِ
“Takutlah kalian terhadap kekeliruan orang 'alim.”
Setelah selesai berpidato, Sayyidina Umar bin al-Khaththab bertanya kepada beliau, “Apa (yang dimaksud) kekeliruan orang 'alim itu?”
Tamim ad-Dari menjawab,
العَالِمُ يَزِلُّ بِالنَّاسِ فَيُؤْخَذُ بِهِ . فَعَسَى أَنْ يَتُوْبَ مِنْهُ العَالِمُ وَالنَّاسُ يَأْخُذُوْنَ بِهِ
“Orang 'alim (ketika) salah, (maka) masyarakat juga salah. Kesalahannya akan diikuti. Boleh jadi, orang 'alim itu sudah bertaubat, tapi masyarakat tetap terus mengikuti kesalahan tersebut.”
Oleh karena itu, Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyatakan bahwa orang 'alim atau tokoh panutan, harus berusaha keras untuk menghindari berbagai kesalahan. Dan, kalau misalnya dia terjatuh ke dalam sebuah dosa, maka sebisa mungkin jangan sampai dosa tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Sebab, apa yang dia lakukan rentan ditiru oleh orang lain. Jika sudah ditiru oleh orang lain, maka akan menjadi dosa jariyah baginya.
Konon, ada seorang raja yang terbiasa memakan daging babi dan berusaha menggiring rakyatnya untuk juga makan daging babi. Suatu ketika, raja itu mengundang seorang ulama panutan ke istana. Sebelum menyuguhkan hidangan, ajudan raja berkata, “Khusus untuk Tuan, kami telah menyembelih seekor kambing.” Namun demikian, ulama tersebut tetap menolak untuk memakannya. Akhirnya, raja memerintahkan agar dia dihukum mati. Sebelum dieksekusi, ajudan raja menghampirinya dan berkata, “Bukankah telah aku katakan kepada Tuan bahwa daging yang disuguhkan kepada Tuan itu adalah daging kambing!?” Maka, ulama itu berkata, “Tapi, dari mana orang-orang yang mengikutiku bisa mengetahui keadaan yang sesungguhnya?”
Lihatlah betapa ulama ini sangat berhati-hati. Dia rela mengorbankan nyawanya untuk menghindari barang halal sekalipun, jika masih berpotensi merusak persepsi umat yang menjadi pengikutnya! Ini harus ditiru oleh para tokoh panutan. Mereka harus memiliki kehati-hatian yang ekstra dalam membuat pernyataan atau tindakan. Pola pikir seorang figur tidak boleh sekadar ‘benar dan baik’ untuk dirinya sendiri. Tidak kalah penting dari itu, dia juga harus mempertimbangkan persepsi publik yang mungkin salah dalam menilai pernyataan atau tindakannya, karena mereka tidak mengerti latar belakang sesungguhnya. Satu kaki seorang tokoh berpijak di atas amal jariyah, tapi kakinya yang lain berpijak di atas dosa jariyah.