Kesalahan kita adalah lebih mudah untuk kita menghakimi orang lain dibanding kita mengoreksi diri sendiri.
Semakin sibuk kita menilai dan mencari-cari kekurangan orang lain, maka semakin sulit untuk kita bisa memahami orang lain dan melihat dengan jelas kekurangan-kekurangan diri kita sendiri. Bisa jadi kita jauh lebih buruk darinya, jika ternyata orang yang kita hakimi tak melakukan keburukan seperti yang kita lakukan, yaitu sibuk mencari-cari kekurangan orang lain.
Dalam Islam pun, kita dianjurkan untuk menjauhi perilaku suka mencari-cari kesalahan orang lain dan berprasangka buruk.
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Jauhilah berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah mencari-cari isu, janganlah mencari-cari kesalahan, janganlah saling bersaing, janganlah saling mendengki, janganlah saling memarahi, dan janganlah saling memusuhi! Tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563)
Amirul Mu'minin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata, “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu.”
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid al-Jurmi berkata, “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, 'Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut'”
Sebaiknya, sebelum kita berpikir atau menilai buruk orang lain, lihatlah diri sendiri. Sudah benarkah kita, sudah baikkah kita, apakah kita tak pernah melakukan keburukan dan dosa? Dengan kita mengoreksi diri kita lebih dulu, akan membuat kita lebih berhati-hati menilai orang lain. Karena kita sadar, diri inipun tak luput dari keburukan dan hal-hal negatif yang orang lain tak mengetahuinya.
Abu Hatim bin Hibban al-Busti bekata dalam kitab Raudhah al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya.”
Beliau juga berkata pada hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita.”
Wallahu a'lam
Semakin sibuk kita menilai dan mencari-cari kekurangan orang lain, maka semakin sulit untuk kita bisa memahami orang lain dan melihat dengan jelas kekurangan-kekurangan diri kita sendiri. Bisa jadi kita jauh lebih buruk darinya, jika ternyata orang yang kita hakimi tak melakukan keburukan seperti yang kita lakukan, yaitu sibuk mencari-cari kekurangan orang lain.
Dalam Islam pun, kita dianjurkan untuk menjauhi perilaku suka mencari-cari kesalahan orang lain dan berprasangka buruk.
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
"Jauhilah berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah mencari-cari isu, janganlah mencari-cari kesalahan, janganlah saling bersaing, janganlah saling mendengki, janganlah saling memarahi, dan janganlah saling memusuhi! Tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563)
Amirul Mu'minin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata, “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu.”
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid al-Jurmi berkata, “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, 'Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut'”
Sebaiknya, sebelum kita berpikir atau menilai buruk orang lain, lihatlah diri sendiri. Sudah benarkah kita, sudah baikkah kita, apakah kita tak pernah melakukan keburukan dan dosa? Dengan kita mengoreksi diri kita lebih dulu, akan membuat kita lebih berhati-hati menilai orang lain. Karena kita sadar, diri inipun tak luput dari keburukan dan hal-hal negatif yang orang lain tak mengetahuinya.
Abu Hatim bin Hibban al-Busti bekata dalam kitab Raudhah al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya.”
Beliau juga berkata pada hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita.”
Wallahu a'lam