Syeikh Ihsan memiliki nama kecil Bakri. Ayahnya, Kiai Muhammad Dahlan, merupakan pendiri Pondok Pesantren Jampes yang kini berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Ihsan, Kediri. Ibunya bernama Nyai Artimah, putri Kiai Ahmad Shaleh, Banjar Melati, Kediri, yang juga mertua dari Kiai Ma'ruf pendiri Pondok Pesantren Kedunglo dan KH. Abdul Karim (Kiai Manaf) adalah pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Bakri kecil terkenal anak yang nakal, namun memiliki kecerdasan yang lebih dibanding teman-teman sebayanya. Ia sering bolos mengaji demi menonton pertunjukan wayang dan bela diri pencak silat. Namun, kenakalan tersebut berhenti ketika ia bermimpi bertemu dengan kakeknya dan ia disuruh berhenti melakukan hal-hal buruk oleh kakeknya di dalam mimpi tersebut.
Sejak kecil, Syeikh Ihsan mendapat pendidikan pendidikan agama dari ayahnya sendiri (Kiai Dahlan) dan Neneknya (Nyai Istianah) yang mengasuhnya sejak usia enam tahun setelah kedua orangtuanya bercerai. Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya ke berbagai Pondok Pesantren di Jawa yang rata-rata ia tempuh dengan waktu singkat.
Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Pesantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan memboyong ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Pada hari Senin, 25 Dzulhijjah 1371 H atau bertepatan dengan September 1952, Syeikh Ihsan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada usia 51 tahun. Beliau meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah beliau tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang abadi) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syeikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah: (1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban; (2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH. Busyairi di Sampang Madura; (5) Kiai Hambili di Plumbon Cirebon; (6) Kiai Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....
Bakri kecil terkenal anak yang nakal, namun memiliki kecerdasan yang lebih dibanding teman-teman sebayanya. Ia sering bolos mengaji demi menonton pertunjukan wayang dan bela diri pencak silat. Namun, kenakalan tersebut berhenti ketika ia bermimpi bertemu dengan kakeknya dan ia disuruh berhenti melakukan hal-hal buruk oleh kakeknya di dalam mimpi tersebut.
Sejak kecil, Syeikh Ihsan mendapat pendidikan pendidikan agama dari ayahnya sendiri (Kiai Dahlan) dan Neneknya (Nyai Istianah) yang mengasuhnya sejak usia enam tahun setelah kedua orangtuanya bercerai. Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya ke berbagai Pondok Pesantren di Jawa yang rata-rata ia tempuh dengan waktu singkat.
Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Pesantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan memboyong ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu menyamar. Ia tidak mau dikenal sebagai gus (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, menghilang dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.
Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjadi Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semenjak itu, kepemimpinan Pesantren Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan sukarela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Atas kerja keras Syeikh Ihsan, pesantren tersebut menunjukkan perkembangan yang pesat. Jumlah santrinya semakin lama semakin bertambah banyak, yang semula hanya 150 orang menjadi mencapai 1000 orang lebih. Perkembangan ini diikuti pula diperluasnya tanah hingga mencapai 150 hektare. Di samping itu, Syeikh Ihsan juga mulai mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Diniyah Mafatihul Huda pada tahun 1942. Syeikh Ihsan mengasuh Pondok Pesantren Jampes selama 20 tahun.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syeikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. Pesantren Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan Republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta do'a restu Syeikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syeikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih Pesantren Jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syeikh Ihsan membuka gerbang pesantrennya lebar-lebar.
Syeikh Ihsan adalah ulama yang terkenal suka membaca dan menulis (mengarang). Beliau selalu mengisi waktu senggangnya dengan membaca dan menulis. Naskah yang beliau tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren. Di antara kitab-kitab yang telah beliau tulis ialah:
Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjadi Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semenjak itu, kepemimpinan Pesantren Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan sukarela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Atas kerja keras Syeikh Ihsan, pesantren tersebut menunjukkan perkembangan yang pesat. Jumlah santrinya semakin lama semakin bertambah banyak, yang semula hanya 150 orang menjadi mencapai 1000 orang lebih. Perkembangan ini diikuti pula diperluasnya tanah hingga mencapai 150 hektare. Di samping itu, Syeikh Ihsan juga mulai mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Diniyah Mafatihul Huda pada tahun 1942. Syeikh Ihsan mengasuh Pondok Pesantren Jampes selama 20 tahun.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syeikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. Pesantren Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan Republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta do'a restu Syeikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syeikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih Pesantren Jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syeikh Ihsan membuka gerbang pesantrennya lebar-lebar.
Syeikh Ihsan adalah ulama yang terkenal suka membaca dan menulis (mengarang). Beliau selalu mengisi waktu senggangnya dengan membaca dan menulis. Naskah yang beliau tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren. Di antara kitab-kitab yang telah beliau tulis ialah:
- Tashrih al-Ibarat. Kitab ini ditulis pada tahun 1930, yang merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Natijat al-Miqat karangan KH. Ahmad Dahlan, Semarang. Kitab ini mengulas tentang ilmu falak (astronomi).
- Siraj al-Thalibin. Kitab ini ditulis pada tahun 1932, yang merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Minhaj al-Abdidin karangan Imam al-Ghazali. Kitab ini mengulas tentang ilmu tasawuf.
- Manahij al-Amdad. Kitab ini ditulis pada tahun 1944, yang merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Irsyad al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karangan Syeikh Zainuddin al-Malibari. Kitab ini mengulas tentang ilmu tasawuf.
- Irsyad al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa al-Dukhan, merupakan kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.
Pada hari Senin, 25 Dzulhijjah 1371 H atau bertepatan dengan September 1952, Syeikh Ihsan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada usia 51 tahun. Beliau meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah beliau tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang abadi) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syeikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah: (1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban; (2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH. Busyairi di Sampang Madura; (5) Kiai Hambili di Plumbon Cirebon; (6) Kiai Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....