Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dirinya dipuji. Saat pujian datang, apalagi dari seseorang yang istimewa dalam pandangannya tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-bunga, bangga, senang. Itu manusiawi. Namun hati-hatilah, jangan sampai riya’ menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.
Telah diriwayatkan bahwa Imam al-Hassan al-Bashri pernah berkata bahwa pernah suatu ketika Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu duduk-duduk bersama sekelompok orang, dan tiba-tiba Jarud bin Mundzair datang, kemudian salah seorang berkata: “Dia ini adalah kepala suku Rabi’ah“. Perkataan tersebut didengar oleh Umar dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Bahkan al-Jarud (orang yang dipuji tadi) pun mendengarnya, Jarud ketika itu berada di dekat Umar, maka Umar pun mencambuk tubuh Jarud. Karena merasa heran terhadap apa yang dilakukan Umar terhadap dirinya, ia pun bertanya: “Wahai Amirul Mu’minin, sebenarnya apa yang terjadi antara engkau dengan diriku?“ Umar menjawab: “Aku khawatir pujian itu membuatmu berbesar hati, dan merasa bangga, dan aku tidak ingin hal seperti ini menimpamu“.
Ziyad bin Muslim berkata: “Tidak seorangpun yang mendengar pujian yang ditujukan kepadanya, kecuali syaitan akan mempengaruhinya supaya ia berbangga diri dan sombong. Akan tetapi bagi orang mukmin pujian itu dijadikan sebagai media untuk mengoreksi dirinya“.
Ketika pujian itu dipandang tidak membahayakan bagi orang yang memuji dan dipuji, maka tidak dilarang bahkan bisa menjadi sunnah. Karena Rasulullah ﷺ pernah memuji sahabat-sahabatnya.
Ketahuilah bahwa orang yang dipuji harus dapat menjaga hati dari bahaya kesombongan, membanggakan diri dan bahayanya adalah hilang semangat dalam pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang mendapat pujian tidak akan selamat dari bahaya-bahaya pujian seperti sombong, ujub, dan lain sebagainya, kecuali jika ia menyadari keadaan dirinya, menyadari cela (aib) dirinya.
Adapun do’a ketika dipuji :
“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.“
Semoga Allah menjadikan kita seorang mukhlishah, senantiasa berusaha untuk menjaga niat dari setiap amalan yang kita lakukan. Aamiin ya Rabbal alamin
Telah diriwayatkan bahwa Imam al-Hassan al-Bashri pernah berkata bahwa pernah suatu ketika Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu duduk-duduk bersama sekelompok orang, dan tiba-tiba Jarud bin Mundzair datang, kemudian salah seorang berkata: “Dia ini adalah kepala suku Rabi’ah“. Perkataan tersebut didengar oleh Umar dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Bahkan al-Jarud (orang yang dipuji tadi) pun mendengarnya, Jarud ketika itu berada di dekat Umar, maka Umar pun mencambuk tubuh Jarud. Karena merasa heran terhadap apa yang dilakukan Umar terhadap dirinya, ia pun bertanya: “Wahai Amirul Mu’minin, sebenarnya apa yang terjadi antara engkau dengan diriku?“ Umar menjawab: “Aku khawatir pujian itu membuatmu berbesar hati, dan merasa bangga, dan aku tidak ingin hal seperti ini menimpamu“.
Ziyad bin Muslim berkata: “Tidak seorangpun yang mendengar pujian yang ditujukan kepadanya, kecuali syaitan akan mempengaruhinya supaya ia berbangga diri dan sombong. Akan tetapi bagi orang mukmin pujian itu dijadikan sebagai media untuk mengoreksi dirinya“.
Ketika pujian itu dipandang tidak membahayakan bagi orang yang memuji dan dipuji, maka tidak dilarang bahkan bisa menjadi sunnah. Karena Rasulullah ﷺ pernah memuji sahabat-sahabatnya.
Ketahuilah bahwa orang yang dipuji harus dapat menjaga hati dari bahaya kesombongan, membanggakan diri dan bahayanya adalah hilang semangat dalam pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang mendapat pujian tidak akan selamat dari bahaya-bahaya pujian seperti sombong, ujub, dan lain sebagainya, kecuali jika ia menyadari keadaan dirinya, menyadari cela (aib) dirinya.
Adapun do’a ketika dipuji :
اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.“
Semoga Allah menjadikan kita seorang mukhlishah, senantiasa berusaha untuk menjaga niat dari setiap amalan yang kita lakukan. Aamiin ya Rabbal alamin