Imam adh-Dhahhak bin Qays, dikutip Syeikh Abu Bakar ath-Thurthusy al-Andalusi dalam Al-Ma’tsurat, beliau berkata, “Aku mencari ibadah di dalam setiap hal, tetapi aku tak menemukan yang dapat melebihi apa yang aku temukan di dalam aktiviitas duduk bersama ahli dzikir.”
Dzikir merupakan satu-satunya ibadah yang tidak memiliki batas. Seorang mukmin boleh berdzikir di mana saja, bila saja, dan dalam keadaan apa pun. Bahkan di dalam bilik mandi yang terlarang untuk berdzikir secara jahr (suara keras), seorang hamba tetap boleh mengingat Allah Ta’ala di dalam hati dan fikirannya.
Dzikir menjadi penawar yang amat mujarab atas kekerasan hati seorang hamba. Siapa yang sukar menerima kebenaran bahkan menolak dan menentangnya, hal itu pasti terjadi kerana kerasnya hati.
Sebab hati yang lembut akan mudah menerima kebenaran layaknya tanah yang subur; sesuai untuk berbagai jenis tanaman hingga membuahkan hasil yang membanggakan.
Tersebutlah seorang laki-laki yang bertanya kepada Al-Hasan, “Hatiku keras. Apa yang harus aku lakukan?”
“Dekatkanlah hatimu ke majlis-majlis dzikir.” jawabnya dengan lembut.
Hadirilah majlis-majlis dzikir yang membuat kita ingat kepada Allah Ta’ala, berharap ridha-Nya, surga-Nya, dan takut serta menjauh dari neraka-Nya. Niscaya kerasnya hati akan melembut, akan luntur, kemudian menjadi hati yang subur dengan benih iman lalu membuahkan amal sholeh.
Ketika seorang laki-laki mengeluhkan kerasnya hati kepada Imam Raja’ bin Haywah yang merupakan ahli fiqih, imam yang wafat pada 12 Hijriyah ini memberikan penyelesaiannya , “Terus-meneruslah berdzikir kepada Allah Ta’ala.”
Nah, apa yang harus dilakukan jika sudah rajin berdzikir tetapi hati tetap merasa keras? Apa yang mesti diperbuat ketika lisan lelah dalam dzikir tetapi kelembutan hati tak kunjung hadir? Bagaimana terapi yang kudu dilakukan agar kerasnya hati beransur hilang dan berganti dengan kelembutan?
“Kami tidak merasakan manis di dalam hati, padahal kami sudah berdzikir kepada Allah Ta’ala,” keluh seorang laki-laki kepada Abu ‘Utsman.
Abu ‘Utsman yang alim pun lekas memberikan jawaban atas persoalan lelaki tersebut. Katanya santun, “Pujilah Allah Ta’ala agar dia hiasi anggota badanmu dengan ketaatan kepada-Nya.”
Terus berdzikir. Jangan muak apalagi berhenti.
Jangan pula merasa telah banyak berdzikir jika belum melampaui sebuah atsar yang menyebutkan bahwa sahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan beristighfar sebanyak 1200 kali dalam sehari.
Sumber: kisahikmah.com
Dzikir merupakan satu-satunya ibadah yang tidak memiliki batas. Seorang mukmin boleh berdzikir di mana saja, bila saja, dan dalam keadaan apa pun. Bahkan di dalam bilik mandi yang terlarang untuk berdzikir secara jahr (suara keras), seorang hamba tetap boleh mengingat Allah Ta’ala di dalam hati dan fikirannya.
Dzikir menjadi penawar yang amat mujarab atas kekerasan hati seorang hamba. Siapa yang sukar menerima kebenaran bahkan menolak dan menentangnya, hal itu pasti terjadi kerana kerasnya hati.
Sebab hati yang lembut akan mudah menerima kebenaran layaknya tanah yang subur; sesuai untuk berbagai jenis tanaman hingga membuahkan hasil yang membanggakan.
Tersebutlah seorang laki-laki yang bertanya kepada Al-Hasan, “Hatiku keras. Apa yang harus aku lakukan?”
“Dekatkanlah hatimu ke majlis-majlis dzikir.” jawabnya dengan lembut.
Hadirilah majlis-majlis dzikir yang membuat kita ingat kepada Allah Ta’ala, berharap ridha-Nya, surga-Nya, dan takut serta menjauh dari neraka-Nya. Niscaya kerasnya hati akan melembut, akan luntur, kemudian menjadi hati yang subur dengan benih iman lalu membuahkan amal sholeh.
Ketika seorang laki-laki mengeluhkan kerasnya hati kepada Imam Raja’ bin Haywah yang merupakan ahli fiqih, imam yang wafat pada 12 Hijriyah ini memberikan penyelesaiannya , “Terus-meneruslah berdzikir kepada Allah Ta’ala.”
Nah, apa yang harus dilakukan jika sudah rajin berdzikir tetapi hati tetap merasa keras? Apa yang mesti diperbuat ketika lisan lelah dalam dzikir tetapi kelembutan hati tak kunjung hadir? Bagaimana terapi yang kudu dilakukan agar kerasnya hati beransur hilang dan berganti dengan kelembutan?
“Kami tidak merasakan manis di dalam hati, padahal kami sudah berdzikir kepada Allah Ta’ala,” keluh seorang laki-laki kepada Abu ‘Utsman.
Abu ‘Utsman yang alim pun lekas memberikan jawaban atas persoalan lelaki tersebut. Katanya santun, “Pujilah Allah Ta’ala agar dia hiasi anggota badanmu dengan ketaatan kepada-Nya.”
Terus berdzikir. Jangan muak apalagi berhenti.
Jangan pula merasa telah banyak berdzikir jika belum melampaui sebuah atsar yang menyebutkan bahwa sahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan beristighfar sebanyak 1200 kali dalam sehari.
Sumber: kisahikmah.com