Bila kita membaca perihal kehidupan para Ulama, kita akan temukan betapa banyak di antara mereka tamak terhadap waktunya. Sebagaimana perkataan Al-Hassan al-Bashri,
“Hai anak Adam! Engkau hanyalah kumpulan hari-hari. Jika satu hari berlalu, maka berlalulah sebagian darimu.“ Beliau juga mengungkapkan, “Aku pernah berjumpa dengan orang yang tamak dengan waktunya, melebihi ketamakan kalian terhadap dinar dan dirham.” (Syaikh Abdul Fattah, Potret Manajemen Waktu Ulama: III:55)
Waktu Terberat Ialah Waktu Makan
Abu Hilal al-Askari menyebutkan dalam kitabnya Al-Hatstu ‘ala Thalabil Ilm wal Ijtihat fi ‘ihi, hal 87. Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Bashri adalah seorang ulama tercerdas,. Beliau rahimahullah berkata, "Waktu yang paling berat bagiku adalah waktu makan.”
Disebutkan dalam biografi Imam Fakhrudin ar-Razi (543-606 H) seorang ulama ahli tafsir, ushul fiqh sebuah ungkapan dari Ibnu Abi Ushaibi’ah, “Al-Qadhi Syamsuddin al-Khu’i menceritakan kepada kami dari Syaikh Fakhruddin, bahwa ia pernah berkata, ‘Demi Allah, saya benar-benar berduka atas hilangnya waktu yang saya gunakan makan, yang mestinya bisa dipakai untuk menggeluti ilmu. Karena, sesungguhnya waktu itu amat berharga nilainya.”
Saat ini kita mungkin banyak menghabiskan waktu kita untuk mencari kuliner?
Siang Malam Dihabiskan Untuk Belajar
Ibnu Jarir ath-Thabari salah seorang Mufasir terkenal hingga saat ini. Khathib al-Baghdadi menyebutkan, “Aku pernah mendengar As-Simsimi menceritakan bahwa Ibnu Jarir selama 40 tahun menulis setiap harinya 40 lembar."
Imam Nawawi berkata, “Saya menetap di sana (Damaskus) selama 2 tahun. Selama itu, saya nyaris tidak pernah tidur.” Beliau berhasil menghapal kitab At-Tanbih selama 4,5 bulan, dan membaca seperempat kitab Al-Muhadzabdzab dengan hapalan.
Imam asy-Syaukani menghadiri pelajaran beliau dalam sehari semalam mencapai 13 pelajaran. Di antaranya apa yang beliau terima dari Syaikhnya dan sebagiannya lagi apa yang beliau ajarkan kepada para muridnya. Kegiatan ini berlangsung selama beberpa waktu.
Muhammad bin Hassan salah seorang murid Imam Hanifah, Al-Allamah Thasykubri Zada pernah menceritakan dalam kitab Miftahus Sa’adah wa Misbahus Siyadah, I:23 konon beliau sering tidak tidur malam. Beliau biasanya meletakkan beberapa jenis buku di sisinya. Bila bosan membaca satu buku, beliau akan menelaah yang lain. Beliau bisa menghilangkan rasa kantuk dengan duduk, sembari berujar, "Sesungguhnya tidur berasal dari panas."
Imam Ibnu Aqil, berkata, “Tidak boleh bagiku menyia-nyiakan sesaat pun dari umurku. Kalau lisanku berhenti berdzikir atau diskusi, mataku tidak digunakan membaca, maka aku gunakan pikiranku saat sedang beristirahat sambil berbaring. Saat aku bangkit, sudah ada dalam pikiranku sesuatu yang akan aku tulis. Saya mendapatkan ambisi saya pada usia 80 tahun untuk menuntut Ilmu, justru lebih besar daripada usia 20 tahun."
Al-Hafizh Imam Dzahabi menceritakan dalam Tadzkiratul Huffazh, III: 830, tentang biografi Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi, bahwa Ali bin Ahmad al-Khawarizmi berkata, Ibnu Abu Hatim berkata, ‘Kami tinggal di Mesir selama tujuh bulan tanpa makan kuah. Siangnya kami berkeliling kepada para Syaikh. Malamnya kami menulis ilmu dan mengeceknya. Suatu hari kami, aku dan temanku mendatangi seorang Syaikh. Orang banyak berkata, Dia sedang sakit. Saat itu, aku melihat seekor ikan. Kami menyukainya dan membelinya. Ketika kami tiba di rumah, waktu pertemuan dengan sebagian Syaikh telah tiba. Maka, kami pun berangkat, dan kami tinggalkan ikan itu selama tiga hari. Ikan itu hampir membusuk, maka kami memakannya dalam keadaan mentah, karena kami tidak sempat membakarnya. Kemudian Syaikh itu berkata, ‘Ilmu tidak diperoleh dengan kenyamanan fisik.”
Abu Yusuf Tidak Menghadiri Pemakaman Anaknya Karena Takut Tertitinggal di Majelisnya Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan, Aku pernah mendengar Syuja’ bin Makhlad, bahwa ia menuturkan: Aku mendengar Abu Yusuf berkata: “Putraku meninggal dunia, namun aku tidak bisa ikut mengurus dan mengkebumikannya. Aku membiarkan tetanggaku dan kerabatku mengurusnya. Karena aku khawatir, ada pelajaran dari Abu Hanifah yang tidak aku ikuti. Jangan sampai ilmu itu meninggalkanku, sehingga aku rugi dibuatnya." (Lihat Manaqib Abu Hanifah, karya Imam Maliki, I: 472)
Mungkinkah kita melakukannya seperti ini?
Sumber: fp. FSI Tunas Ilmu
“Hai anak Adam! Engkau hanyalah kumpulan hari-hari. Jika satu hari berlalu, maka berlalulah sebagian darimu.“ Beliau juga mengungkapkan, “Aku pernah berjumpa dengan orang yang tamak dengan waktunya, melebihi ketamakan kalian terhadap dinar dan dirham.” (Syaikh Abdul Fattah, Potret Manajemen Waktu Ulama: III:55)
Waktu Terberat Ialah Waktu Makan
Abu Hilal al-Askari menyebutkan dalam kitabnya Al-Hatstu ‘ala Thalabil Ilm wal Ijtihat fi ‘ihi, hal 87. Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Bashri adalah seorang ulama tercerdas,. Beliau rahimahullah berkata, "Waktu yang paling berat bagiku adalah waktu makan.”
Disebutkan dalam biografi Imam Fakhrudin ar-Razi (543-606 H) seorang ulama ahli tafsir, ushul fiqh sebuah ungkapan dari Ibnu Abi Ushaibi’ah, “Al-Qadhi Syamsuddin al-Khu’i menceritakan kepada kami dari Syaikh Fakhruddin, bahwa ia pernah berkata, ‘Demi Allah, saya benar-benar berduka atas hilangnya waktu yang saya gunakan makan, yang mestinya bisa dipakai untuk menggeluti ilmu. Karena, sesungguhnya waktu itu amat berharga nilainya.”
Saat ini kita mungkin banyak menghabiskan waktu kita untuk mencari kuliner?
Siang Malam Dihabiskan Untuk Belajar
Ibnu Jarir ath-Thabari salah seorang Mufasir terkenal hingga saat ini. Khathib al-Baghdadi menyebutkan, “Aku pernah mendengar As-Simsimi menceritakan bahwa Ibnu Jarir selama 40 tahun menulis setiap harinya 40 lembar."
Imam Nawawi berkata, “Saya menetap di sana (Damaskus) selama 2 tahun. Selama itu, saya nyaris tidak pernah tidur.” Beliau berhasil menghapal kitab At-Tanbih selama 4,5 bulan, dan membaca seperempat kitab Al-Muhadzabdzab dengan hapalan.
Imam asy-Syaukani menghadiri pelajaran beliau dalam sehari semalam mencapai 13 pelajaran. Di antaranya apa yang beliau terima dari Syaikhnya dan sebagiannya lagi apa yang beliau ajarkan kepada para muridnya. Kegiatan ini berlangsung selama beberpa waktu.
Muhammad bin Hassan salah seorang murid Imam Hanifah, Al-Allamah Thasykubri Zada pernah menceritakan dalam kitab Miftahus Sa’adah wa Misbahus Siyadah, I:23 konon beliau sering tidak tidur malam. Beliau biasanya meletakkan beberapa jenis buku di sisinya. Bila bosan membaca satu buku, beliau akan menelaah yang lain. Beliau bisa menghilangkan rasa kantuk dengan duduk, sembari berujar, "Sesungguhnya tidur berasal dari panas."
Imam Ibnu Aqil, berkata, “Tidak boleh bagiku menyia-nyiakan sesaat pun dari umurku. Kalau lisanku berhenti berdzikir atau diskusi, mataku tidak digunakan membaca, maka aku gunakan pikiranku saat sedang beristirahat sambil berbaring. Saat aku bangkit, sudah ada dalam pikiranku sesuatu yang akan aku tulis. Saya mendapatkan ambisi saya pada usia 80 tahun untuk menuntut Ilmu, justru lebih besar daripada usia 20 tahun."
Al-Hafizh Imam Dzahabi menceritakan dalam Tadzkiratul Huffazh, III: 830, tentang biografi Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi, bahwa Ali bin Ahmad al-Khawarizmi berkata, Ibnu Abu Hatim berkata, ‘Kami tinggal di Mesir selama tujuh bulan tanpa makan kuah. Siangnya kami berkeliling kepada para Syaikh. Malamnya kami menulis ilmu dan mengeceknya. Suatu hari kami, aku dan temanku mendatangi seorang Syaikh. Orang banyak berkata, Dia sedang sakit. Saat itu, aku melihat seekor ikan. Kami menyukainya dan membelinya. Ketika kami tiba di rumah, waktu pertemuan dengan sebagian Syaikh telah tiba. Maka, kami pun berangkat, dan kami tinggalkan ikan itu selama tiga hari. Ikan itu hampir membusuk, maka kami memakannya dalam keadaan mentah, karena kami tidak sempat membakarnya. Kemudian Syaikh itu berkata, ‘Ilmu tidak diperoleh dengan kenyamanan fisik.”
Abu Yusuf Tidak Menghadiri Pemakaman Anaknya Karena Takut Tertitinggal di Majelisnya Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan, Aku pernah mendengar Syuja’ bin Makhlad, bahwa ia menuturkan: Aku mendengar Abu Yusuf berkata: “Putraku meninggal dunia, namun aku tidak bisa ikut mengurus dan mengkebumikannya. Aku membiarkan tetanggaku dan kerabatku mengurusnya. Karena aku khawatir, ada pelajaran dari Abu Hanifah yang tidak aku ikuti. Jangan sampai ilmu itu meninggalkanku, sehingga aku rugi dibuatnya." (Lihat Manaqib Abu Hanifah, karya Imam Maliki, I: 472)
Mungkinkah kita melakukannya seperti ini?