Imam Malik rahimahullah adalah ulama penggagas salah satu madzhab besar di kalangan Islam Sunni, Madzhab Maliki. Beliau lahir di daerah Dzi al-Marwah; agak jauh dari kota Madinah, Sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. Al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat Fuqoha meriwayatkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahwa Imam Malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan Imam Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya bin Bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam Malik berkata : "Aku dilahirkan pada 93 H". dan inilah riwayat yang paling benar (menurut As-Sam'ani dan Ibn Farhun).
Kemudian keluarga Imam Malik pindah ke Wadi al-Aqiq dekat kota Madinah. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal. Penulis kitab Al-Muwaththa’ itu suka mencari ilmu sejak belia dan rajin pula menyebarkannya.
Imam Malik adalah nama yang lebih dikenal ketimbang nama lengkapnya: Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam.
Kakek beliau, Malik bin Abi Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Pada masa Umar bin Khatthhab, sang kakek pindah ke kota Madinah dan menimba ilmu dengan para sahabat Nabi ﷺ sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in. Di Madinah Malik bin Amir ikut serta dalam penulisan ulang Al-Qur'an pada masa Khalifah Ustman bin Affan radhiyallahu 'anhu. Beliau juga ikut serta melindungi Ustman bin Affan dari pemberontakan, meskipun akhirnya Khalifah Ustman bin Affan berhasil dibunuh oleh para pemberontak.
Imam Malik mulai menuntut ilmu di usia belia. Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Beliau merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.” Pada waktu itu Rabi'ah bin Abi Abdurahman.merupakan ulama yang menjadi rujukan di Madinah.
Imam Malik juga belajar dari Imam Nafi’ bin Abi Nuaim, maula Abdullah bin Umar. Imam Malik sering menyertai Imam Nafi 'untuk mendapatkan hadits dari beliau. Bahkan beliau termasuk dalam rantai emas jalur periwayatan hadits (Silsilah adz-Dzahabiyah), yaitu riwayat hadits dari Syafi'i dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Umar bin Khaththab.
Guru Imam Malik sangat banyak. Mengutip sebuah sumber, Imam An-Nawawi berkata, “Imam Malik mengambil hadits dari sembilan ratus orang guru, yaitu tiga ratus orang dari generasi Tabi’in dan enam ratus orang dari generasi Tabi’i Tabi’in”.
Guru Imam Malik yang lain yaitu: Ibnu Syihab az-Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al-Anshari, dan Muhammad bin Al-Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Ja'far Shaddiq, Rabi Rayi, dan ulama-ulama lain.
Meskipun Imam Malik memiliki kelebihan dalam hafalan dan kekuatan pengetahuannya, akan tetapi beliau tidak mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, karena beliau beranggapan cukup dengan ilmu yang ada di sekitar Hijaz. Meski beliau tidak pernah mengadakan perjalanan ilmiah, tetapi beliau telah menyandang gelar seorang ulama, yang dapat memberikan fatwa dalam permasalahan ummat.
Setelah Imam Malik menyempurnakan belajarnya tentang atsar (hadits) dan fatwa, beliau mulai mengajar di masjid Nabawi untuk mengamalkan ilmunya – menurut sebagian riwayat bahwa beliau memulai berfatwa pada umur 17 tahun -.
Sekalipun di saat itu masih muda, tapi karena berilmu tinggi maka orang-orang mulai mengambil hadits atau menuntut ilmu lainnya dari Imam Malik. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al-Manshur, Al-Mahdi, Hadi Harun, dan Al-Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang. Diantaranya yaitu Ibnu Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Mashar, dan Yahya bin Yahya al-Qurthubi.
Abu Mushab berkata , “Banyak orang berkerumun dan berdesak-desakan di depan pintu rumah Imam Malik, mereka berlomba-lomba untuk menimba ilmu”.
Dalam menjawab pertanyaan beliau seringkali berkata “Ya” atau “Tidak” dan tidak ada seorangpun yang berkata “Apa dalilnya Anda mengatakan demikian?”. Hal tersebut menunjukkan betapa tsiqah nya mereka terhadap keilmuan Imam Malik.
Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan ibunya sedari beliau kecil. Setiap hadir di majelisnya, pakaian yang beliau kenakan selalu rapi, bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ia seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari para muridnya yang mengisahkan tentang bagusnya penampilan Imam Malik, terutama saat hendak mengajarkan hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk menggambarkan kebiasaan beliau.
Hendaknya demikianlah seorang muslim, terlebih seseorang yang memiliki pengetahuan agama. Seorang muslim harus berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak sedap. Sering kita lihat saudara-saudara muslim yang dikenal sebagai orang yang taat, mereka berpenampilan lusuh, pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama tidak diganti, dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau pakaiannya, ironisnya ini terkadang terjadi saat shalat berjama'ah. Agama kita sangat menganjurkan kebersihan dan Allah mencintai keindahan.
Imam Malik merupakan salah seorang ulama yang memiliki jasa besar dalam perkembangan dan pembukuan hadits. Beliau adalah orang pertama yang membukukan hadits dalam kitabnya Al-Muwaththa'. Menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa kitab Al-Muwaththa' tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al-Manshur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan hadits-hadits dan membukukannya. Awalnya Imam Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut. Akhirnya lahirlah Al-Muwaththa' yang ditulis pada masa Khalifah Al-Manshur (754-775 M) dan selesai di masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M).
Dan beliau sangat berhati-hati dalam mengambil hadits. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang dinyatakan shahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan Al-Qur'an. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya.
Ibnu Hatim berkata, bahwa “Imam Malik menunjukkan orang-orang yang tidak bisa dipercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia (Imam Malik) tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits shahih dan tidak mau membicarakan hadits kecuali hadits itu diriwayatkan dari perawi yang bisa dipercaya. Imam Malik mempunyai pengetahuan ilmu fikih, pandai ilmu agama, mulia, dan taat beribadah”.
Tentang bukti sikap kehati-hatian Imam Malik, lihatlah kitab Al-Muwaththa’ yang bermakna yang terseleksi dan disetujui atau tersunting. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits.
Kitab Al-Muwaththa’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Kitab ini menjadi salah satu rujukan terpenting di bidang fikih. Karya ini memiliki banyak keistimewaan. Misalnya, kitab ini disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memerinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa Sahabat. Dan, kitab Al-Muwaththa’ telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.
Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi, berkata: “Al-Muwaththa’ adalah dasar utama dan inti dari kitab-kitab hadits. Sedangkan karya Imam Bukhari adalah dasar kedua. Dan, dari keduanya, muncul kitab yang menjadi penyempurna, seperti karya Imam Muslim dan At-Tirmidzi”.
Selain Al-Muwaththa’, Imam Malik juga menyusun kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Tak hanya berhati-hati saat memilih hadits, Imam Malik juga sangat menghormati hadits. Ibnu Abi Uwais berkata: “Jka Imam Malik ingin membicarakan sebuah hadits, maka dia berwudhu terlebih dahulu, merapikan jenggotnya, duduk dengan tenang dan sopan, kemudian dia baru berbicara.”
Ketika seseorang bertanya tentang kebiasaannya itu, Imam Malik menjawab: “Saya ingin memuliakan hadits Rasulullah ﷺ. Saya tidak mau menyampaikan sebuah hadits kecuali saya dalam keadaan suci dan tenang.”
Di antara kelebihan Imam Malik yang lain, dia sangat menghormati majelis ilmu. Terkait ini, ada kisah menarik: Di sebuah kunjungan ke Madinah, Harun ar-Rasyid - Khalifah Bani Abbasiyyah saat itu - tertarik untuk mendapatkan kajian kitab Al-Muwaththa’. Harun ar-Rasyid ingin agar Imam Malik datang ke tempat dia tinggal untuk menyampaikan kajian. Harun ar-Rasyid pun mengutus seseorang untuk memanggil Imam Malik.
Permintaan Harun ar-Rasyid itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi,” kata Imam Malik. Maka, tak ada pilihan lain, Sang Khalifah pun mengikuti kajian kitab Al-Muwaththa’ bersama dua putranya dengan duduk berdampingan bersama jama'ah lainnya di tempat kajian itu biasa dilaksanakan.
Terkait peristiwa tersebut, Imam Malik memberikan nasihat kepada Harun ar-Rasyid: ”Rasyid, hadits adalah pelajaran yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh leluhur Anda. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, maka tak seorangpun yang akan menaruh hormat kepada Anda. Manusia-lah yang harus mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan pernah mencari manusia.”
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, menjaga ketentraman, dan mendorong rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan dia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Manshur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Imam Malik tak berkenan dengan sikap itu dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”
Imam Malik dikenal tegas memegang prinsip. Lebih dari sekali ‘pendapat keagamaan’-nya berbeda dengan pendapat penguasa. Atas sikapnya ini, Imam Malik tabah menerima risiko – seperti dicambuk - atas perjuangannya menegakkan risalah Islam.
Salah satunya dengan Ja’far bin Sulaiman, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyyah, Al-Manshur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang Imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Al-Manshur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang Imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang Imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Imam Malik rahimahullah meninggal pada tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 H/796 M ketika berumur 86 tahun dan meninggalkan 3 orang putera dan seorang puteri. Yang bertindak sebagai imam shalat jenazah beliau adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi, beliau adalah gubernur Madinah. Imam Malik dimakamkan di pemakaman Baqi di kota Madinah.
Semoga amal kebaikan Imam Malik rahimahullah mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan. Aamiin.
Wallahu a'lam.