Dinamakan juga Masjid Wali oleh masyarakat setempat, masjid yang ukurannya tidak terlalu besar itu disebut-sebut sebagai pusat penyebaran dan pengembangan Islam di wilayah Pati pada abad ke 19. Selain itu masjid ini juga masih memiliki kaitan erat dengan sejarah Masjid Agung Baitunnur Pati. Karena tonggak sejarah Masjid Agung Baitunnur Pati yang berupa sebuah prasasti pembangunan justru tersimpan di Masjid Baiturrohim Gambiran ini. Bahkan Masjid Baiturrohim Gambiran pada masanya menjadi masjid utama di Pati, sebelum akhirnya pusat keislaman berpindah ke Masjid Agung Baitunnur.
Jika dibandingkan dengan bangunan aslinya, Masjid Baiturrohim Gambiran sudah mengalami banyak perubahan. Jika dahulu atapnya terbuat dari ijuk, kini telah diganti dengan genting tanah. Dinding masjid yang sebelumya dari kayu juga sudah berubah menjadi tembok semen. Lalu lantainya juga kini sudah berkeramik.
Walaupun sudah banyak perubahan, tetapi masih bisa melihat beberapa bagian masjid yang masih asli. Salah satunya adalah bentuk atap limas bersusun yang menyerupai Masjid Demak yang merupakan arsitektur khas pada masa Kerajaan Islam Demak. Mimbar khatib yang terbuat dari kayu jati kuno juga masih utuh seperti aslinya, serta tabung beduk di halaman masjid yang tetap terawat hingga sekarang.
Di Masjid Baiturrohim Gambiran ini, juga masih dapat melihat kekunoan pada pilar masjid yang masih asli. Memiliki empat pilar, masing-masing memiliki dua buah jendela yang berada di depan dan di belakang, serta di samping. Keempat pilar masjid itu dibuat dari kayu jati utuh langsung dari pohon. Kayu jati dibentuk persegi memanjang dengan pahatan sederhana tanpa sentuhan modern.
Konon, kayu jati yang digunakan untuk membangun masjid tersebut juga sangat istimewa, karena diambil dari hutan di Semenanjung Muria, saat Muria masih terpisah dengan Pulau Jawa.
Baca juga : Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia
|
Sementara itu, pintu dan jendela yang dibuat dari pahatan alat pertukangan kuno juga masih asli seperti semula. Di atas pintu depan masjid, terdapat sebuah catatan dengan huruf Arab pegon. Yakni, huruf Arab yang bila dibaca memiliki bahasa dan makna Jawa. Bahkan, satu-dua kata ditemukan bahasa Belanda. Catatan yang disebut “Prasasti Gambiran” itu menceritakan tentang renovasi pertama yang dilakukan oleh Pemerintahan Adipati Ario Candrahadinegoro pada 1885, saat masa penjajahan Belanda.
Diceritakan, dalam renovasi tersebut ada suatu perubahan yang sangat mendasar, yakni pergantian kubah. Dan kubah yang diganti kemudian dipasangkan pada Masjid Tawangrejo. Saat renovasi itu pula, dinding masjid yang awalnya kayu mulai diubah menjadi tembok.
Selain empat pilar masjid, mihrab dan pintu, ada pula tempat semacam kolam kuno yang dulu digunakan untuk bersuci sebelum shalat. Kolam itu tepat berada di samping kiri masjid, dekat pinggir jalan. Dahulu, ketika masjid tersebut masih digunakan sebagai tempat untuk menikah, maka para pengantin sebelum memasuki masjid, terlebih dahulu membasuh kakinya di kolam. Namun kini kolam tersebut sudah tidak dipergunakan lagi.
Selain ada makam Mbah Cungkruk, di samping kiri masjid juga terdapat kompleks makam para penghulu (sebuah jabatan yang bertugas menikahkan orang Islam). Para penghulu dan keluarganya yang meninggal dunia dimakamkan di tempat ini, walaupun mereka sekarang sudah tidak bermukim lagi di Gambiran.
Mbah Cungkruk adalah murid Sunan Kalijaga dari dusun setempat. Pada awalnya Masjid Baiturrohim Gambiran ini dibangun oleh Sunan Kalijaga. Sayang, pembangunan masjid sempat tertunda karena beliau harus berangkat ke Demak untuk memenuhi tugas-tugasnya. Setelah itu pembangunan baru dilanjutkan kembali oleh Mbah Cungkruk. Dia dipercaya oleh sang wali untuk menjaga masjid sekaligus menyebarkan Islam di wilayah tersebut. Sebagai tanda penghormatan, makam Mbah Cungkruk yang berada hanya beberapa meter dari lokasi masjid tersebut masih terawat hingga sekarang. Bahkan tak jarang ada yang menziarahi makamnya.
Meski jauh dari popularitas dan keramaian, keberadaan Masjid Baiturrohim Gambiran merupakan bukti sejarah tentang penyebaran agama Islam di wilayah Pati. Dari masjid inilah, Islam akhirnya berkembang pesat ke seluruh pelosok desa di Kabupaten Pati.