Diriwayatkan dari Ibrahim, dari ‘Ulqamah, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
Barangsiapa menuntut ilmu yang bermanfaat baginya dalam kehidupan akhirat dan dunia, maka Allah memberinya sesuatu yang lebih baik dari tujuhribu tahun umur dunia, siangnya digunakan untuk berpuasa dan malamnya dipakai untuk beribadah, dan ibadah tersebut diterima dan tidak ditolak (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Dalam hadits lain Nabi ﷺ bersabda,
Aku adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah gerbangnya.
Mendengar hadits ini golongan khawarij merasa dengki (hasad) kepada Sayyidina ‘Ali karramallahu wajhah, kemudian sepuluh orang pembesar khawarij bersepakat untuk menguji ‘Ali dengan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh sepuluh orang secara terpisah. Apabila ‘Ali sanggup menjawab pertanyaan tersebut dengan argumentasi yang berbeda maka mereka akan membenarkan hadits Nabi ﷺ tersebut.
Orang pertama datang kepada ‘Ali dan bertanya, “Mana yang menurutmu lebih utama, ilmu atau harta? dan apa alasannya?” ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta warisan Fir’aun dan Qarun.”
Orang kedua sampai kesepuluh pun mengajukan pertanyaan yang sama, dengan kecerdasannya, ‘Ali sanggup menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan yang berbeda-beda.
Pada orang kedua ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan harta harus engkau jaga.”
Pada orang ketiga ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Orang berilmu memiliki banyak sahabat, sedangkan orang berharta mempunyai banyak musuh.”
Pada orang keempat ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Jika kamu menggunakan harta maka ia akan berkurang, tapi jika memanfaatkan ilmu niscaya ilmu itu akan bertambah.”
Pada orang kelima ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Pemilik harta dipanggil dengan cacian dan julukan pelit, sedangkan orang berilmu dipanggil dengan keagungan dan kemuliaan.”
Pada orang keenam ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Harta harus dijaga dari kejahatan tangan pencuri, sedangkan ilmu tidak.”
Pada orang ketujuh ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Pemilik harta akan dihisab pada hari kiamat, sedangkan orang berilmu akan dapat memberikan syafa’at.”
Pada orang kedelapan ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Harta akan habis seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan ilmu tidak.”
Pada orang kesembilan ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Harta akan menyebabkan keras hati pemiliknya, sedangkan ilmu menerangi hati pemiliknya.”
Pada orang kesepuluh ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Orang yang berharta akan dipanggil dengan julukan ‘pemilik harta’, sedangkan orang berilmu dengan ibadah.”
Kemudian ‘Ali berkata, “Jika mereka semua terus bertanya kepadaku tentang hal ini, selama masih hidup tentu aku akan menjawabnya dengan jawaban yang berbeda.” Kesepuluh orang tadi kemudian mendatangi Sayyidina ‘Ali dan menyatakan diri masuk Islam.
Wallahu a’lam bish shawab
(Dinukil dari Al-Mawa’izh al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar, hadits keempat, hal. 4)
من تعلم علما ينتفع به في آخرته ودنياه أعطاه الله خيرا له من عمر الدنيا سبعة آلاف سنة صيام نهارها وقيام ليالها مقبولا غير مردود
Barangsiapa menuntut ilmu yang bermanfaat baginya dalam kehidupan akhirat dan dunia, maka Allah memberinya sesuatu yang lebih baik dari tujuhribu tahun umur dunia, siangnya digunakan untuk berpuasa dan malamnya dipakai untuk beribadah, dan ibadah tersebut diterima dan tidak ditolak (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Dalam hadits lain Nabi ﷺ bersabda,
أنا مدينة العلم وعلي بابها
Aku adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah gerbangnya.
Mendengar hadits ini golongan khawarij merasa dengki (hasad) kepada Sayyidina ‘Ali karramallahu wajhah, kemudian sepuluh orang pembesar khawarij bersepakat untuk menguji ‘Ali dengan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh sepuluh orang secara terpisah. Apabila ‘Ali sanggup menjawab pertanyaan tersebut dengan argumentasi yang berbeda maka mereka akan membenarkan hadits Nabi ﷺ tersebut.
Orang pertama datang kepada ‘Ali dan bertanya, “Mana yang menurutmu lebih utama, ilmu atau harta? dan apa alasannya?” ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta warisan Fir’aun dan Qarun.”
Orang kedua sampai kesepuluh pun mengajukan pertanyaan yang sama, dengan kecerdasannya, ‘Ali sanggup menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan yang berbeda-beda.
Pada orang kedua ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan harta harus engkau jaga.”
Pada orang ketiga ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Orang berilmu memiliki banyak sahabat, sedangkan orang berharta mempunyai banyak musuh.”
Pada orang keempat ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Jika kamu menggunakan harta maka ia akan berkurang, tapi jika memanfaatkan ilmu niscaya ilmu itu akan bertambah.”
Pada orang kelima ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Pemilik harta dipanggil dengan cacian dan julukan pelit, sedangkan orang berilmu dipanggil dengan keagungan dan kemuliaan.”
Pada orang keenam ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Harta harus dijaga dari kejahatan tangan pencuri, sedangkan ilmu tidak.”
Pada orang ketujuh ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Pemilik harta akan dihisab pada hari kiamat, sedangkan orang berilmu akan dapat memberikan syafa’at.”
Pada orang kedelapan ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Harta akan habis seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan ilmu tidak.”
Pada orang kesembilan ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Harta akan menyebabkan keras hati pemiliknya, sedangkan ilmu menerangi hati pemiliknya.”
Pada orang kesepuluh ‘Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta. Orang yang berharta akan dipanggil dengan julukan ‘pemilik harta’, sedangkan orang berilmu dengan ibadah.”
Kemudian ‘Ali berkata, “Jika mereka semua terus bertanya kepadaku tentang hal ini, selama masih hidup tentu aku akan menjawabnya dengan jawaban yang berbeda.” Kesepuluh orang tadi kemudian mendatangi Sayyidina ‘Ali dan menyatakan diri masuk Islam.
Wallahu a’lam bish shawab
(Dinukil dari Al-Mawa’izh al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar, hadits keempat, hal. 4)