Syeikh Ahmad ar-Rasyid dalam buku Darul Muntalaq menuliskan bab sendiri tentang kesabaran kita bersama orang-orang seperjalanan, yakni “sabr ‘alal aqran”. Ia menyebutkan bahwa dalam perjalanan ini kita masing-masing harus sabar dari kekasaran, sabar dari kesalahfahaman, sabar dari keburukan dalam pelbagai bentuknya yang dilakukan teman perjalanan. Alasan paling dasarnya adalah karena manusia tidak pernah terlindung dari kekeliruan dan kekurangan. Sehingga Fudhail ibn Iyadh rahimahullah mengatakan,
“Siapa yang ingin bersaudara yang tidak memiliki aib, tanpa kekurangan, ia takkan memiliki saudara.”
Bahkan Abu Darda rahimahullah mengatakan,
“Kata-kata keras dan kasar dari seorang saudara itu masih lebih baik daripada engkau kehilangan seorang saudara.”
Di sinilah rahasianya, keutamaan seseorang yang mampu bertahan dan bersabar dengan kondisi orang sekitarnya, dibanding orang yang menyepi dan tak mau berinteraksi dengan orang lain, karena tidak sabar dengan sikap dan perilaku mereka.
“Seorang Muslim yang berbaur dengan manusia, lalu ia bersabar atas perilaku buruk mereka, itu lebih baik dari orang yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar atas perilaku buruk mereka.” (HR. Ahmad dan Turmudzi)
Ada prinsip indah yang diajarkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftah Darus Sa’adah, agar kita dapat mendapat kebaikan dari orang-orang sekitar kita. Ia mengatakan,
“Siapa yang ingin keburukannya dibalas oleh Allah dengan kebaikan, hendaknya ia juga membalas keburukan orang lain dengan kebaikan. Dan siapa yang mengetahui bahwa dosa dan keburukan itu pasti ada pada diri manusia, ia tidak terkejut dengan sikap buruk orang kepadanya.” (Miftah Darus Sa’adah, 11292)
Andai kita mampu menyadari prinsip ini, maka perjalanan kita akan menjadi indah. Jiwa-jiwa kita menjadi nyaman, permasalahan lebih mudah diatasi. Lalu, pohon keimanan kita akan tumbuh mekar dan bunga-bunganya akan merekah dan mewangi.
Ada banyak keadaaan yang akan memisahkan langkah kita dari jalan ini. Karena, kita tak pernah lepas dari intaian syaitan yang ingin menceraikan kita dari kebersamaan ini. Seperti perkataan Mujahid,
“Tak ada sekelompok orang yang keluar ke Makkah (untuk ketaatan) kecuali Iblis telah mempersiapkan pasukan yang sama untuk menghalangi mereka.”
Wallahu’alam.
#bicarahidayah
“Siapa yang ingin bersaudara yang tidak memiliki aib, tanpa kekurangan, ia takkan memiliki saudara.”
Bahkan Abu Darda rahimahullah mengatakan,
“Kata-kata keras dan kasar dari seorang saudara itu masih lebih baik daripada engkau kehilangan seorang saudara.”
Di sinilah rahasianya, keutamaan seseorang yang mampu bertahan dan bersabar dengan kondisi orang sekitarnya, dibanding orang yang menyepi dan tak mau berinteraksi dengan orang lain, karena tidak sabar dengan sikap dan perilaku mereka.
“Seorang Muslim yang berbaur dengan manusia, lalu ia bersabar atas perilaku buruk mereka, itu lebih baik dari orang yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar atas perilaku buruk mereka.” (HR. Ahmad dan Turmudzi)
Ada prinsip indah yang diajarkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftah Darus Sa’adah, agar kita dapat mendapat kebaikan dari orang-orang sekitar kita. Ia mengatakan,
“Siapa yang ingin keburukannya dibalas oleh Allah dengan kebaikan, hendaknya ia juga membalas keburukan orang lain dengan kebaikan. Dan siapa yang mengetahui bahwa dosa dan keburukan itu pasti ada pada diri manusia, ia tidak terkejut dengan sikap buruk orang kepadanya.” (Miftah Darus Sa’adah, 11292)
Andai kita mampu menyadari prinsip ini, maka perjalanan kita akan menjadi indah. Jiwa-jiwa kita menjadi nyaman, permasalahan lebih mudah diatasi. Lalu, pohon keimanan kita akan tumbuh mekar dan bunga-bunganya akan merekah dan mewangi.
Ada banyak keadaaan yang akan memisahkan langkah kita dari jalan ini. Karena, kita tak pernah lepas dari intaian syaitan yang ingin menceraikan kita dari kebersamaan ini. Seperti perkataan Mujahid,
“Tak ada sekelompok orang yang keluar ke Makkah (untuk ketaatan) kecuali Iblis telah mempersiapkan pasukan yang sama untuk menghalangi mereka.”
Wallahu’alam.
#bicarahidayah