Kiai Hasan Genggong, selengkapnya Hadhratus Syeikh al-Arifbillah KH. Muhammad Hasan bin Syamsuddin bin Qoyiduddin lahir di Sentong, Krejengan, Probolinggo pada 27 Rajab 1259 H atau 23 Agustus 1843 M, bertepatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Meski terlahir sebagai anak pembuat genting, tidak serta merta menyurutkan Muhammad Hasan atau Ahsan (nama kecil Kiai Hasan Genggong) dalam menuntut ilmu.
Jejak kesantrian dalam meniti ilmu dimulai sejak usia belia hingga dewasa. Dari mondok di beberapa pesantran di tanah air, berlanjut nyantri ke Makkah dan Madinah.
Selepas menuntaskan belajar, Kiai Hasan Genggong kemudian diambil menantu oleh KH Zainul Abidin, pendiri Pondok Genggong. Sebuah pesantren yang berdiri sejak tahun 1839 Masehi.
Setelah sang mertua wafat, Kiai Hasan Genggong mendapat amanat meneruskan titah perjuangan. Di bawah didikan beliau, lahir ulama-ulama besar yang tersebar di mana-mana. Kiai Hasan Genggong mendidik santri di Pesantren Genggong selama 87 Tahun.
Saat proses awal pendirian NU, Kiai Hasan Genggong juga diminta pendapat dan nasihat oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifn dan para pendiri NU lain atas rekomendasi dari Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadhratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Kiai yang dikenal juga dengan sebutan KH Hasan Sepuh ini dikenal sebagai sosok ulama zuhud, sehingga tidak heran bila selalu diminta nasihat dan pertimbangan persoalan jam’iyah dan umat.
Ketika NU lahir tahun 1926 pada saat bumi Nusantara masih dicengkeram penjajah Belanda, Kiai Hasan Genggong menjadikan pesantrennya sebagai basis perjuangan kemerdekaan. Sosoknya memang bermental baja, percaya diri, ditakuti oleh penjajah dan dikenal apa adanya. Segala bujuk rayu dan siasat Belanda tak mampu menembus hatinya.
Suatu ketika, ada seorang ulama yang sowan, berniat tabayun mengenai hukum melawan penjajah. Belum sempat pertanyaan diajukan, Kiai Hasan Genggong menggunakan peci hitam dan membawa keris (hal yang sangat jarang dilakukan), dan si tamu tersebut dengan bangga merasa sudah menemukan jawaban tanpa harus mengajukan pertanyaan.
Kiai Hasan Genggong pernah menyatakan bahwa berjuang ikhlas di NU akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Insyaallah
“Barangsiapa yang menolong (berjuang ikhlas) NU, maka hidup beruntung di dunia dan di akhirat.”
Kiai Hasan Genggong merupakan sosok ulama yang produktif menulis kitab dengan sejumlah disiplin yang meliputi fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadits. Salah satu karyanya adalah kitab Safinatun Najah. Karomahnya tak terhitung, semua orang mendambakan menjadi orang yang bisa diakui sebagai santrinya.
Kiai Hasan Genggong wafat pada Kamis malam, jam 23.30 Wib, tanggal 11 Syawal 1374 H / 1 Juni 1955 M, dalam usia 115 tahun.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....
Meski terlahir sebagai anak pembuat genting, tidak serta merta menyurutkan Muhammad Hasan atau Ahsan (nama kecil Kiai Hasan Genggong) dalam menuntut ilmu.
Jejak kesantrian dalam meniti ilmu dimulai sejak usia belia hingga dewasa. Dari mondok di beberapa pesantran di tanah air, berlanjut nyantri ke Makkah dan Madinah.
Selepas menuntaskan belajar, Kiai Hasan Genggong kemudian diambil menantu oleh KH Zainul Abidin, pendiri Pondok Genggong. Sebuah pesantren yang berdiri sejak tahun 1839 Masehi.
Setelah sang mertua wafat, Kiai Hasan Genggong mendapat amanat meneruskan titah perjuangan. Di bawah didikan beliau, lahir ulama-ulama besar yang tersebar di mana-mana. Kiai Hasan Genggong mendidik santri di Pesantren Genggong selama 87 Tahun.
Saat proses awal pendirian NU, Kiai Hasan Genggong juga diminta pendapat dan nasihat oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifn dan para pendiri NU lain atas rekomendasi dari Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadhratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Kiai yang dikenal juga dengan sebutan KH Hasan Sepuh ini dikenal sebagai sosok ulama zuhud, sehingga tidak heran bila selalu diminta nasihat dan pertimbangan persoalan jam’iyah dan umat.
Ketika NU lahir tahun 1926 pada saat bumi Nusantara masih dicengkeram penjajah Belanda, Kiai Hasan Genggong menjadikan pesantrennya sebagai basis perjuangan kemerdekaan. Sosoknya memang bermental baja, percaya diri, ditakuti oleh penjajah dan dikenal apa adanya. Segala bujuk rayu dan siasat Belanda tak mampu menembus hatinya.
Suatu ketika, ada seorang ulama yang sowan, berniat tabayun mengenai hukum melawan penjajah. Belum sempat pertanyaan diajukan, Kiai Hasan Genggong menggunakan peci hitam dan membawa keris (hal yang sangat jarang dilakukan), dan si tamu tersebut dengan bangga merasa sudah menemukan jawaban tanpa harus mengajukan pertanyaan.
Kiai Hasan Genggong pernah menyatakan bahwa berjuang ikhlas di NU akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Insyaallah
“من اعان نهضةالعلماء، فقد سعد فى الدنيا والأخرة”
Kiai Hasan Genggong merupakan sosok ulama yang produktif menulis kitab dengan sejumlah disiplin yang meliputi fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadits. Salah satu karyanya adalah kitab Safinatun Najah. Karomahnya tak terhitung, semua orang mendambakan menjadi orang yang bisa diakui sebagai santrinya.
Kiai Hasan Genggong wafat pada Kamis malam, jam 23.30 Wib, tanggal 11 Syawal 1374 H / 1 Juni 1955 M, dalam usia 115 tahun.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....