MUQADDIMAH
ILMU TAUHID
- Definisinya, secara bahasa adalah Pengetahuan bahwa sesuatu itu satu. Secara syara’ adalah Pengetahuan untuk bisa menguasai penetapan aqidah-aqidah agama, yang didapat dari dalil-dalilnya yang bersifat keyakinan.
- Obyek kajiannya adalah Dzat Allah dan rasul-rasul-Nya (tentang hal-hal yang wajib, mustahil dan jaiz), hal-hal yang mungkin/mumkin sebagai perantara untuk menuju keyakinan adanya pencipta, dan hal-hal yang didengar/sam’iyyat/riwayat-riwayat (tentang keyakinan akan hal-hal itu).
- Buah hasil ilmu tauhid adalah Ma’rifatullah (mengetahui Allah) dengan bukti-bukti pasti, dan beruntung dengan kebahagiaan abadi.
- Keutamaannya adalah merupakan ilmu syara’ yang paling mulia, karena berhubungan dengan Dzat Allah dan rasul-rasul-Nya, serta yang bersangkut paut dengan itu semua.
- Pelopor pembuat ilmu tauhid : Abu Hasan al-Asy’ariy (Bashrah, 874-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidiy (Samarkand, wafat 944 M).
- Hukum mempelajarinya : wajib ‘ain bagi setiap orang mukallaf, lelaki maupun perempuan.
- Masalah-masalahnya : Aturan-aturan atau hukum yang membahas hal-hal yang yang wajib, mustahil dan jaiz.
HUKUM AQLIY
Hukum secara akal teringkas jadi tiga :
- Wujub. Wajib adalah sesuatu yang ketiadaannya tidak tergambar (tak bisa diterima) oleh akal, misal manusia itu pasti akan mati, akal tidak menerima adanya manusia yang tidak akan mati alias abadi.
- Istikhalah. Mustahil adalah sesuatu yang adanya itu tidak tergambar oleh akal, misal mustahil manusia akan hidup terus, akal tidak menerima adanya manusia yang hidup terus.
- Jawaz. Jaiz adalah sesuatu yang ada dan tidak adanya, itu sah/benar menurut akal, misal manusia itu bisa berumur 82 tahun, adanya manusia yang umurnya mencapai 82 tahun, atau tidak berumur 82 tahun, itu bisa diterima oleh akal.
SIFAT WAJIB BAGI ALLAH SWT
Orang mukallaf secara syara’ wajib mengetahui hal-hal yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Termasuk hal yang wajib (pasti) bagi Allah adalah 20 sifat yang terbagi sebagai berikut :
- Sifat Nafsiyyah
- Sifat Salbiyyah
3 Baqa’ (kekal abadi)
4 Mukhalafatul lil khawadits (berbeda dengan makhluq)
5 Qiyamuhu binafsih (berdiri sendiri), tidak membutuhkan tempat dan pembuat (yang mewujudkan)
6 Wahdaniyyah (satu Dzat, sifat dan tindakan-Nya)
- Sifat Ma’aniy
8. Iradah (berkehendak)
Qudrah dan Iradah ber-ta’aluq dengan segala sesuatu yang mungkin adanya (mumkinat)
9. ‘Ilmu (mengetahui)
Ber-ta’aluq dengan segala yang wajib (pasti), jaiz dan mustahil.
10. Hayat (hidup)
Tidak ber-ta’aluq dengan sesuatupun
11. Sama’ (mendengar)
12. Bashar (melihat)
Sama’ dan Bashar ber-ta’aluq dengan segala sesuatu yang ada (maujud)
13. Kalam (berfirman)
Berbicara tanpa dengan huruf dan suara. Kalam ber-ta’aluq dengan segala yang wajib (pasti), jaiz dan mustahil.
Ta’aluq adalah tuntutan sifat terhadap suatu tambahan pada dzat (yang mempunyai sifat itu), sesuai dengan sifat itu. Misal melihat, menuntut adanya barang yang dilihat, nah tuntutan/hubungan antara melihat (sebagai sifat) dengan barang yang dilihat (sebagai tambahan bagi dzat yang melihat), itulah ta’aluq. Berbeda dengan hidup, yang tidak menuntut tambahan lain selain pada dzat yang hidup itu sendiri, sehingga hidup itu tak mempunyai ta’aluq.
- Sifat Ma’nawiyyah
14. Adanya Allah itu Dzat yang berkuasa (Qoodir)
15. Adanya Allah itu Dzat yang berkehendak (Muriid)
16. Adanya Allah itu Dzat yang mengetahui (‘Aalim)
17. Adanya Allah itu Dzat yang hidup (Hayyun)
18. Adanya Allah itu Dzat yang mendengar (Samii’)
19. Adanya Allah itu Dzat yang melihat (Bashiir)
20. Adanya Allah itu Dzat yang berfirman (Mutakallim)
SIFAT MUSTAHIL BAGI ALLAH SWT
Termasuk hal yang mustahil bagi Allah adalah 20 sifat kebalikan dari 20 sifat wajib sebelumnya, yakni :
1. ‘Adam (tiada)
2. Khuduts (baru)
3. Fana’ (rusak, menjadi tiada)
4. Mumatsalatul lil khawadits (sama dengan makhluq). Misal :
- Berupa jirm (materi benda) yang butuh tempat kosong
- Berupa ‘irdh (sifat/tabiat/kelakuan) yang menempel pada jirm
- Berada di arah suatu jirm
- Mempunyai arah (di atas, di kiri, di selatan dsb.)
- Dibatasi oleh ruang dan waktu
- Dzat-Nya disifati dengan hal-hal yang baru
- Disifati dengan kecil atau besar
- Mempunyai tujuan-tujuan dengan tindakan dan hukum-hukum-Nya. Jadi dalam penciptaan manusia dan adanya perintah kewajiban shalat, Allah tidak mempunyai tujuan-tujuan tertentu misal supaya mereka menyembah dan ingat kepada Allah. Namun semua itu mempunyai hikmah sehingga tidak sia-sia penciptaannya.
6. Ta’adud (berbilangan, berjumlah, tidak esa). Misal :
- Dzatnya mempunyai kembaran yang lain
- Benda-benda yang ada itu mempunyai peran dalam menyebabkan sesuatu disamping Allah sendiri. Jadi api itu tidak menyebabkan terbakar, pisau itu tidak menyebabkan terpotong, dan makanan itu tak menyebabkan kenyang, yang menyebabkan (muatstsir) itu semua adalah Allah sendiri.
8. Karohah (terpaksa). Mustahil Allah menjadikan satu bagian alam disertai rasa terpaksa atas terjadinya hal itu, dengan kata lain tanpa menghendakinya, atau menjadikannya karena lupa, karena sebab tertentu atau karena watak tabiatnya.
9. Jahl (bodoh, tidak mengetahui) terhadap segala yang ma’lum.
10. Maut (mati)
11. Shomam (tuli)
12. ‘Amaa (buta)
13. Bukm (bisu)
14. ‘Aajiz (Dzat yang lemah)
15. Kaarih (Dzat yang terpaksa)
16. Jaahil (Dzat yang bodoh)
17. Mayyit (Dzat yang mati)
18. Ashomm (Dzat yang tuli)
19. A’maa (Dzat yang buta)
20. Abkam (Dzat yang bisu)
SIFAT JAIZ BAGI ALLAH SWT
Sifat Jaiz (wenang) Allah adalah fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu, melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Allah bebas menciptakan seseorang itu besar, gemuk, tinggi, hitam, kaya dan pandai, atau tidak seperti itu.
BUKTI-BUKTI SIFAT WAJIB DAN JAIZ ALLAH
Wujud (Ada)
Bukti wujudnya Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah barunya alam (baru muncul/ada dari yang sebelumnya tidak ada), karena seandainya tidak ada yang menjadikan alam, tapi alam terwujud dengan sendirinya, maka akan terjadi suatu kesamaan antara ada dan tiada atau keunggulan salah satunya tanpa ada sebab yang mengunggulkannya, dan itu mustahil. Gambarannya, ada sebuah timbangan yang kanan-kirinya terdapat benda yang sama berat, tiba-tiba yang kiri turun ke bawah (lebih berat) tanpa ada sebab yang mendorongnya, baik kejatuhan benda lain, dihembus angin atau ditekan dengan tangan, bukankah itu mustahil?. Jadi mustahil adanya benda baru, dari yang tadinya tiada, menjadi ada, tanpa ada yang membuatnya, sehingga setiap benda baru pasti ada penciptanya, yang menciptakannya dari tiada menjadi ada, dan yang menciptakannya itu pasti ada (wujud), karena sesuatu yang tidak ada, pasti tidak bisa mengadakan sesuatu.
Adapun bukti bahwa alam ini baru adalah, karena alam ini menetapi sifat-sifat baru (‘irdh), seperti bergerak dan diam, serta terdiri dari berbagai bentuk (ada hewan, tumbuhan, bebatuan dll). Sedang sesuatu yang tidak bisa terlepas dari sifat baru, pasti merupakan benda baru. Bukti bahwa ‘irdh (sifat, tabiat, kelakuan yang ada pada jirm) itu baru adalah terlihatnya perubahan-perubahan dari tiada menjadi ada, dan dari ada menjadi tiada, misal dari kecil (tidak besar) menjadi besar, dan dari putih (tidak hitam) menjadi hitam, atau sebaliknya.
Qidam (Dahulu tanpa permulaan)
Bukti qidamnya Allah adalah, seandainya Allah tidak qidam, maka pasti Dia khaadits (baru), sehingga butuh yang mewujudkannya (membuatnya baru, mukhdits), akibatnya akan pasti akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rantai).
Daur (lingkaran sebab akibat) ialah adanya masing-masing dari dua benda atau lebih, tergantung pada adanya yang lain. Berarti masing-masing terwujud sebelum sebabnya wujud. Ini jelas salah. Gambaran kemustakhilannya : Tuhan A dicipta oleh tuhan B, tuhan B dicipta oleh tuhan C, tuhan C dicipta oleh tuhan D, sedang tuhan D dicipta oleh tuhan A sendiri…, jadi tuhan A itu ada sebelum dzatnya sendiri ada, karena diciptakan oleh hasil ciptaannya sendiri, ini jelas-jelas salah.
Tasalsul ialah keadaan berturut-turut dan susul-menyusulnya beberapa hal sejak zaman azali (tak ada permulaan), dan tak ada habis-habisnya. Gambaran kemustakhilannya : Tuhan 1 dicipta oleh tuhan 2, tuhan 2 dicipta oleh tuhan 3, tuhan 3 dicipta oleh tuhan 4, dan seterusnya tak terhingga. Ini jelas mustahil.
Baqa’ (Kekal)
Bukti kekalnya Allah adalah, seandainya Allah tidak kekal maka Allah pasti bersifat fana’ (rusak), yang artinya berpeluang menjadi tidak ada (‘adam), tapi ini mustahil, karena Allah sendiri bersifat qidam (dahulu tanpa permulaan, tidak pernah menemui masa ketiadaan), dengan bukti yang telah lalu. Karena ketika tidak kekal, maka wujudnya Allah adalah jaiz (bisa ada, bisa tiada), bukan wajib (pasti ada), sedang sesuatu yang jaiz adanya, pastilah baru.
Mukholafatul lilkhawadits (Beda dengan mahluq)
Bukti Allah berbeda dengan makhluq-Nya adalah, seandainya Allah memiliki sifat-sifat makhluq, seperti berupa ‘irdh atau jirm, maka Allah pastilah baru, sama seperti makhluq-makhluq itu. Hal ini mustahil dengan bukti dari sifat qidam dan baqa yang telah lalu.
Qiyamuhu binafsih (Berdiri sendiri)
Bukti Allah berdiri sendiri adalah, seandainya Allah membutuhkan tempat, maka Allah pasti berupa sifat, padahal sifat itu tidak bisa disifati dengan sifat-sifat ma’aniy maupun ma’nawiyyah, sedang Allah sendiri wajib (pasti) bersifat dengan kedua sifat-sifat itu, jadi Allah pastilah bukan berupa sifat. Salah satu ciri esensi/sifat dan jasmani adalah membutuhkan sandaran atau tempat, seperti tubuh kita, warna, rasa dan lainnya. Seandainya Allah membutuhkan mukhashshish (penentu, yang mewujudkan), pastilah Allah itu baru, bagaimana itu terjadi?! padahal bukti Allah itu bersifat qidam dan baqa telah terang di depan.
Wahdaniyyah (Esa)
Bukti bahwa Allah itu Maha Esa adalah, seandainya Allah tidak esa, pastilah alam ini tidak terwujud sama sekali, karena lemahnya Allah sendiri ketika itu. Misal seandainya di situ ada dua tuhan, maka kemungkinan bisa terjadi perselisihan diantara keduanya, yang satu menghendaki menciptakan sesuatu, sedang yang lain malah menghendaki meniadakannya, maka ketika itu pasti keduanya lemah, karena tujuan keduanya tak mungkin terwujud secara bersamaan, karena mengadakan dan meniadakan adalah perbuatan yang saling berlawanan, tak terwujud pula tujuan salah satunya saja, karena hal itu menunjukkan lemahnya tuhan yang tujuannya tak terwujud, sedang kedua tuhan itu harus mempunyai sifat yang sama, sehingga hal itu pula menunjukkan kelemahan yang lainnya. Diriwayatkan bahwa Ibnu Rusydi pernah berkata : “ketika salah satu tujuannya terwujud, yang lain tidak, maka yang terwujud tujuannya itulah Tuhan yang sebenarnya (al-ilah)”.
Qudrah (Kuasa), Iradah (Berkehendak), ‘Ilmu (Tahu) dan Hayat (Hidup)
Bukti Allah bersifat qudrah, iradah, ‘ilmu dan hayat adalah, seandainya Allah tidak memiliki salah satu dari keempat sifat itu, maka pasti memiliki sifat kebalikannya, sehingga tidaklah tercipta seonggok makhluqpun. Maksudnya seandainya Allah lemah (‘ajz), terpaksa (tak memiliki kemauan, karohah) atau bodoh (jahl), maka pastilah penciptaan alam tak akan terwujud. Seandainya Allah mati (kebalikan dari khayat), maka pastilah tidak mungkin memiliki sifat yang 20 itu, karena syarat untuk memiliki kedua puluh sifat itu adalah harus hidup, sehingga pastilah alam ini tak akan bisa terwujud.
Sama’ (Mendengar), Bashar (Melihat) dan Kalam (Berfirman)
Buktinya adalah Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dan juga seandainya Allah tidak bersifat sama’, bashar, dan kalam, maka pastilah bersifat kebalikannya (tuli, buta dan bisu), sedang sifat kebalikannya itu merupakan kekurangan-kekurangan yang pasti mustahil bagi Allah yang maha sempurna.
Sifat Jaiz
Bukti bahwa melakukan hal-hal yang mungkin atau meninggalkannya adalah wenang bagi Allah yaitu, seandainya melakukan hal itu adalah wajib secara akal atau mustahil secara akal, pastilah sesuatu yang mungkin itu berbalik menjadi wajib atau mustahil, dan itu tak masuk akal, bagaimana mungkin suatu hakikat berubah menjadi hakikat yang lain.
SIFAT-SIFAT WAJIB PARA RASUL
1. Shidiq (benar)
: Sesuainya khobar (informasi) dari mereka dengan kenyataan (realitas) yang ada. Ada tiga macam bentuk shidiq-nya :
- benar dalam da’wah kerasulan (risalah) yang dibawanya
- benar dalam dalam hukum-hukum yang mereka sampaikan dari Allah
- benar dalam ucapan yang berhubungan erat dengan masalah keduniaan, misal mengatakan Zaid telah datang, aku telah makan, aku membelinya dari Umar dsb.
2. Amanah (terpercaya)
: Tiadanya khianat mereka untuk melakukan perbuatan haram atau makruh
: Terjaganya jiwa-raga mereka dari perbuatan yang dilarang, baik haram maupun makruh.
: Sesuatu yang menancap dengan kuat (dimiliki) dalam hati yang mencegah pemiliknya melakukan hal-hal yang dilarang.
: Terjaga dari berbuat dosa (‘ishmah)
3. Tabligh (menyampaikan)
: Menyampaikan apa (wahyu) yang diperintahkan pada mereka untuk disampaikan pada makhluq (umatnya).
Ada tiga macam bentuk wahyu :
- Apa yang wajib mereka sampaikan
- Apa yang wajib mereka rahasiakan (simpan)
- Apa yang mereka diberi pilihan antara disampaikan atau disimpan, terserah.
Para rasul pasti bersifat fathanah, yaitu cerdas dan waspada pikirannya, guna mendukung da’wah risalahnya.
Maksud wajib di sini adalah tiada lepasnya sifat-sifat tersebut, meski dengan dalil syara’, karena wajibnya sfat amanah dan tabligh dengan dalil syara’ (naqliy), sedang wajibnya shidiq dengan dalil akal (‘aqliy), walaupun mu’jizat yang sebagai tanda yang menunjukkan shidiq, itu berdasar adat kebiasaan (‘adiy).
SIFAT-SIFAT MUSTAHIL PARA RASUL
1. Kidzb (bohong)
: Tidak sesuainya informasi yang diberikan, dengan realitas yang ada.
2. Khianat
: Melakukan tindakan (termasuk ucapan) yang dilarang baik haram maupun makruh, meski pernah diriwayatkan nabi pernah buang air kecil sambil berdiri, basuhan wudhu berkali-kali pernah dua kali-dua kali, karena itu untuk tasyri’ (memberi pelajaran syara’) dan menerangkan kebolehannya, dan tasyri’ seperti itu adalah wajib bagi beliau.
3. Kitman (menyembunyikan)
: Merahasiakan (menyimpan) sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan, meskipun lupa. Karena mereka tidak boleh lupa terhadap hukum-hukum yang harus mereka sampaikan dari Allah, walaupun dalam masalah lain mereka boleh lupa. Nabi sendiri pernah lupa untuk mengerjakan sholat, tetapi disebabkan kesibukan hatinya mengagungkan Allah.
4. Al-Ghaflah (lalai) & ‘Adamul Fathanah (tidak cerdas)
SIFAT JAIZ PARA RASUL
Para rasul boleh memiliki atau melakukan kelakuan atau watak manusia biasa (al-a’roodh al-basyariyyah), yang tidak mengakibatkan berkurangnya martabat mereka yang luhur, misal sakit, lelah, makan, minum, mengantuk, tidur, beristri dan sebagainya.
BUKTI-BUKTI SIFAT WAJIB DAN JAIZ PARA RASUL
1. Shidiq
Buktinya adalah, seandainya mereka tidak benar, maka pastilah berdusta (kidzb) akan khobar Allah, padahal Allah telah membenarkan mereka dengan penurunan mu’jizat, sesuai dengan ayat : Shodaqo ‘abdii fii kulli maa yab-lughu ‘annii.
Mu’jizat : sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, bersamaan dengan tantangan da’wah risalah, tiada tertandingi.
Syarat-syarat mu’jizat :
- Merupakan perbuatan Allah atau yang serupa (meninggalkan perbuatan), supaya menggambarkan keadaannya sebagai pembenar dari Allah bagi orang yang diberinya. Contoh perbuatan : keluarnya air dari celah-celah jejari Nabi. Contoh meninggalkan perbuatan : tidak terbakarnya nabi Ibrohim oleh api.
- Merupakan sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, karena melemahkan seseorang tak akan terwujud kecuali dengan hal itu.
- Munculnya dari tangan orang yang menda’wahkan kenabian, supaya dimengerti bahwa mu’jizat itu membenarkannya.
- Bersamaan dengan da’wah, baik secara hakikat maupun hukumnya, karena mu’jizat merupakan saksi, sehingga tidak boleh sebelum adanya da’wah itu.
- Sesuai dengan da’wah (pengakuan), maka yang tidak sesuai, tidak dihitung membenarkan, seperti terbelahnya gunung ketika pengaku rasul mengucapkan : mu’jizatku adalah terbelahnya lautan
- Tidak malah mendustakan pengakunya, seperti ucapannya : mu’jizatku adalah berbicaranya batu ini, lalu batu itu berbicara bahwa orang itu tukang mengada-ada dan pendusta.
- Tidak bisa ditandingi, kecuali oleh nabi yang semisalnya.
- Keluarbiasaan-nya itu tidak terjadi ketika waktu rusaknya aturan adat kebiasaan, sehingga apa yang terjadi ketika hari kiamat tidak termasuk mu’jizat. Ini merupakan syarat tambahan dari sebagian ulama’
- irhaash atau ta’siis : suatu tanda dasar bagi kerasulannya, bila terjadi sebelum masa kerasulannya. Misal sebelum jadi nabi, nabi kita selalu dibayang-bayangi oleh awan.
- karomah : suatu tanda kemuliaan yang berupa hal luar biasa yang muncul dari tangan seorang yang jelas kebaikan dan keadilannya (wali), tapi tidak mengaku rasul atau nabi. Misal riwayat karomah Sunan Bonang yang bisa merubah buah aren menjadi emas.
- ma’unah : suatu pertolongan dari sisi Allah yang berupa hal luar biasa yang muncul dari tangan seorang yang tidak dikenal keadaannya, tidak menampakkan kebaikan tidak pula kefasikan. Misal si Munir, santri yang kelihatannya biasa-biasa saja, terjun dari lantai tingkat empat, dan jatuh di lantai halaman pondok dalam keadaan segar bugar.
- istidrooj : suatu tanda penghinaan dari Allah yang berupa hal yang luar biasa yang muncul dari tangan seorang yang fasik, dalam arti bahwa Allah meningkatkannya dengan menampilkan hal itu di tangannya, lantas dia berlarut-larut dalam kefasikan, sehingga bila Allah mengambilnya, maka dia tidak dilepaskan-Nya (mati suu-ul khootimah), na’uudzu billaah min dzaalik.
- ihaanah atau khidzlan : suatu tanda pendustaan dan penghinaan dari Allah yang berupa yang berupa hal yang luarbiasa pada tangan seorang pembohong. Misal riwayat Musailamah al-Kadzdzab, yang mengaku menjadi rasul di masa Nabi ﷺ, pernah meludahi mata seorang laki-laki dengan maksud mengobatinya, namun mata itu malah menjadi buta.
- sihir : suatu keluarbiasaan yang muncul dari seseorang, yang bisa dipelajari oleh orang lain dan bisa ditandingi.
Buktinya adalah, seandainya mereka berkhianat dengan melakukan keharaman dan kemakruhan, maka pastilah keharaman dan kemakruhan itu berbalik menjadi ketaatan (tho’ah) bagi mereka. Karena Allah memerintah kita untuk mengikuti perkataan dan perbuatan mereka, sehingga Allah tidak menyuruh mereka untuk melakukan keharaman maupun kemakruhan. Ini juga bisa dijadikan bukti sifat wajib tabligh.
3. Fathanah
Buktinya ialah seandainya mereka lalai dan tidak cerdas, niscaya mereka tidak mungkin dapat mengemukakakan hujjah (bantahan) terhadap lawan bicara mereka dan tidak mungkin mampu berdebat dengan mereka untuk menanamkan kebenaran pada mereka, sampai mereka merasa puas. Apabila para rasul tidak cerdas, maka jelas bertentangan dengan tugas yang diberikan oleh Allah, yaitu menunjukkan kepada makhluq tentang kebenaran.
4. Sifat Jaiz
Bukti bahwa para rasul itu bersifat jaiz (boleh berperilaku seperti manusia biasa) ialah, disaksikannya realitas sifat-sifat itu pada diri mereka dan sifat-sifat itu tidak mencacatkan atau menjadikan manusia lari dari mereka, misal gila, ayan yang lama, kusta, sopak dan buta. Ada beberapa alasan mengapa mereka tetap boleh berperilaku seperti manusia biasa, diantaranya :
- untuk melipatgandakan dan mengagungkan pahala yang mereka raih, seperti sakit.
- untuk tasyri’ (memberi pelajaran hukum syari’at) agar umatnya tahu bahwa hal itu boleh dilakukan
- untuk menurunkan/mewariskan masalah dunia kepada orang lain (keturunannya), seperti beristri.
- sebagai peringatan betapa hina derajat dunia di sisi Allah dan tidak ridhonya Allah, dunia sebagai tempat balasan bagi para nabi dan wali-Nya, dengan melihat tingkah laku mereka atas masalah dunia.
MAKNA SYAHADAT TAUHID DAN SYAHADAT RASUL
Makna dari keyakinan-keyakinan (‘aaqo-id) di atas, semuanya terkumpul dalam ucapan : laa ilaaha illal-lloh muhammadur rosuululloh. Penjelasannya sbb :
1. Karena makna uluhiyyah (ketuhanan) adalah tidak butuhnya Tuhan (al-ilaah) dari segala sesuatu selain-Nya, dan butuhnya segala sesuatu selain-Nya kepada-Nya. Jadi makna laa ilaaha illal-lloh : Tiada dzat yang tidak membutuhkan segala sesuatu selain-Nya, dan tiada Dzat yang segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya, selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
2. Adapun ketidakbutuhan (istighnaa’) Allah Subhanahu wa Ta'ala dari segala sesuatu selain-Nya, itu mewajibkan (memastikan) Allah itu wujud (ada), qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatul lil khawadits (beda dengan makhluq), qiyamuhu bi nafsih (berdiri sendiri) dan dibersihkan dari kekurangan-kekurangan. Dan masuk juga ke dalamnya sifat wajib sama’ (mendengar), bashor (melihat) dan kalam (berfirman), karena seandainya sifat-sifat ini tidak wajib bagi Allah, maka pastilah Dia membutuhkan pembuat/pembaharu (muhdits), tempat, atau sesuatu yang menghilangkan kekurang-kurangan itu darinya.
3. Dari ketidakbutuhan Allah juga bisa diambil pengertian, bersihnya Allah dari tujuan-tujuan (ghardh) pada perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum-Nya. Andai tidak bersih, maka pasti membutuhkan sesuatu yang bisa menghasilkan tujuan-Nya. Bagaimana hal itu terjadi? Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan sesuatu selain diri-Nya.
4. Dari ketidakbutuhan Allah juga bisa diambil pengertian bahwa Allah tidak wajib melakukan sesuatu yang mumkin dan tidak wajib meninggalkannya, karena seandainya hal itu secara akal wajib, seperti memberi pahala, maka pastilah Allah Subhanahu wa Ta'ala membutuhkan hal itu, supaya sempurna tujuan-Nya, padahal tidak wajib bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali sesuatu yang sempurna bagi-Nya. Bagaimana itu terjadi?, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak butuh segala sesuatu selain-Nya!.
5. Adapun butuhnya segala sesuatu selain-Nya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka itu mewajibkan (memastikan) Allah bersifat hayat (hidup), qudrah (kuasa), iradah (berkehendak) dan ilmu (mengetahui), karena seandainya Allah tidak bersifat seperti itu, maka tidaklah mungkin untuk bisa mewujudkan makhluq (khawadits) sedikitpun, sehingga tidak ada sesuatupun yang membutuhkan-Nya. Bagaimana itu terjadi?, padahal Allah-lah Dzat yang segala sesuatu selain-Nya, sangat membutuhkan-Nya.
6. Dari butuhnya segala sesuatu selain-Nya pada-Nya, juga mewajibkan Allah bersifat wahdaniyyah (esa), karena seandainya ada dzat kedua selain Allah yang mempunyai sifat ketuhanan (uluhiyyah), maka pastilah tidak ada sesuatupun yang membutuhkan-Nya, karena lemahnya kedua dzat itu, ketika hal itu terjadi. Bagaimana itu terjadi?, padahal Allah-lah Dzat yang segala sesuatu selain-Nya, sangat membutuhkan-Nya.
7. Dari butuhnya makhluq akan Allah, juga bisa diambil pengertian bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa memberi bekas (pengaruh, ta’tsiir) pada sesuatu yang mumkin, sedikitpun. Andai ada, maka pastilah bekas itu tidak membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal Allah adalah Dzat yang segala sesuatu selain-Nya, membutuhkan-Nya. Ketiadaan pemberian pengaruh/bekas pada sesuatu yang mumkin, itu terjadi bila kita mengira-ngirakan ada sesuatu (yang mumkin) yang bisa memberi bekas dengan wataknya (thab’iy). Sedang bila kita mengira-ngirakan sesuatu itu memberi pengaruh/bekas dengan suatu kekuatan yang ada padanya, yang berasal dari Allah, sebagaimana sangkaan banyak orang bodoh (kaum mu’tazilah), itu semua juga mustahil, karena ketika hal itu terjadi, maka Allah jadi butuh suatu perantara (waasithah) dalam penciptaan sebagian perbuatan-Nya. Dan itu semua batal, berdasar apa yang telah kita ketahui dari wajibnya ketidakbutuhan Allah dari segala sesuatu selain diri-Nya.
Sudah cukup jelaslah cakupan makna dari ucapan laa ilaaha illal-lloh, yang mengandung 3 macam hal yang wajib diketahui oleh orang mukallaf, yakni tentang sifat wajib, mustahil dan jaiz yang hak bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
8. Adapun ucapan muhammadur-rasulullah, maka disitu masuk iman kepada nabi-nabi yang lain, malaikat, kitab-kitab samawiy, hari akhir, serta qodho dan qodar. Karena nabi Muhammad datang dengan membenarkan kesemuanya itu.
9. Dari lafadz itu juga bisa diambil pengertian :
- wajibnya sifat shidiq bagi para rasul.
- mustahilnya sifat kidzb bagi mereka, jika tidak begitu maka mereka tidak akan menjadi rasul yang amanah bagi Allah yang maha mengetahui hal-hal yang samar.
- mustahilnya mereka melakukan perbuatan yang dilarang, semuanya, karena mereka diutus supaya manusia tahu perkataan, perbuatan dan diam mereka, sehingga pasti tidak ada yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Allah telah memilih mereka dari semua makhluq, dan memberi mereka amanat atas rahasia wahyu-Nya.
- bolehnya mereka punya perilaku manusia umumnya (a’roodh al-basyariyyah), karena hal itu tidak membuat cacat kerasulan mereka dan ketinggian derajat mereka di sisi Allah, bahkan semua itu malah menambah derajat dan kemuliaan mereka.
Menurut imam Syafi’iy, tidak cukup ucapan : Allahu ahad Muhammadur-rasuul sebagai kalimah syahadat, akan tetapi disyaratkan :
- memakai lafadz Asyhadu
- tahu maknanya, meski secara garis besar. Sehingga seandainya ada orang non-Arab diajari pelafadzan bahasa Arab, lalu ia melafadzkan dua kalimah syahadat (syahadatain) itu, sedang ia tak tahu maknanya, maka belum dihukumi masuk Islam.
- tertib/berurutan, syahadat tauhid dulu baru syahadat rasul. Jika terbalik, maka keislamannya belum sah.
- bersambung (terus-menerus) antara pelafadzan kedua syahadat itu. Jika setelah membaca syahadat tauhid dipisah oleh waktu yang lama, baru kemudian membaca syahadat rasul, maka keislamannya belum sah.
- yang mengucapkannya adalah orang mukallaf (baligh dan berakal). Sehingga Islamnya anak kecil dan orang gila, itu tidak sah, kecuali karena mengikuti orang tua (tab’an).
- tidak terang-terangan secara dzahir melakukan sesuatu yang bisa menghapus keislamannya. Sehingga Islamnya orang yang sedang sujud pada berhala, itu tidak sah.
- merupakan kemauannya sendiri (ikhtiar, pilihan pribadi, tidak dipaksa). Sehingga tidak sah islamnya orang yang dipaksa, kecuali bila ia termasuk golongan musuh (kharbiy) atau orang murtad, karena memaksa kedua golongan ini untuk masuk Islam, adalah haq (dibenarkan).
- mengakui (iqroor) terhadap apa yang pernah ia ingkari, atau menarik kembali kebolehan suatu hal, apabila kufurnya sebab menentang sebagian ijma’ yang diketahui dari agama secara dhoruri (spontan, tanpa dipikir).
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga dan shahabatnya yang baik dan suci. Allahumma tsabbit qolbii ‘alaa diinik, Walhamdu lil-llaahi robbil ‘aalamiin…….
[1] Dalam kitab matan Sanusiyah ini tidak disebutkan, tetapi dalam kitab-kitab tauhid lain ada disebutkan, seperti Husunul Hamidiyah, Jauharut Tauhid, Jawahirul Kalamiyyah dan ‘Aqidatul ‘Awam (Pent.)
( Sumber: pustaka.islamnet.web.id )