Ka’bah adalah “rumah“ yang pertama kali dibangun atas nama Allah, untuk menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya. Dibangun oleh bapak para Nabi, Ibrahim 'alaihissalam, setelah menghadapi “perang berhala“ dan penghancuran tempat-tempat peribadatan yang didirikan atasnya. Ibrahim 'alaihissalam membangunnya berdasarkan wahyu dan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il (seraya berdo’a), Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“ (QS. Al-Baqarah : 127).
Setelah itu Ka’bah mengalami beberapa kali serangan yang mengakibatkan kerapuhan bangunannya. Di antaranya adalah serangan banjir yang menenggelamkan Mekkah beberapa tahun sebelum bi’tsah, sehingga menambah kerapuhan bangunannya. Hal ini memaksa orang-orang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian bangunannya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Ka’bah merupakan sisa atau peninggalan syari’at Ibrahim 'alaihissalam yang masih terpelihara di kalangan orang Arab.
Rasulullah ﷺ sebelum bi’tsah pernah ikut serta dalam pembangungan Ka’bah dan pemugarannya. Beliau ikut serta secara aktif mengusung batu di atas pundaknya. Pada waktu itu Rasulullah ﷺ berusia 35 tahun, menurut riwayat yang paling shahih.
Bukhari meriwayatkan di dalam Shahihnya dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Nabi ﷺ dan Abbas pergi mengusung batu. Abbas berkata kepada Nabi ﷺ, “Singsingkan kainmu di atas lutut.“ Kemudian Nabi ﷺ turun ke tanah, sedang kedua matanya melihat-lihat ke atas seraya berkata, “Mana kainku?“ Lalu Nabi ﷺ mengikatkannya.
Nabi ﷺ memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat perselisihan dalam menyelesaikan tentang siapa yang berhak mendapatkan kehormatan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Semua pihak tunduk kepada usulan yang diajukan Nabi ﷺ, karena mereka semua mengenalnya sebagai al-amin (terpercaya) dan mencintainya.
Beberapa Ibrah
Sebagai catatan terhadap bagian Sirah Nabi ﷺ ini kami kemukakan empat hal :
Pertama, urgensi, kemuliaan, dan kekudusan Ka’bah ynag telah ditetapkan Allah. Cukuplah sebagai dalilnya, bahwa orang yang mendirikan dan membangunnya adalah Ibrahim kekasih Allah, dengan perintah dari Allah supaya menjadi rumah yang pertama untuk menyembah Allah semata, sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia.
Tetapi, ini tidak berarti bahwa Ka’bah memiliki pengaruh terhadap orang-orang yang thawaf di sekitarnya, atau orang-orang yang i'tikaf di dalamnya Ka’bah, kendatipun memiliki kekudusan dan kedudukan di sisi Allah. Adalah batu yang tidak dapat memberikan bahaya dan manfaat.
Ketika Allah mengutus Ibrahim 'alaihissalam untuk meruntuhkan berhala-berhala dan para thogut, menghancurkan rumah-rumah peribadatan, melenyapkan rambu-rambunya dan menghapuskan penyembahannya, Allah menghendaki agar dibangun di atas bumi ini suatu bangunan yang akan menjadi lambang pentauhidan dan penyembahan kepada Allah semata. Suatu lambang yang mencerminkan sepanjang masa arti agama dan peribadatan yang benar, dan penolakan terhadap kemusyrikan dan penyembahan berhala. Selama beberapa abad manusia menyembah batu-batu, berhala dan para thogut, dan mendirikan rumah-rumah ibadah untuknya. Sekarang telah tiba saatnya untuk mengganti rumah-rumah yang didirikan untuk menyembah Allah semata. Setiap orang yang memasukinya akan mendapatkan kemuliaannya, karena ia tidak tunduk dan merendah kecuali hanya kepada Pencipta alam semesta.
Jika orang-orang yang beriman kepada wahdaniyah (keesaan) Allah dan para pemeluk agama-Nya harus memiliki ikatan yang akan mempertalikan mereka, dan sebuah tempat yang akan mempertemukan mereka, kendatipun berlainan negeri, bangsa, dan bahasa mereka. Maka tidak ada yang lebih tepat untuk dijadikan ikatan dan tempat pertemuan itu selain dari rumah yang didirikan sebagai lambang untuk mentauhidkan Allah dan menolak kemusyrikan ini. Di bawah naungannya mereka saling berkenalan. Di sinilah mereka bertemu karena panggilan kebenaran yang dilambangkan oleh rumah ini. Rumah ynag mencerminkan persatuan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia, mencerminkan pentauhidan dan penyembahan hanya kepada Allah semata. Kendatipun selama beberapa abad pernah dijadikan tempat penyembahan tuhan-tuhan palsu.
Inilah ynag dimaksudkan oleh firman Allah, "Dan ( ingatlah), ketika Kami jadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadilah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.“ (QS. Al-Baqarah : 125).
Makna inilah yang akan dirasakan oleh setiap orang yang melakukan thawaf di Baitul Haram, jika ia telah memahami arti ‘ubudiyah kepada Allah dan tujuan melaksanakan perintah-perintah-Nya, baik karena sebagai perintah ynag harus dilaksanakan ataupun karena sebagai seorang hamba yang berkewajiban mematuhi perintah. Di sinilah nampak kekudusan Ka’bah dan keagungan kedudukannya di sisi Allah. Dari sini pula terasa perlunya menunaikan haji dan thawaf di sekitarnya.
Kedua, penjelasan menyangkut beberapa kali peristiwa perusakan dan pembangungan Ka’bah.
Sepanjang masa, Ka’bah pernah dibangun empat kali tanpa diragukan lagi. Akan halnya pembangunan Ka’bah sebelum itu, maka masih diperselisihkan dan diragukan kebenarannya.
Pembangunan Ka’bah yang pertama kali adalah yang dilakukan oleh Ibrahim 'alaihissalam dibantu anaknya, Isma’il 'alaihissalam, atas perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih : Firman Allah, "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il (seraya berdo'a), Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah : 127).
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu : ...kemudian (Ibrahim) berkata, "Hai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahkan aku (untuk melakukan) sesuatu perkara.“ Isma’il berkata, “Lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Rabbmu.“ Ibrahim bertanya, “Kamu akan membantuku?“ Isma’il menjawab, “Aku akan membantumu.“ Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar aku membangun rumah (Ka’bah) di sini,“ seraya menunjuk ke bukit di sekitarnya. Nabi ﷺ bersabda, “Pada saat itulah keduanya membangun dasar-dasar Ka’bah, kemudian Isma’il mengusung batu dan Ibrahim yang membangun ....“
Az-Zarkasyi mengutip dari sejarah Mekkah karangan al-Azraqi bahwa Ibrahim membangun Ka’bah dengan tinggi tujuh depa, dalamnya ke bumi tigapuluh depa, dan lebarnya duapuluh depa, tanpa atap. As-Suhaili menceritakan bahwa tingginya sembilan depa. Menurut penulis (Dr. al-Buthi), riwayat as-Suhaili lebih tepat daripada riwayat al-Azraqi.
Pembangunan Ka’bah yang kedua adalah yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy sebelum Islam, dimana Nabi ﷺ ikut serta dalam pembangunannya, sebagaimana telah kami sebutkan. Mereka membangunnya dengan tinggi delapan belas depa, dalamnya enam depa, dan beberapa depa mereka biarkan di Hijir (Isma’il).
Menyangkut hal ini Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam sebuah riwayat 'Aisyah, "Wahai 'Aisyah, kalau bukan karena kaummu masih dekat dengan masa jahiliyah, niscaya aku perintahkan (untuk membongkar dan membangun) Ka’bah, kemudian aku masukkan kepadanya apa yang pernah dikeluarkan darinya, aku perdalam lagi ke bumi dan aku buat padanya pintu timur dan barat, lalu aku sempurnakan sesuai asas Ibrahim."
Pembangunan Ka’bah yang ketiga ialah setelah mengalami kebakaran di mana Yazid bin Mu’awiyah, ketika tentara-tentaranya dari penduduk Syam menyerangnya. Para tentara tersebut atas perintah Yazid, mengepung Abdullah bin Zubair di Mekkah dibawah pimpinan Al-Hashin bin Numair as-Sakuni pada akhir tahun tigapuluh enam. Mereka melempari Ka’bah dengan menjanik sehingga menimbulkan kerusakan dan kebakaran. Kemudian Ibnu az-Zubair menunggu sampai orang-orang datang di musim haji, lalu ia meminta pendapat mereka seraya berkata, “Wahai manusia, berilah pendapat kalian tentang Ka’bah. Aku gempur kemudian aku bangun lagi, atau aku perbaiki yang rusak-rusak saja?“ Lalu Ibnu Abbas berkata, “Menurut saya sebaiknya anda perbaiki yang rusak-rusak saja dan tidak perlu menggempurnya.“ Ibnu az-Zubair berkata, “Seandainya rumah salah seorang kamu terbakar, maka ia pasti akan memperbaharuinya, apalagi ini rumah Allah. Sesungguhnya saya sudah tiga kali istikharah kepada Allah, kemudian bertekad melaksanakan keputusanku.“
Tiga hari berikutnya, ia memulai menggempurnya sampai rata dengan tanah. Kemudian Ibnu az-Zubair mendirikan beberapa tiang di sekitarnya dan memasang tutup di atasnya. Kemudian mereka mulai meninggikan bangunannya. Ia tambahkan enam depa pada bagian yang pernah dikurangi. Ia tambahkan panjangnya sepuluh depa, dan dibuatnya dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar. Ibnu az-Zubair berani memasukan tambahan ini berdasarkan hadits 'Aisyah dari Rasulullah ﷺ terdahulu.
Pembangunan Ka’bah yang keempat dilakukan setelah terbunuhnya Ibnu az-Zubair, Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Atha, bahwa ketika Ibnu az-Zubair terbunuh, al-Hajjjaj menulis kepada Abdul Malik bin Marwan mengabarkan kematiannya, dan bahwa Ibnu az-Zubair membangun Ka’bah di atas yang masih dipermasalahkan oleh para tokoh kepercayaan Mekkah. Kemudian Abdul Malik menjawabnya melalui surat, "Kami tidak bisa menerima tindakan Ibnu az-Zubair. Menyangkut tambahan panjangnya masih bisa ditolerir, tetapi menyangkut tambahan Hijir (Isma’il) hendaklah dikembalikan kepada bangunannya (semula) dan tutuplah pintu yang dibukanya:“ Maka digempurlah Ka’bah dan dibangun kembali.
Dikatakan bahwa ar-Rasyid pernah bertekad akan membongkar Ka’bah dan membangunnya kembali sebagai bangunan Ibnu az-Zubair. Tetapi kemudian dicegah oleh Malik bin Anas, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah rumah ini dijadikan permainan oleh para raja sesudahmu. Janganlah setiap orang dari mereka mengubahnya sesuka hatinya, karena tindakan tersebut akan menghapuskan wibawa rumah ini dari hati manusia“. Kemudian ar-Rasyid membatalkan niatnya.
Itulah keempat kalinya pembangungan Ka’bah yang dapat diyakini kebenarannya. Adapun pembangunannya sebelum Ibrahim 'alaihissalam, maka masih diperselisihkan dan diragukan kebenarannya. Apakah Ka’bah sebelum itu sudah dibangun atau belum?
Disebutkan di dalam beberapa atsar dan riwayat, bahwa orang yang pertama kali membangunnya adalah Adam 'alaihissalam. Di antaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi di dalam kitab Dala’ilun Nubuwwah, dari hadits Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah mengutus Jibril 'alaihissalam kepada Adam 'alaihissalam dan Hawa; lalu berkata kepada keduanya, “Bangunlah sebuah rumah untukku,“ Kemudian Jibril membuatkan garis kepada keduanya. Lalu Adam mulai menggali, sementara itu Hawa, mengusungnya, “Cukup Adam!“ Ketika keduanya telah membangunnya, Allah mengilhamkan kepada Adam agar ia thawaf di sekitarnya, dan dikatakan kepadanya, “Kamu manusia pertama, dan ini adalah rumah pertama.“ Kemudian berlalulah beberapa abad sampai Ibrahim meninggikan dasar-dasar bangunannya.
Al-Baihaqi berkata, “Ibnu Lahi’ah meriwayatkan secara sendirian. Ibnu Lahi’ah dikenal seorang yang lemah, tidak dapat dijadikan hujjah.
Selain itu terdapat riwayat lain yang semakna dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Baihaqi ini, tetapi kesemuanya tidak terhindar dari kelemahan. Dikatakan juga, orang yang pertama kali membangunnya adalah Syits 'alaihissalam.
Dengan demikian, Ka’bah berdasarkan riwayat-riwayat yang lemah telah dibangun sebanyak lima kali.
Tetapi sepatutnya kita berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu Ka’bah pernah dibangun sebanyak empat kali sebagaimana telah kami jelaskan. Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan pembangunannya selain yang empat kali tersebut, maka kita serahkan kepada Allah. Ini tentu saja tidak termasuk beberapa kali pemugaran dan perbaikan setelah itu.
Ketiga, kebijaksanaan Nabi ﷺ dalam menyelesaikan masalah dan mencegah terjadinya permusuhan. Antar siapa? Antar kaum yang jika terjadi permusuhan jarang sekali tidak menumpahkan darah. Seperti telah diketahui, permusuhan mereka dalam masalah ini hampir saja menimbulkan peperangan Bani Abdi’d-Dar telah menghampiri mangkuk berisi darah, kemudian bersama Bani ’Ady berikrar siap mati seraya memasukkan tangan-tangan mereka ke dalam darah tersebut. Sementara itu, kaum Quraisy tinggal diam selama empat atau lima malam tanpa adanya kesepakatan atau penyelesaian yang dapat diajukan sampai api fitnah tersebut padam di tangan Rasulullah ﷺ.
Kita harus mengembalikan keistimewaan Rasulullah ﷺ ini kepada persiapan Allah kepadanya untuk mengemban tugas risalah dan kenabian, sebelum mengembalikannya kepada kecerdasan dan kejeniusan Nabi ﷺ yang telah menjadi fitrahnya.
Sebab asas pertama dalam pembentukkan kepribadian Nabi ﷺ ialah bahwa ia sebagai seorang Rasul dan Nabi. Setelah itu baru menyusul keistimewaan-keistimewaan Nabi ﷺ yang lain seperti kecerdasan dan kejeniusannya.
Keempat. Ketinggian kedudukan Nabi ﷺ di kalangan tokoh Quraisy dari berbagai tingkatan dan kelas. Di kalangan mereka, Nabi ﷺ dikenal sebagai al-amin (terpercaya) dan sangat dicintai. Mereka tidak pernah meragukan kejujurannya apabila berbicara, ketinggian akhlaknya apabila bergaul, dan keikhlasannya apabila dimintai bantuan melakukan sesuatu.
Hal ini mengungkapkan kepada anda, betapa kedengkian dan keangkuhan telah menguasai hati mereka, ketika mereka mendustakan, memusuhi dan manghalau dakwah yang disampaikannya kepada mereka.
Wallahu a'lam.
(Sirah Nabawiyah, Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthiy; Bagian Kedua, Sejak Kelahiran Hingga Kenabian)
Setelah itu Ka’bah mengalami beberapa kali serangan yang mengakibatkan kerapuhan bangunannya. Di antaranya adalah serangan banjir yang menenggelamkan Mekkah beberapa tahun sebelum bi’tsah, sehingga menambah kerapuhan bangunannya. Hal ini memaksa orang-orang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian bangunannya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Ka’bah merupakan sisa atau peninggalan syari’at Ibrahim 'alaihissalam yang masih terpelihara di kalangan orang Arab.
Rasulullah ﷺ sebelum bi’tsah pernah ikut serta dalam pembangungan Ka’bah dan pemugarannya. Beliau ikut serta secara aktif mengusung batu di atas pundaknya. Pada waktu itu Rasulullah ﷺ berusia 35 tahun, menurut riwayat yang paling shahih.
Bukhari meriwayatkan di dalam Shahihnya dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Nabi ﷺ dan Abbas pergi mengusung batu. Abbas berkata kepada Nabi ﷺ, “Singsingkan kainmu di atas lutut.“ Kemudian Nabi ﷺ turun ke tanah, sedang kedua matanya melihat-lihat ke atas seraya berkata, “Mana kainku?“ Lalu Nabi ﷺ mengikatkannya.
Nabi ﷺ memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat perselisihan dalam menyelesaikan tentang siapa yang berhak mendapatkan kehormatan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Semua pihak tunduk kepada usulan yang diajukan Nabi ﷺ, karena mereka semua mengenalnya sebagai al-amin (terpercaya) dan mencintainya.
Beberapa Ibrah
Sebagai catatan terhadap bagian Sirah Nabi ﷺ ini kami kemukakan empat hal :
Pertama, urgensi, kemuliaan, dan kekudusan Ka’bah ynag telah ditetapkan Allah. Cukuplah sebagai dalilnya, bahwa orang yang mendirikan dan membangunnya adalah Ibrahim kekasih Allah, dengan perintah dari Allah supaya menjadi rumah yang pertama untuk menyembah Allah semata, sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia.
Tetapi, ini tidak berarti bahwa Ka’bah memiliki pengaruh terhadap orang-orang yang thawaf di sekitarnya, atau orang-orang yang i'tikaf di dalamnya Ka’bah, kendatipun memiliki kekudusan dan kedudukan di sisi Allah. Adalah batu yang tidak dapat memberikan bahaya dan manfaat.
Ketika Allah mengutus Ibrahim 'alaihissalam untuk meruntuhkan berhala-berhala dan para thogut, menghancurkan rumah-rumah peribadatan, melenyapkan rambu-rambunya dan menghapuskan penyembahannya, Allah menghendaki agar dibangun di atas bumi ini suatu bangunan yang akan menjadi lambang pentauhidan dan penyembahan kepada Allah semata. Suatu lambang yang mencerminkan sepanjang masa arti agama dan peribadatan yang benar, dan penolakan terhadap kemusyrikan dan penyembahan berhala. Selama beberapa abad manusia menyembah batu-batu, berhala dan para thogut, dan mendirikan rumah-rumah ibadah untuknya. Sekarang telah tiba saatnya untuk mengganti rumah-rumah yang didirikan untuk menyembah Allah semata. Setiap orang yang memasukinya akan mendapatkan kemuliaannya, karena ia tidak tunduk dan merendah kecuali hanya kepada Pencipta alam semesta.
Jika orang-orang yang beriman kepada wahdaniyah (keesaan) Allah dan para pemeluk agama-Nya harus memiliki ikatan yang akan mempertalikan mereka, dan sebuah tempat yang akan mempertemukan mereka, kendatipun berlainan negeri, bangsa, dan bahasa mereka. Maka tidak ada yang lebih tepat untuk dijadikan ikatan dan tempat pertemuan itu selain dari rumah yang didirikan sebagai lambang untuk mentauhidkan Allah dan menolak kemusyrikan ini. Di bawah naungannya mereka saling berkenalan. Di sinilah mereka bertemu karena panggilan kebenaran yang dilambangkan oleh rumah ini. Rumah ynag mencerminkan persatuan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia, mencerminkan pentauhidan dan penyembahan hanya kepada Allah semata. Kendatipun selama beberapa abad pernah dijadikan tempat penyembahan tuhan-tuhan palsu.
Inilah ynag dimaksudkan oleh firman Allah, "Dan ( ingatlah), ketika Kami jadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadilah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.“ (QS. Al-Baqarah : 125).
Makna inilah yang akan dirasakan oleh setiap orang yang melakukan thawaf di Baitul Haram, jika ia telah memahami arti ‘ubudiyah kepada Allah dan tujuan melaksanakan perintah-perintah-Nya, baik karena sebagai perintah ynag harus dilaksanakan ataupun karena sebagai seorang hamba yang berkewajiban mematuhi perintah. Di sinilah nampak kekudusan Ka’bah dan keagungan kedudukannya di sisi Allah. Dari sini pula terasa perlunya menunaikan haji dan thawaf di sekitarnya.
Kedua, penjelasan menyangkut beberapa kali peristiwa perusakan dan pembangungan Ka’bah.
Sepanjang masa, Ka’bah pernah dibangun empat kali tanpa diragukan lagi. Akan halnya pembangunan Ka’bah sebelum itu, maka masih diperselisihkan dan diragukan kebenarannya.
Pembangunan Ka’bah yang pertama kali adalah yang dilakukan oleh Ibrahim 'alaihissalam dibantu anaknya, Isma’il 'alaihissalam, atas perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih : Firman Allah, "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il (seraya berdo'a), Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah : 127).
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu : ...kemudian (Ibrahim) berkata, "Hai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahkan aku (untuk melakukan) sesuatu perkara.“ Isma’il berkata, “Lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Rabbmu.“ Ibrahim bertanya, “Kamu akan membantuku?“ Isma’il menjawab, “Aku akan membantumu.“ Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar aku membangun rumah (Ka’bah) di sini,“ seraya menunjuk ke bukit di sekitarnya. Nabi ﷺ bersabda, “Pada saat itulah keduanya membangun dasar-dasar Ka’bah, kemudian Isma’il mengusung batu dan Ibrahim yang membangun ....“
Az-Zarkasyi mengutip dari sejarah Mekkah karangan al-Azraqi bahwa Ibrahim membangun Ka’bah dengan tinggi tujuh depa, dalamnya ke bumi tigapuluh depa, dan lebarnya duapuluh depa, tanpa atap. As-Suhaili menceritakan bahwa tingginya sembilan depa. Menurut penulis (Dr. al-Buthi), riwayat as-Suhaili lebih tepat daripada riwayat al-Azraqi.
Pembangunan Ka’bah yang kedua adalah yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy sebelum Islam, dimana Nabi ﷺ ikut serta dalam pembangunannya, sebagaimana telah kami sebutkan. Mereka membangunnya dengan tinggi delapan belas depa, dalamnya enam depa, dan beberapa depa mereka biarkan di Hijir (Isma’il).
Menyangkut hal ini Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam sebuah riwayat 'Aisyah, "Wahai 'Aisyah, kalau bukan karena kaummu masih dekat dengan masa jahiliyah, niscaya aku perintahkan (untuk membongkar dan membangun) Ka’bah, kemudian aku masukkan kepadanya apa yang pernah dikeluarkan darinya, aku perdalam lagi ke bumi dan aku buat padanya pintu timur dan barat, lalu aku sempurnakan sesuai asas Ibrahim."
Pembangunan Ka’bah yang ketiga ialah setelah mengalami kebakaran di mana Yazid bin Mu’awiyah, ketika tentara-tentaranya dari penduduk Syam menyerangnya. Para tentara tersebut atas perintah Yazid, mengepung Abdullah bin Zubair di Mekkah dibawah pimpinan Al-Hashin bin Numair as-Sakuni pada akhir tahun tigapuluh enam. Mereka melempari Ka’bah dengan menjanik sehingga menimbulkan kerusakan dan kebakaran. Kemudian Ibnu az-Zubair menunggu sampai orang-orang datang di musim haji, lalu ia meminta pendapat mereka seraya berkata, “Wahai manusia, berilah pendapat kalian tentang Ka’bah. Aku gempur kemudian aku bangun lagi, atau aku perbaiki yang rusak-rusak saja?“ Lalu Ibnu Abbas berkata, “Menurut saya sebaiknya anda perbaiki yang rusak-rusak saja dan tidak perlu menggempurnya.“ Ibnu az-Zubair berkata, “Seandainya rumah salah seorang kamu terbakar, maka ia pasti akan memperbaharuinya, apalagi ini rumah Allah. Sesungguhnya saya sudah tiga kali istikharah kepada Allah, kemudian bertekad melaksanakan keputusanku.“
Tiga hari berikutnya, ia memulai menggempurnya sampai rata dengan tanah. Kemudian Ibnu az-Zubair mendirikan beberapa tiang di sekitarnya dan memasang tutup di atasnya. Kemudian mereka mulai meninggikan bangunannya. Ia tambahkan enam depa pada bagian yang pernah dikurangi. Ia tambahkan panjangnya sepuluh depa, dan dibuatnya dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar. Ibnu az-Zubair berani memasukan tambahan ini berdasarkan hadits 'Aisyah dari Rasulullah ﷺ terdahulu.
Pembangunan Ka’bah yang keempat dilakukan setelah terbunuhnya Ibnu az-Zubair, Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Atha, bahwa ketika Ibnu az-Zubair terbunuh, al-Hajjjaj menulis kepada Abdul Malik bin Marwan mengabarkan kematiannya, dan bahwa Ibnu az-Zubair membangun Ka’bah di atas yang masih dipermasalahkan oleh para tokoh kepercayaan Mekkah. Kemudian Abdul Malik menjawabnya melalui surat, "Kami tidak bisa menerima tindakan Ibnu az-Zubair. Menyangkut tambahan panjangnya masih bisa ditolerir, tetapi menyangkut tambahan Hijir (Isma’il) hendaklah dikembalikan kepada bangunannya (semula) dan tutuplah pintu yang dibukanya:“ Maka digempurlah Ka’bah dan dibangun kembali.
Dikatakan bahwa ar-Rasyid pernah bertekad akan membongkar Ka’bah dan membangunnya kembali sebagai bangunan Ibnu az-Zubair. Tetapi kemudian dicegah oleh Malik bin Anas, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah rumah ini dijadikan permainan oleh para raja sesudahmu. Janganlah setiap orang dari mereka mengubahnya sesuka hatinya, karena tindakan tersebut akan menghapuskan wibawa rumah ini dari hati manusia“. Kemudian ar-Rasyid membatalkan niatnya.
Itulah keempat kalinya pembangungan Ka’bah yang dapat diyakini kebenarannya. Adapun pembangunannya sebelum Ibrahim 'alaihissalam, maka masih diperselisihkan dan diragukan kebenarannya. Apakah Ka’bah sebelum itu sudah dibangun atau belum?
Disebutkan di dalam beberapa atsar dan riwayat, bahwa orang yang pertama kali membangunnya adalah Adam 'alaihissalam. Di antaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi di dalam kitab Dala’ilun Nubuwwah, dari hadits Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah mengutus Jibril 'alaihissalam kepada Adam 'alaihissalam dan Hawa; lalu berkata kepada keduanya, “Bangunlah sebuah rumah untukku,“ Kemudian Jibril membuatkan garis kepada keduanya. Lalu Adam mulai menggali, sementara itu Hawa, mengusungnya, “Cukup Adam!“ Ketika keduanya telah membangunnya, Allah mengilhamkan kepada Adam agar ia thawaf di sekitarnya, dan dikatakan kepadanya, “Kamu manusia pertama, dan ini adalah rumah pertama.“ Kemudian berlalulah beberapa abad sampai Ibrahim meninggikan dasar-dasar bangunannya.
Al-Baihaqi berkata, “Ibnu Lahi’ah meriwayatkan secara sendirian. Ibnu Lahi’ah dikenal seorang yang lemah, tidak dapat dijadikan hujjah.
Selain itu terdapat riwayat lain yang semakna dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Baihaqi ini, tetapi kesemuanya tidak terhindar dari kelemahan. Dikatakan juga, orang yang pertama kali membangunnya adalah Syits 'alaihissalam.
Dengan demikian, Ka’bah berdasarkan riwayat-riwayat yang lemah telah dibangun sebanyak lima kali.
Tetapi sepatutnya kita berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu Ka’bah pernah dibangun sebanyak empat kali sebagaimana telah kami jelaskan. Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan pembangunannya selain yang empat kali tersebut, maka kita serahkan kepada Allah. Ini tentu saja tidak termasuk beberapa kali pemugaran dan perbaikan setelah itu.
Ketiga, kebijaksanaan Nabi ﷺ dalam menyelesaikan masalah dan mencegah terjadinya permusuhan. Antar siapa? Antar kaum yang jika terjadi permusuhan jarang sekali tidak menumpahkan darah. Seperti telah diketahui, permusuhan mereka dalam masalah ini hampir saja menimbulkan peperangan Bani Abdi’d-Dar telah menghampiri mangkuk berisi darah, kemudian bersama Bani ’Ady berikrar siap mati seraya memasukkan tangan-tangan mereka ke dalam darah tersebut. Sementara itu, kaum Quraisy tinggal diam selama empat atau lima malam tanpa adanya kesepakatan atau penyelesaian yang dapat diajukan sampai api fitnah tersebut padam di tangan Rasulullah ﷺ.
Kita harus mengembalikan keistimewaan Rasulullah ﷺ ini kepada persiapan Allah kepadanya untuk mengemban tugas risalah dan kenabian, sebelum mengembalikannya kepada kecerdasan dan kejeniusan Nabi ﷺ yang telah menjadi fitrahnya.
Sebab asas pertama dalam pembentukkan kepribadian Nabi ﷺ ialah bahwa ia sebagai seorang Rasul dan Nabi. Setelah itu baru menyusul keistimewaan-keistimewaan Nabi ﷺ yang lain seperti kecerdasan dan kejeniusannya.
Keempat. Ketinggian kedudukan Nabi ﷺ di kalangan tokoh Quraisy dari berbagai tingkatan dan kelas. Di kalangan mereka, Nabi ﷺ dikenal sebagai al-amin (terpercaya) dan sangat dicintai. Mereka tidak pernah meragukan kejujurannya apabila berbicara, ketinggian akhlaknya apabila bergaul, dan keikhlasannya apabila dimintai bantuan melakukan sesuatu.
Hal ini mengungkapkan kepada anda, betapa kedengkian dan keangkuhan telah menguasai hati mereka, ketika mereka mendustakan, memusuhi dan manghalau dakwah yang disampaikannya kepada mereka.
Wallahu a'lam.
(Sirah Nabawiyah, Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthiy; Bagian Kedua, Sejak Kelahiran Hingga Kenabian)