KH. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin atau yang terkenal dengan nama Abah Anom dilahirkan di Kampung Godebah, Suryalaya, Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, 1 Januari 1915. Ia adalah putra kelima Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dan dari ibu yang bernama Hajjah Juhriyah.
Ia mulai menimba pendidikan formalnya pada tahun 1923 hingga 1928 di sebuah sekolah buatan Belanda, Verfolg School di Ciamis, Jawa Barat. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacam Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya.
Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Ia belajar ilmu fiqih dari seorang Kiai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kiai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur.
Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, ia melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Mama Ajengan Ahmad Syathibi. Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi.
Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren.
Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai ilmu keislaman saat berumur 18 tahun. Didukung ketertarikan pada dunia pesantren, ayahnya yang sesepuh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) mengajarinya dzikir tarekat. Sehingga ia menjadi wakil "talqin" Abah Sepuh pada usia relatif muda. Sejak itulah, ia lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom.
Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah menginjak usia 23 tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Selama tujuh bulan di Makkah, ia banyak melakukan perjalanan spiritual, termasuk belajar dari Syaikh Romli yang memiliki majelis diskusi tasawuf (ribath naqsyabandi) yang terletak di Jabbal Qubais.
Dua kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani; Sirr Al-Asrar dan Ghunyah at-Thalibin, pun habis dilahapnya, begitu juga dengan kitab tasawuf lainnya. Perjalanan panjang itu memberinya pengalaman dan pengetahuan dalam berbagai bidang, meliputi tafsir, haids, fiqih, kalam (teologi), dan tasawuf.
Sekembalinya dari Tanah Suci, Abah Anom mengembangkan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), hingga menjadi tarekat dengan jumlah pengikut paling banyak di Nusantara. Tarekat ini pun tersebar di berbagai pulau, bukan hanya di Jawa, tapi juga di Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke luar negeri, seperti di Singapura, Malaysia, Brunei, Amerika, Jepang, Jerman, Australia, Belanda dan negeri lainnya.
Abah Anom sendiri resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di pesantren sejak tahun 1950. Ia menjadi tulang punggung pengembangan pesantren Suryalaya tatkala ayahandanya, Abah Sepuh, wafat pada 1956. Ia menggantikan peran ayahnya untuk mengajar santri dan menjadi rujukan masyarakat.
Pada masa awal kepemimpinannya, Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII karena menjadi salah satu pesantren yang menentang pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Pesantren ini mengganggap DI/TII bukanlah hasil kesepakatan umat Islam, dan hanya menggunakan Islam sebagai bendera saja serta akan menyengsarakan umat.
Tak sampai disitu, pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.
Banyak ulama tarekat yang mengagumi beliau. Sayyid Muhammad bin Alaway bin Abbas al-Maliki, ulama Suni terkemuka di Makkah mengungkapkan, Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. (Abah Anom) adalah Sulthon Awliya fi Hadza Zaman. Bahkan Syaikh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani, sufi kenamaan dari Cyprus, menyebut Pangersa Abah Anom sebagai Sufi Agung di Timur Jauh.
Penyebutan terhadap Pangersa Abah Anom sebagai Sufi Agung di Timur Jauh bukan tanpa alasan. Sudah ratusan bahkan ribuan orang yang datang untuk ditalqin dan menjadi murid beliau dari seluruh Indonesia dan dari manca negara.
Abah Anom wafat di usia 96 tahun pada Senin siang sekira pukul 11.50 WIB di Tasikmalaya Medical Centre. Selain meninggalkan meninggalkan seorang istri dan 16 orang anak, warisan ilmu, amal dan inabahnya terus mengalir menjadi amal baiknya.
Ia mulai menimba pendidikan formalnya pada tahun 1923 hingga 1928 di sebuah sekolah buatan Belanda, Verfolg School di Ciamis, Jawa Barat. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacam Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya.
Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Ia belajar ilmu fiqih dari seorang Kiai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kiai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur.
Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, ia melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Mama Ajengan Ahmad Syathibi. Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi.
Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren.
Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai ilmu keislaman saat berumur 18 tahun. Didukung ketertarikan pada dunia pesantren, ayahnya yang sesepuh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) mengajarinya dzikir tarekat. Sehingga ia menjadi wakil "talqin" Abah Sepuh pada usia relatif muda. Sejak itulah, ia lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom.
Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah menginjak usia 23 tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Selama tujuh bulan di Makkah, ia banyak melakukan perjalanan spiritual, termasuk belajar dari Syaikh Romli yang memiliki majelis diskusi tasawuf (ribath naqsyabandi) yang terletak di Jabbal Qubais.
Dua kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani; Sirr Al-Asrar dan Ghunyah at-Thalibin, pun habis dilahapnya, begitu juga dengan kitab tasawuf lainnya. Perjalanan panjang itu memberinya pengalaman dan pengetahuan dalam berbagai bidang, meliputi tafsir, haids, fiqih, kalam (teologi), dan tasawuf.
Sekembalinya dari Tanah Suci, Abah Anom mengembangkan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), hingga menjadi tarekat dengan jumlah pengikut paling banyak di Nusantara. Tarekat ini pun tersebar di berbagai pulau, bukan hanya di Jawa, tapi juga di Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke luar negeri, seperti di Singapura, Malaysia, Brunei, Amerika, Jepang, Jerman, Australia, Belanda dan negeri lainnya.
Abah Anom sendiri resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di pesantren sejak tahun 1950. Ia menjadi tulang punggung pengembangan pesantren Suryalaya tatkala ayahandanya, Abah Sepuh, wafat pada 1956. Ia menggantikan peran ayahnya untuk mengajar santri dan menjadi rujukan masyarakat.
Pada masa awal kepemimpinannya, Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII karena menjadi salah satu pesantren yang menentang pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Pesantren ini mengganggap DI/TII bukanlah hasil kesepakatan umat Islam, dan hanya menggunakan Islam sebagai bendera saja serta akan menyengsarakan umat.
Tak sampai disitu, pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.
Banyak ulama tarekat yang mengagumi beliau. Sayyid Muhammad bin Alaway bin Abbas al-Maliki, ulama Suni terkemuka di Makkah mengungkapkan, Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. (Abah Anom) adalah Sulthon Awliya fi Hadza Zaman. Bahkan Syaikh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani, sufi kenamaan dari Cyprus, menyebut Pangersa Abah Anom sebagai Sufi Agung di Timur Jauh.
Penyebutan terhadap Pangersa Abah Anom sebagai Sufi Agung di Timur Jauh bukan tanpa alasan. Sudah ratusan bahkan ribuan orang yang datang untuk ditalqin dan menjadi murid beliau dari seluruh Indonesia dan dari manca negara.
Abah Anom wafat di usia 96 tahun pada Senin siang sekira pukul 11.50 WIB di Tasikmalaya Medical Centre. Selain meninggalkan meninggalkan seorang istri dan 16 orang anak, warisan ilmu, amal dan inabahnya terus mengalir menjadi amal baiknya.