Makam Al-Haddad
Habib Muhammad bin Thohir al-Haddad lahir di kota Geidun, Hadramaut, Yaman pada tahun 1838 M yang kemudian hijrah ke Indonesia. Habib Abdullah bin Hasan bin Husein al-Haddad, cicit atau generasi ke 3 dari Habib Muhammad bin Thohir menceritakan bahwa buyutnya yakni Habib Thohir merupakan ulama tersohor dari Yaman yang kerap melakukan syiar Islam di India, Pakistan dan negara-negara Arab.
Kedua anak dari Habib Thohir ini berdakwah di Indonesia. Yaitu: Al-Habib Husein bin Muhammad al-Haddad di Jombang dan Tuban dan Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad di Bogor. Sehingga beliau datang ke Indonesia selain untuk bertemu dengan anak-anaknya, juga untuk berdakwah dan berdagang. Salah satu yang menonjol dari Habib Muhammad bin Thohir yaitu perilakunya yang alim dan dermawan
Tidak lama beliau berada di Indonesia, Habib Thohir sakit dan meninggal di Kota Tegal pada usia 43 tahun. Tepatnya 18 Rajab 1316 H /1885 M. Makamnya berada di sebelah selatan pelataran masjid. Di sebelah makam beliau dimakamkan juga putra pertama beliau, Habib Husain. Pada pelataran luar pemakaman utama, terdapat juga makam cucu-cucu beliau seperti Habib Hasan.
Peringatan khaul jatuh pada hari ke 15 bulan Sya’ban dimulai pada malam hari. Di setiap peringatan khaulnya, selalu ramai dikunjungi oleh peziarah baik dari Tegal, luar kota bahkan dari luar negeri yang jumlahnya hingga ratusan peserta khaul yang berpakaian serba putih. Pada acara tersebut selalu dibacakan do’a bersama dan sejarah beliau. Bahkan ada hidangan khusus bagi warga yang menghadiri khaul, yaitu nasi kebuli.
Nama aslinya adalah Ki Pranantaka, hidup pada jaman kekuasaan Sunan Amangkurat II. Gendowor merupakan orang kepercayaan Adipati Martalaya dan secara tidak langsung juga menjadi orang kepercayaan Sunan Amangkurat II. Beliau pernah diperintah oleh Sunan Amangkurat II untuk mencari kembang Wijayakusuma di Nusakambangan. Perintah tersebut berhasil dijalankan dengan baik dan akhirnya pada suatu saat beliau diberi gelar Raden Harya Sindureja oleh Sunan Amangkurat II.
Gendowor dan Adipati Martalaya mempunya hubungan dekat, selain sebagai orang kepercayaan, beliau juga dipercaya untuk mengurus kuda Sang Adipati. Pandangan beliau juga sejalan dengan Adipati Martalaya yang tidak setuju adanya kerjasama Mataram dengan kompeni Belanda. Gendowor juga dikenal mempunyai pribadi yang polos, jujur, dan berhati mulia . Karena sifatnya itulah beliau pernah dipercaya oleh Sunan Amangkurat II sebagai pembuka jalan saat Sunan Amangkurat II pergi ke Jepara.
Setelah Adipati Martalaya wafat pada 17 Januari 1678, Tegal dipinpin oleh Raden Harya Sindureja selama tiga tahun. Selama tiga tahu itu, beliau melakukan pengembangan ekonomi pertanian dengan membuka dan memperluas lahan pertanian.
Pada tahun 1680, Raden Harya Sindureja wafat, menurut Ki Sumarno Martopura dalam bukunya Tegal Sepanjang Sejarah (Ki Sumarno Martopuro, 1984/ 2003), beliau tewas ditembak Belanda di Tembok Banjaran, Kecamatan Adiwerna dan dimakamkan di Tembokluwung.
Jalan masuk menuju makam ada di samping selatan Polsek Adiwerna lurus ke timur hingga menemui perempatan kecil lalu belok ke selatan hingga menemukan pemakaman dengan pepohonan rindang di sisi kanan jalan.
Pemakamannya cukup sederhana, tidak berteras-teras seperti “makam orang penting” lainnya. Namun yang membedakannya adalah dari cungkupnya. Terdapat dua buah bangunan bercungkup, yang satu atau yang sebelah timur terdapat makam sesepuh desa yang disegani dengan hiasan kelambu putih, sedangkan makam Gendowor hanya cungkup sederhana, berlantaikan keramik putih dan menggunakan pagar bambu seadanya. Dalam satu cungkup terdapat dua buah makam, yang satu makam Gendowor sendiri, dan yang satunya lagi menurut warga sekitar adalah makam istrinya.
Sebelah timur makam Gendowor terdapat sebuah makam yang menurut warga sekitar merupakan petilasan jejak kaki Adipati Martalaya. Petilasan yang berbentuk makam tersebut cukup dikramatkan warga, karena ketika kami mendatanginya untuk mengambil foto lebih dekat, diwajibkan untuk melepas alas kaki.
Ki Gede Sebayu adalah salah satu orang yang sangat berjasa dalam membangun Tegal. Tidak hanya membangun Tegal, namun juga berhasil membangun masyarakat Tegal sehingga mempunyai banyak keterampilan.
Atas keberhasilannya ini pula, Ingkang Sinuwun Kanjeng Panembahan Senopati Mataram mengangkat Ki Gede Sebayu sebagai juru Demang setingkat Tumenggung/ Bupati yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Tegal. Ki Gede Sebayu masih berkaitan erat dengan keturunan Majapahit. Beliau memiliki dua orang anak, yakni Pangeran Hanggawana dan Raden Ayu Rara Giyanti Subalaksana yang menikah dengan Pangeran Purbaya.
Selain itu, Ki Gede Sebayu juga berjasa dalam pembangunan Bendungan Danawarih yang fungsinya adalah unuk irigasi areal persawahan.
Ki Gede Sebayu dimakamkan di Danawarih, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. Sekitar 100 meter ke utara dari lokasi Bendungan dan Jembatan Gantung Danawarih. Komplek makam ini dikelilingi tembok putih yang cukup luas. Sedangkan makamnya sendiri berada di tengah-tengah komplek bangunan tersebut. Makamnya dibuat dengan model atap joglo dan dikelilingi tembok kaca dengan ditutupi dengan tirai putih.
Makam Ki Gede Sebayu selalu ramai didatangi peziarah ketika menjelang hari jadi Kabupaten dan Kota Tegal seperti Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakilnya, Kepala Dinas, SKPD, sesepuh, dan warga Tegal.
Raden Mas Hanggawana menggantikan tugas dari bapaknya, Ki Gede Sebayu yang telah wafat. Kepemimpinan Raden Mas Hanggawana mulai tahun 1620 hingga tahun 1625.
Banyak hal yang dilakukan oleh Raden Mas Hanggawana dalam memimpin Tegal. Yaitu seperti mengembangkan pertanian, membuat bendungan (Kali Bleruk, Kali Kembang, Kali Jembangan, dan Kali Wadas) dan irigasi yang mengairi sawah-sawah penduduk.
Karena pada saat itu Mataram dalam keadaan genting, maka Sultan Agung mengangkat Tumenggung Tegal sebagai Adipati Tegal yang ketiga, sedangkan Raden Mas Hanggawana ditempatkan sebagai sesepuh Tegal yang mengurus urusan dalam kadipaten.
Raden Mas Hanggawana wafat dan dimakamkan di daerah Kalisoka. Posisi makam Raden Mas Hanggawana tepat di belakang Masjid Kasepuhan Ki Ageng Anggawana. Makam beliau dikelilingi dengan pagar batu bata setinggi kira-kira 120 cm dan dalam keadaan tertutup oleh bangunan beratapkan genting. Daerah tersebut juga merupakan komplek pemakaman warga sekitar. Suasana sekitar juga sejuk dan asri, tidak banyak pohon-pohon besar yang memberikan kesan angker. Untuk masuk ke bangunan utama, setidaknya kita mengadakan janjian terlebih dahulu kepada sang juru kunci makam, mengingat pada hari-hari biasa, bangunan tersebut dikunci rapat.
Pada tanggal-tanggal tertentu, sering diadakan khaul untuk mengenang Raden Mas Hanggawana. Peserta khaul tidak hanya dari Tegal saja, namun dari luar kota. Terlebih posisi komplek makam ini berada di pinggir jalan desa, maka semakin banyak orang yang berziarah maupun hanya sekedar ingin tahu makam dari orang yang bersejarah di Tegal.
Sumber: Buku Babad Negari Tegal
Berkunjung ke areal pemakaman ini tidak seperti sedang berkunjung ke pemakaman. Karena areal ini terlihat rapi dan bersih, bahkan jauh dari kata seram. Dari luar, bangunan ini dikelilingi oleh tembok bata dengan luas sekitar 1,1 Ha.
Sunan Amangkurat I merupakan putra ke sepuluh dari Sultan Agung yang lahir pada tahun 1619. Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin. Pada tahun 1645 beliau diangkat menjadi Raja Mataram menggantikan ayahnya dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi pada tahun 1646, gelarnya menjadi Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung.
Pada masanya, terjadi banyak pemberontakan dan persekongkolan. Sunan Amangkurat I dan beserta istri dan putra-putranya meninggalkan Keraton Mataram menuju ke arah Batavia. Dalam pelariannya, Sunan Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Beliau berwasiat untuk dimakamkan di dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek.
Cungkup makam dari Sunan Amangkurat I berbentuk Rumah Tajug dan bahan bangunan menggunakan kayu jati yang dicat dengan warna kuning. Selain Makam Sunan Amangkurat I, di komplek pemakaman ini juga terdapat makam kerabat dan guru dari Sunan Amangkurat I.
Pemugaran pertama kali di makam ini dilakukan pada tahun 1982 dan diresmikan oleh Dr. Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada masa itu.
Sumber: Disparbud Kab Tegal
Makam atau Candi yang terletak di Desa Pagiyanten, Kabupaten Tegal ini merupakan peninggalan abad ke 14 yang berbentuk areal pemakaman atau bisa disebut Makam Suro. Pemakaman ini posisinya ada di sebelah barat laut Gapura Desa Pagiyanten. Jadi agak susah ditemukan jika kita tidak bertanya kepada warga sekitar karena tidak adanya papan petunjuk arah.
Komplek pemakaman ini luasnya kurang lebih 20 x 20 meter dengan dikelilingi oleh pagar batu bata dengan ketinggian pagar sekitar 120 cm. Komplek makam ini pun terdiri dari beberapa sekat atau area. Yang setiap area terdapat pintu masuk yang lebarnya hanya sekitar 80 cm. Adapun area-area tersebut antara lain:
Komplek utama Makam Suro ini terdiri dari satu banguan utama yang dindingnya terbuat dari batu bata dan lantai / pondasinya terbuat dari batu kali. Cungkup makamnya terdiri dari dua tingkat. Pada tingkatan bawah tersusun dari genteng tanah liat dan tingkatan paling atas terbuat dari kayu jati.
Pintu makam utama ini terbuat dari kayu jati yang sudah terlihat lapuk dengan kunci menggunakan gembok. Untuk dapat masuk ke dalam bangunan ini, sebelumnya kita meminta izin kepada penjaga atau juru kunci terlebih dahulu.
Di dalam bangunan utama ini terdapat sebuah makam sederhana dengan dua buah nisan dari batu. Batas makam hanya dikelilingi dengan beberapa potong kayu. Makam tersebut ditutup dengan kelambu sederhana. Penduduk sekitar mengenalnya dengan makam Mbah Suro / Suroponolawen / Sayyid Syarif Abdurrohman seorang dari Baghdad, Irak yang datang sekitar tahun 1400 M ( abad ke-14) dengan tujuan utama untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Makam ini selalu ramai diziarahi warga pada hari Jum’at Kliwon Penelitis Wage, dan tanggal 6 hingga 12 bulan Maulud. Namun tepatnya tanggal 6, 7 dan 8 bulan Maulud lebih ramai lagi karena untuk memperingati bulan Maulud Nabi dan juga tanggal 8 merupakan tanggal wafatnya Mbah Suro dan penyucian benda-benda peninggalan Mbah Suro seperti piring panjang, cangkir (banyak yang sudah pecah) tenong perunggu, wayang kayu, dan lain sebagainya.
Sumber:
http://husnaramadhan.blogspot.com/2011/01/contoh-abstrak-penelitian-di-candi-suro.html
http://disparbud.tegalkab.go.id/en/wisata-budaya/wisata-ziarah/makam-suroponolawen.html
Syeikh Atas Angin atau Syeikh Muhammad atau Mbah Atas Angin merupakan putra dari Syeikh Maulana Maghribi. Beliau merupakan tokoh penyebar agama Islam di sekitar wilayah Pedagangan dan Lebaksiu yang pada saat itu mayoritas masih menganut agama Hindu – Budha.
Kenapa disebut Syeikh Atas Angin? Konon ceritanya di daerah Pedagangan dahulu dikenal dengan para pedagangnya. Namun sayangnya sifatnya sangat pelit untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT. Suatu saat, Syeikh Muhammad menyerukan agama Islam di desa tersebut, akan tetapi warga sekitar mengajukan syarat kepada Syeikh Muhammad, apabila Syeikh Muhammad bisa membuat sawah di atas udara, maka warga sekitar mau masuk agama Islam. dan dengan izin Allah, Syeikh Muhammad dapat memenuhi syarat tersebut, beliau dapat membuat sawah di atas udara.
Lokasi makam Syeikh Atas Angin berada di Desa Pedagangan, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Sekitar 1,5 km ke barat dari pusat Kota Slawi. Lokasinya cukup mudah dijumpai, karena hanya sekitar 500 meter dari jalan utama Jalan Raya Slawi – Jatibarang. Makam Syeikh Atas Angin berada di tengah komplek makam Mbah Jaksa. Jadi untuk menuju pintu masuk makam, kita bisa melewati gapura makam Mbah Jaksa dan Masjid Baiturrahman. Ketika melewati jalan setapak (sudah menggunakan paving block), kita akan menemukan makam Mbah Jaksa, seorang tokoh masyarakat yang dahulu merupakan seorang jaksa. Sehingga jalan menuju makam dinamakan Jalan Kejaksan.
Komplek Makam Atas Angin dibagi menjadi 4 halaman. Setiap halaman dibatasi dengan pagar batu bata yang tingginya sekitar 2 m. Berikut detail tiap halaman makam tersebut:
Makam Syeikh Atas Angin tidak diberi penutup layaknya makam yang lainnya. Hanya ada cungkup yang dibuat dari daun tebu atau welit. Untuk makamnya sendiri berada di atas kunden setinggi 1 meteran dengan menggunakan batu bata. Makam Syeikh Atas Angin sendiri berada di tengah di antara pendampingnya dan diberi pembatas dengan ukiran kayu yang terlihat masih baru. Di depan makamnya sendiri terdapat lingga setinggi sekitar 0,5 meter. Warga sekitar menyebutnya dengan nama Batu Kalbut.
Makam Syeikh Atas Angin ini bisa juga disebut Candi Pedagangan atau ada yang menyebutnya Candi Bulus. Komplek ini ditemukan sekitar bulan Oktober tahun 2005 oleh warga sekitar dalam keadaan tertutup dengan tanah. Namun sebelumnya pada tahun 1960, bangunan candi tersebut masih utuh. Namun sekitar tahun 1965 candi tersebut dirusak.
Mbah Panggung atau Sayyid Syarif Abdurrahman, salah satu tokoh yang tidak pernah lepas dari bahasan sejarah Tegal. Di mana ada literatur yang membahas mengenai sejarah Tegal, Mbah Panggung sosoknya hampir tidak pernah terlewatkan. Di Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal teradapat entah makam atau petilasan dari Mbah Panggung, namun warga sekitar meyakini bahwa di tempat tersebut merupakan makam Mbah Panggung.
Adapun Mbah Panggung itu sendiri merupakan salah satu wali yang hanya dikenal di daerah Tegal saja, dan masih mempunyai hubungan dengan Wali Songo. Dikisahkan Mbah Panggung sendiri hidup di masa sekitar tahun 1812-an di Sawojajar (tepi pantai barat Sungai Pemali) (Su'ud, 2003). Beliau merupakan ulama yang menurut sejarah, Mbah Panggung pernah berguru kepada Syeikh Siti Jenar.
Ada banyak versi mengenai asal-usul dari Mbah Panggung sendiri. Namun yang menjadi ingatan masyarakat, Mbah Panggung sendiri merupakan salah satu ulama penting di Tegal yang memiliki dua hewan peliharaan Iman dan Taukhid (Tokid) yang selalu menemani majikannya kemana saja. Selain itu, karya Mbah Panggung yang terkenal adalah Suluk Marang Sumirang yang dibuat saat beliau dihukum oleh para Wali.
Makam Mbah Panggung berada di tengah pemakaman umum. Pada gerbang utama makam terdapat beberapa tulisan Arab. Makam tersebut dikelilingi dengan tembok batu bata yang tingginya sekitar 1 meter. Di dalam areal itupun masih terdapat makam. Untuk menuju makam Mbah Panggung, kita akan melewati lorong panjang dengan keramik berwarna hitam putih bersilangan, mirip papan catur. Makam Mbah Panggung menggunakan cungkup sederhana dan dikelilingi oleh pintu-pintu kayu bercat coklat.
Setiap tahunnya pada bulan Sya'ban atau Ruwah diadakan acara khaul Mbah Panggung. Acara khaul ini diadakan mulai tahun 2000 yang berfungsi untuk mengenang jasa-jasa beliau. Lokasi diadakannya khaul adalah di Masjid Panggung, Jl. KH Mukhlas yang berdekatan dengan Pemakaman Panggung. Acara khaul ini didatangi ramai para peziarah, selain warga sekitar, ada pula yang rela datang jauh-jauh untuk menghadiri khaul tersebut.
Kedua anak dari Habib Thohir ini berdakwah di Indonesia. Yaitu: Al-Habib Husein bin Muhammad al-Haddad di Jombang dan Tuban dan Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad di Bogor. Sehingga beliau datang ke Indonesia selain untuk bertemu dengan anak-anaknya, juga untuk berdakwah dan berdagang. Salah satu yang menonjol dari Habib Muhammad bin Thohir yaitu perilakunya yang alim dan dermawan
Tidak lama beliau berada di Indonesia, Habib Thohir sakit dan meninggal di Kota Tegal pada usia 43 tahun. Tepatnya 18 Rajab 1316 H /1885 M. Makamnya berada di sebelah selatan pelataran masjid. Di sebelah makam beliau dimakamkan juga putra pertama beliau, Habib Husain. Pada pelataran luar pemakaman utama, terdapat juga makam cucu-cucu beliau seperti Habib Hasan.
Peringatan khaul jatuh pada hari ke 15 bulan Sya’ban dimulai pada malam hari. Di setiap peringatan khaulnya, selalu ramai dikunjungi oleh peziarah baik dari Tegal, luar kota bahkan dari luar negeri yang jumlahnya hingga ratusan peserta khaul yang berpakaian serba putih. Pada acara tersebut selalu dibacakan do’a bersama dan sejarah beliau. Bahkan ada hidangan khusus bagi warga yang menghadiri khaul, yaitu nasi kebuli.
Makam Gendowor
Foto jalanwisata.com |
Gendowor dan Adipati Martalaya mempunya hubungan dekat, selain sebagai orang kepercayaan, beliau juga dipercaya untuk mengurus kuda Sang Adipati. Pandangan beliau juga sejalan dengan Adipati Martalaya yang tidak setuju adanya kerjasama Mataram dengan kompeni Belanda. Gendowor juga dikenal mempunyai pribadi yang polos, jujur, dan berhati mulia . Karena sifatnya itulah beliau pernah dipercaya oleh Sunan Amangkurat II sebagai pembuka jalan saat Sunan Amangkurat II pergi ke Jepara.
Setelah Adipati Martalaya wafat pada 17 Januari 1678, Tegal dipinpin oleh Raden Harya Sindureja selama tiga tahun. Selama tiga tahu itu, beliau melakukan pengembangan ekonomi pertanian dengan membuka dan memperluas lahan pertanian.
Pada tahun 1680, Raden Harya Sindureja wafat, menurut Ki Sumarno Martopura dalam bukunya Tegal Sepanjang Sejarah (Ki Sumarno Martopuro, 1984/ 2003), beliau tewas ditembak Belanda di Tembok Banjaran, Kecamatan Adiwerna dan dimakamkan di Tembokluwung.
Jalan masuk menuju makam ada di samping selatan Polsek Adiwerna lurus ke timur hingga menemui perempatan kecil lalu belok ke selatan hingga menemukan pemakaman dengan pepohonan rindang di sisi kanan jalan.
Pemakamannya cukup sederhana, tidak berteras-teras seperti “makam orang penting” lainnya. Namun yang membedakannya adalah dari cungkupnya. Terdapat dua buah bangunan bercungkup, yang satu atau yang sebelah timur terdapat makam sesepuh desa yang disegani dengan hiasan kelambu putih, sedangkan makam Gendowor hanya cungkup sederhana, berlantaikan keramik putih dan menggunakan pagar bambu seadanya. Dalam satu cungkup terdapat dua buah makam, yang satu makam Gendowor sendiri, dan yang satunya lagi menurut warga sekitar adalah makam istrinya.
Sebelah timur makam Gendowor terdapat sebuah makam yang menurut warga sekitar merupakan petilasan jejak kaki Adipati Martalaya. Petilasan yang berbentuk makam tersebut cukup dikramatkan warga, karena ketika kami mendatanginya untuk mengambil foto lebih dekat, diwajibkan untuk melepas alas kaki.
Makam Ki Gede Sebayu
Foto viva.co.id |
Ki Gede Sebayu adalah salah satu orang yang sangat berjasa dalam membangun Tegal. Tidak hanya membangun Tegal, namun juga berhasil membangun masyarakat Tegal sehingga mempunyai banyak keterampilan.
Atas keberhasilannya ini pula, Ingkang Sinuwun Kanjeng Panembahan Senopati Mataram mengangkat Ki Gede Sebayu sebagai juru Demang setingkat Tumenggung/ Bupati yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Tegal. Ki Gede Sebayu masih berkaitan erat dengan keturunan Majapahit. Beliau memiliki dua orang anak, yakni Pangeran Hanggawana dan Raden Ayu Rara Giyanti Subalaksana yang menikah dengan Pangeran Purbaya.
Selain itu, Ki Gede Sebayu juga berjasa dalam pembangunan Bendungan Danawarih yang fungsinya adalah unuk irigasi areal persawahan.
Ki Gede Sebayu dimakamkan di Danawarih, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. Sekitar 100 meter ke utara dari lokasi Bendungan dan Jembatan Gantung Danawarih. Komplek makam ini dikelilingi tembok putih yang cukup luas. Sedangkan makamnya sendiri berada di tengah-tengah komplek bangunan tersebut. Makamnya dibuat dengan model atap joglo dan dikelilingi tembok kaca dengan ditutupi dengan tirai putih.
Makam Ki Gede Sebayu selalu ramai didatangi peziarah ketika menjelang hari jadi Kabupaten dan Kota Tegal seperti Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakilnya, Kepala Dinas, SKPD, sesepuh, dan warga Tegal.
Makam Pangeran Purbaya
Ada banyak versi mengenai asal-usul dari Pangeran Purbaya. Versi pertama adalah Purbaya putera dari Panembahan Senopati dari istri Niken Purwosari (putri asal Giring) sedangkan versi kedua adalah Anggabaya seorang keturunan Turki dengan nama asli Sayyid Syeikh Abdul Ghofar. Berdasarkan keterangan dari tiga orang keturunan Ki Gede Sebayu yang tercatat di buku Babad Negari Tegal (halaman 193) maka yang mendekati kebenaran adalah Anggabaya yang disebut-sebut dengan nama Purbaya.
Diceritakan bahwa Purbaya mempunyai kesaktian, salah satunya adalah menebang pohon jati yang akan digunakan sebagai saka guru pembangunan Masjid Kalisoka dengan tangan kosong pada acara sayembara yang digelar oleh Ki Gede Sebayu. Dan pada akhirnya Purbaya menjadi pemenangnya dan dinikahkan dengan putri Ki Gede Sebayu, Raden Ayu Giyanti Subalaksana.
Kiprah Purbaya atau dalam sejarah disebut juga dengan Tumenggung Tegal ini sangat penting dalam Mataram, selain sebagai juru runding dan pemimpin pasukan bersama Tumenggung Bahureksa. Pada masa Tumenggung Tegal ini pula armada-armada laut Tegal mulai dikerahkan.
Tumenggung Tegal alias Purbaya meninggal dunia pada 18 Agustus 1636. Dan konon dimakamkan di sebelah barat Masjid Kewalian Kalisoka atau biasa disebut Masjid Kalisoka. Nama pemakamannya adalah Pesarean Mbah Pangeran Purobaya. Di tempat ini pula istri beliau dimakamkan.
Komplek pemakaman ini dibagi menjadi beberapa area, area terluar merupakan pemakaman umum warga sekitar dan area dalam merupakan pemakaman sanak famili atau keturunan Pangeran Purbaya atau Ki Gede Sebayu. Untuk makam Purbaya sendiri tertutup oleh bangunan khusus. Bangunannya tidak terlalu tinggi sehingga jika kita masuk harus menundukkan kepala. Sama seperti makam-makam Ki Gede Sebayu dan Raden Mas Hanggawana, makam Pangeran Purbaya juga tertutup rapat.
Tidak jauh dari komplek pemakaman, sekitar 50 meter ke arah selatan masjid ada tempat khalwat atau seperti tempat bersemedi Pangeran Purbaya.
Diceritakan bahwa Purbaya mempunyai kesaktian, salah satunya adalah menebang pohon jati yang akan digunakan sebagai saka guru pembangunan Masjid Kalisoka dengan tangan kosong pada acara sayembara yang digelar oleh Ki Gede Sebayu. Dan pada akhirnya Purbaya menjadi pemenangnya dan dinikahkan dengan putri Ki Gede Sebayu, Raden Ayu Giyanti Subalaksana.
Kiprah Purbaya atau dalam sejarah disebut juga dengan Tumenggung Tegal ini sangat penting dalam Mataram, selain sebagai juru runding dan pemimpin pasukan bersama Tumenggung Bahureksa. Pada masa Tumenggung Tegal ini pula armada-armada laut Tegal mulai dikerahkan.
Tumenggung Tegal alias Purbaya meninggal dunia pada 18 Agustus 1636. Dan konon dimakamkan di sebelah barat Masjid Kewalian Kalisoka atau biasa disebut Masjid Kalisoka. Nama pemakamannya adalah Pesarean Mbah Pangeran Purobaya. Di tempat ini pula istri beliau dimakamkan.
Komplek pemakaman ini dibagi menjadi beberapa area, area terluar merupakan pemakaman umum warga sekitar dan area dalam merupakan pemakaman sanak famili atau keturunan Pangeran Purbaya atau Ki Gede Sebayu. Untuk makam Purbaya sendiri tertutup oleh bangunan khusus. Bangunannya tidak terlalu tinggi sehingga jika kita masuk harus menundukkan kepala. Sama seperti makam-makam Ki Gede Sebayu dan Raden Mas Hanggawana, makam Pangeran Purbaya juga tertutup rapat.
Tidak jauh dari komplek pemakaman, sekitar 50 meter ke arah selatan masjid ada tempat khalwat atau seperti tempat bersemedi Pangeran Purbaya.
Makam Raden Mas Hanggawana
Raden Mas Hanggawana menggantikan tugas dari bapaknya, Ki Gede Sebayu yang telah wafat. Kepemimpinan Raden Mas Hanggawana mulai tahun 1620 hingga tahun 1625.
Banyak hal yang dilakukan oleh Raden Mas Hanggawana dalam memimpin Tegal. Yaitu seperti mengembangkan pertanian, membuat bendungan (Kali Bleruk, Kali Kembang, Kali Jembangan, dan Kali Wadas) dan irigasi yang mengairi sawah-sawah penduduk.
Karena pada saat itu Mataram dalam keadaan genting, maka Sultan Agung mengangkat Tumenggung Tegal sebagai Adipati Tegal yang ketiga, sedangkan Raden Mas Hanggawana ditempatkan sebagai sesepuh Tegal yang mengurus urusan dalam kadipaten.
Raden Mas Hanggawana wafat dan dimakamkan di daerah Kalisoka. Posisi makam Raden Mas Hanggawana tepat di belakang Masjid Kasepuhan Ki Ageng Anggawana. Makam beliau dikelilingi dengan pagar batu bata setinggi kira-kira 120 cm dan dalam keadaan tertutup oleh bangunan beratapkan genting. Daerah tersebut juga merupakan komplek pemakaman warga sekitar. Suasana sekitar juga sejuk dan asri, tidak banyak pohon-pohon besar yang memberikan kesan angker. Untuk masuk ke bangunan utama, setidaknya kita mengadakan janjian terlebih dahulu kepada sang juru kunci makam, mengingat pada hari-hari biasa, bangunan tersebut dikunci rapat.
Pada tanggal-tanggal tertentu, sering diadakan khaul untuk mengenang Raden Mas Hanggawana. Peserta khaul tidak hanya dari Tegal saja, namun dari luar kota. Terlebih posisi komplek makam ini berada di pinggir jalan desa, maka semakin banyak orang yang berziarah maupun hanya sekedar ingin tahu makam dari orang yang bersejarah di Tegal.
Sumber: Buku Babad Negari Tegal
Baca juga : Masjid Kewalian dan Kompleks Makam Kalisoka
|
Makam Sunan Amangkurat I
Foto Wikipedia |
Sunan Amangkurat I merupakan putra ke sepuluh dari Sultan Agung yang lahir pada tahun 1619. Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin. Pada tahun 1645 beliau diangkat menjadi Raja Mataram menggantikan ayahnya dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi pada tahun 1646, gelarnya menjadi Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung.
Pada masanya, terjadi banyak pemberontakan dan persekongkolan. Sunan Amangkurat I dan beserta istri dan putra-putranya meninggalkan Keraton Mataram menuju ke arah Batavia. Dalam pelariannya, Sunan Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Beliau berwasiat untuk dimakamkan di dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek.
Cungkup makam dari Sunan Amangkurat I berbentuk Rumah Tajug dan bahan bangunan menggunakan kayu jati yang dicat dengan warna kuning. Selain Makam Sunan Amangkurat I, di komplek pemakaman ini juga terdapat makam kerabat dan guru dari Sunan Amangkurat I.
Pemugaran pertama kali di makam ini dilakukan pada tahun 1982 dan diresmikan oleh Dr. Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada masa itu.
Sumber: Disparbud Kab Tegal
Makam Suroponolawen
Makam atau Candi yang terletak di Desa Pagiyanten, Kabupaten Tegal ini merupakan peninggalan abad ke 14 yang berbentuk areal pemakaman atau bisa disebut Makam Suro. Pemakaman ini posisinya ada di sebelah barat laut Gapura Desa Pagiyanten. Jadi agak susah ditemukan jika kita tidak bertanya kepada warga sekitar karena tidak adanya papan petunjuk arah.
Komplek pemakaman ini luasnya kurang lebih 20 x 20 meter dengan dikelilingi oleh pagar batu bata dengan ketinggian pagar sekitar 120 cm. Komplek makam ini pun terdiri dari beberapa sekat atau area. Yang setiap area terdapat pintu masuk yang lebarnya hanya sekitar 80 cm. Adapun area-area tersebut antara lain:
- Area pertama merupakan selasar depan bagunan utama yang merupakan tanah lapang yang ditumbuhi banyak pepohonan. Di area ini ada bangunan yang nampak kurang terawat yang digunakan untuk menyimpan perlengkapan ziarah, seperti tikar dari pandan, kayu-kayu, dan lain sebagainya.
- Area kedua merupakan lahan kosong yang berisi jalan setapak dan beberapa pepohonan peneduh. Di tempat ini juga biasanya petugas makam berjaga.
- Area ketiga hanya ada beberapa makam yang kondisinya kurang terawatt karena terlihat dari nisannya yang sudah lapuk.
- Area keempat banyak pemakaman warga sekitar. Di tempat ini banyak pepohonan besar yang cukup rindang.
- Area kelima merupakan pemakaman utama dari Makam Suro.
Komplek utama Makam Suro ini terdiri dari satu banguan utama yang dindingnya terbuat dari batu bata dan lantai / pondasinya terbuat dari batu kali. Cungkup makamnya terdiri dari dua tingkat. Pada tingkatan bawah tersusun dari genteng tanah liat dan tingkatan paling atas terbuat dari kayu jati.
Pintu makam utama ini terbuat dari kayu jati yang sudah terlihat lapuk dengan kunci menggunakan gembok. Untuk dapat masuk ke dalam bangunan ini, sebelumnya kita meminta izin kepada penjaga atau juru kunci terlebih dahulu.
Di dalam bangunan utama ini terdapat sebuah makam sederhana dengan dua buah nisan dari batu. Batas makam hanya dikelilingi dengan beberapa potong kayu. Makam tersebut ditutup dengan kelambu sederhana. Penduduk sekitar mengenalnya dengan makam Mbah Suro / Suroponolawen / Sayyid Syarif Abdurrohman seorang dari Baghdad, Irak yang datang sekitar tahun 1400 M ( abad ke-14) dengan tujuan utama untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Makam ini selalu ramai diziarahi warga pada hari Jum’at Kliwon Penelitis Wage, dan tanggal 6 hingga 12 bulan Maulud. Namun tepatnya tanggal 6, 7 dan 8 bulan Maulud lebih ramai lagi karena untuk memperingati bulan Maulud Nabi dan juga tanggal 8 merupakan tanggal wafatnya Mbah Suro dan penyucian benda-benda peninggalan Mbah Suro seperti piring panjang, cangkir (banyak yang sudah pecah) tenong perunggu, wayang kayu, dan lain sebagainya.
Sumber:
http://husnaramadhan.blogspot.com/2011/01/contoh-abstrak-penelitian-di-candi-suro.html
http://disparbud.tegalkab.go.id/en/wisata-budaya/wisata-ziarah/makam-suroponolawen.html
Makam Syeikh Atas Angin
Foto infotegal.com |
Syeikh Atas Angin atau Syeikh Muhammad atau Mbah Atas Angin merupakan putra dari Syeikh Maulana Maghribi. Beliau merupakan tokoh penyebar agama Islam di sekitar wilayah Pedagangan dan Lebaksiu yang pada saat itu mayoritas masih menganut agama Hindu – Budha.
Kenapa disebut Syeikh Atas Angin? Konon ceritanya di daerah Pedagangan dahulu dikenal dengan para pedagangnya. Namun sayangnya sifatnya sangat pelit untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT. Suatu saat, Syeikh Muhammad menyerukan agama Islam di desa tersebut, akan tetapi warga sekitar mengajukan syarat kepada Syeikh Muhammad, apabila Syeikh Muhammad bisa membuat sawah di atas udara, maka warga sekitar mau masuk agama Islam. dan dengan izin Allah, Syeikh Muhammad dapat memenuhi syarat tersebut, beliau dapat membuat sawah di atas udara.
Lokasi makam Syeikh Atas Angin berada di Desa Pedagangan, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Sekitar 1,5 km ke barat dari pusat Kota Slawi. Lokasinya cukup mudah dijumpai, karena hanya sekitar 500 meter dari jalan utama Jalan Raya Slawi – Jatibarang. Makam Syeikh Atas Angin berada di tengah komplek makam Mbah Jaksa. Jadi untuk menuju pintu masuk makam, kita bisa melewati gapura makam Mbah Jaksa dan Masjid Baiturrahman. Ketika melewati jalan setapak (sudah menggunakan paving block), kita akan menemukan makam Mbah Jaksa, seorang tokoh masyarakat yang dahulu merupakan seorang jaksa. Sehingga jalan menuju makam dinamakan Jalan Kejaksan.
Komplek Makam Atas Angin dibagi menjadi 4 halaman. Setiap halaman dibatasi dengan pagar batu bata yang tingginya sekitar 2 m. Berikut detail tiap halaman makam tersebut:
- Halaman pertama dan kedua terdapat makam yang tidak ditehui namanya karena kondisi nisan yang sudah relatif rusak.
- Halaman ketiga berisi beberapa makam Putri Solo dengan Pohon Nagasari. Terdapat gapura bentar.
- Halaman keempat merupakan komplek Makam Syeikh Atas Angin dan pendampingnya serta terdapat lingga dari batu andesit. Terdapat gapura bentar.
Makam Syeikh Atas Angin tidak diberi penutup layaknya makam yang lainnya. Hanya ada cungkup yang dibuat dari daun tebu atau welit. Untuk makamnya sendiri berada di atas kunden setinggi 1 meteran dengan menggunakan batu bata. Makam Syeikh Atas Angin sendiri berada di tengah di antara pendampingnya dan diberi pembatas dengan ukiran kayu yang terlihat masih baru. Di depan makamnya sendiri terdapat lingga setinggi sekitar 0,5 meter. Warga sekitar menyebutnya dengan nama Batu Kalbut.
Makam Syeikh Atas Angin ini bisa juga disebut Candi Pedagangan atau ada yang menyebutnya Candi Bulus. Komplek ini ditemukan sekitar bulan Oktober tahun 2005 oleh warga sekitar dalam keadaan tertutup dengan tanah. Namun sebelumnya pada tahun 1960, bangunan candi tersebut masih utuh. Namun sekitar tahun 1965 candi tersebut dirusak.
Makam Mbah Panggung
Foto nahdlatululama.id |
Mbah Panggung atau Sayyid Syarif Abdurrahman, salah satu tokoh yang tidak pernah lepas dari bahasan sejarah Tegal. Di mana ada literatur yang membahas mengenai sejarah Tegal, Mbah Panggung sosoknya hampir tidak pernah terlewatkan. Di Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal teradapat entah makam atau petilasan dari Mbah Panggung, namun warga sekitar meyakini bahwa di tempat tersebut merupakan makam Mbah Panggung.
Adapun Mbah Panggung itu sendiri merupakan salah satu wali yang hanya dikenal di daerah Tegal saja, dan masih mempunyai hubungan dengan Wali Songo. Dikisahkan Mbah Panggung sendiri hidup di masa sekitar tahun 1812-an di Sawojajar (tepi pantai barat Sungai Pemali) (Su'ud, 2003). Beliau merupakan ulama yang menurut sejarah, Mbah Panggung pernah berguru kepada Syeikh Siti Jenar.
Ada banyak versi mengenai asal-usul dari Mbah Panggung sendiri. Namun yang menjadi ingatan masyarakat, Mbah Panggung sendiri merupakan salah satu ulama penting di Tegal yang memiliki dua hewan peliharaan Iman dan Taukhid (Tokid) yang selalu menemani majikannya kemana saja. Selain itu, karya Mbah Panggung yang terkenal adalah Suluk Marang Sumirang yang dibuat saat beliau dihukum oleh para Wali.
Makam Mbah Panggung berada di tengah pemakaman umum. Pada gerbang utama makam terdapat beberapa tulisan Arab. Makam tersebut dikelilingi dengan tembok batu bata yang tingginya sekitar 1 meter. Di dalam areal itupun masih terdapat makam. Untuk menuju makam Mbah Panggung, kita akan melewati lorong panjang dengan keramik berwarna hitam putih bersilangan, mirip papan catur. Makam Mbah Panggung menggunakan cungkup sederhana dan dikelilingi oleh pintu-pintu kayu bercat coklat.
Setiap tahunnya pada bulan Sya'ban atau Ruwah diadakan acara khaul Mbah Panggung. Acara khaul ini diadakan mulai tahun 2000 yang berfungsi untuk mengenang jasa-jasa beliau. Lokasi diadakannya khaul adalah di Masjid Panggung, Jl. KH Mukhlas yang berdekatan dengan Pemakaman Panggung. Acara khaul ini didatangi ramai para peziarah, selain warga sekitar, ada pula yang rela datang jauh-jauh untuk menghadiri khaul tersebut.
Sumber : wisatategal