Al-Habib Ali bin Husein al-Atthas atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Bungur lahir di Huraidhah, Hadhramaut, 1 Muharram 1309 H atau sekitar 1891 M. Beliau hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama dan menjunjung tinggi tradisi para shalafunassalihin dari kalangan Ba'alawi. Pendidikan pertama kali Beliau dapatkan dari kedua orangtuanya. Saat usia 6 tahun telah hafal 30 Juzz Al-Qur'an di tangan Ibundanya, dan pada usia 12 tahun sudah hafal Kitab Shahih Bukhari dan Muslim serta kitab-kitab lain seperti : Minhaj, Bahjah, Tuhfah dan Fatawa Qubro. Semenjak usia 6 tahun beliau belajar berbagai ilmu keislaman pada para ulama dan 'auliya yang hidup di Hadhramaut saat itu.
Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 21 tahun, Habib Ali pun menunaikan ibadah haji di Makkah, serta berziarah ke makam datuknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. Habib Ali menetap selama lima tahun di Makkah, yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama, yang berada di Hijaz. Pada tahun 1917, beliau kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu, selama tiga tahun..
Pada 1920, dalam usia 29 tahun, Habib Ali berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Beliau mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Ia dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat. Setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, di antaranya :
Semasa hidupnya, Habib Ali tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesarnya adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib al-Quthub al-Habib Sholeh bin Abdullah al-Atthas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadhramaut yang pernah beliau jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadhramaut, hingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia dan juga buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah.
Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan madzhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai madzhab, Habib Ali al-Atthas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya.
Al-Habib Ali bin Husin al-Atthas semasa hidupnya tak pernah berhenti memberikan pengajaran kepada Muslimin. Dengan jubah dan serban serta selempang hijau (radi), Habib Ali Cikini selalu naik becak atau kendaraan umum, karena sikap beliau yang ingin berdiri di atas kaki sendiri. Sering di antara murid-muridnya memaksa beliau untuk menaiki mobilnya karena becak telah sukar dan melihat umur Habib Ali sudah lanjut. Haji Abu Bakar Aceh, anggota MPR, secara tepat menyatakan bahwa almarhum Habib Ali bin Husin al-Atthas telah memanifestasikan sikap hidup keluarga Ahlil Bait, yakni menunjukkan sikap kerakyatan, tidak berlebihan dan dicintai Rakyat semuanya.
Sekitar tahun 1940 Jakarta atau dulu disebut Betawi punya banyak tokoh ulama dan pejuang dan yang paling menjadi panutan dan memiliki banyak murid yang tersebar di tanah air adalah Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi (Habib Ali Kwitang), Habib Ali bin Husen al-Atthas dan Habib Salim bin Jindan. Tiga Serangkai (triumvirat) Ulama tersebut yang dengan gencar memperjuangkan syiar-syiar agama Ijlam. Habib Salim bin Jindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein al-Atthas dan Al-Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarenakan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu.
Al-Habib Ali bin Husin al-Atthas wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....
Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 21 tahun, Habib Ali pun menunaikan ibadah haji di Makkah, serta berziarah ke makam datuknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. Habib Ali menetap selama lima tahun di Makkah, yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama, yang berada di Hijaz. Pada tahun 1917, beliau kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu, selama tiga tahun..
Pada 1920, dalam usia 29 tahun, Habib Ali berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Beliau mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Ia dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat. Setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, di antaranya :
- Al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas (Empang-Bogor)
- Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Atthas (Pekalongan)
- Al-Habib Muhammad bin Idrus Aa-Habsyi (Surabaya)
- Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (Bondowoso)
Semasa hidupnya, Habib Ali tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesarnya adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib al-Quthub al-Habib Sholeh bin Abdullah al-Atthas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadhramaut yang pernah beliau jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadhramaut, hingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia dan juga buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah.
Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan madzhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai madzhab, Habib Ali al-Atthas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya.
Al-Habib Ali bin Husin al-Atthas semasa hidupnya tak pernah berhenti memberikan pengajaran kepada Muslimin. Dengan jubah dan serban serta selempang hijau (radi), Habib Ali Cikini selalu naik becak atau kendaraan umum, karena sikap beliau yang ingin berdiri di atas kaki sendiri. Sering di antara murid-muridnya memaksa beliau untuk menaiki mobilnya karena becak telah sukar dan melihat umur Habib Ali sudah lanjut. Haji Abu Bakar Aceh, anggota MPR, secara tepat menyatakan bahwa almarhum Habib Ali bin Husin al-Atthas telah memanifestasikan sikap hidup keluarga Ahlil Bait, yakni menunjukkan sikap kerakyatan, tidak berlebihan dan dicintai Rakyat semuanya.
Sekitar tahun 1940 Jakarta atau dulu disebut Betawi punya banyak tokoh ulama dan pejuang dan yang paling menjadi panutan dan memiliki banyak murid yang tersebar di tanah air adalah Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi (Habib Ali Kwitang), Habib Ali bin Husen al-Atthas dan Habib Salim bin Jindan. Tiga Serangkai (triumvirat) Ulama tersebut yang dengan gencar memperjuangkan syiar-syiar agama Ijlam. Habib Salim bin Jindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein al-Atthas dan Al-Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarenakan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu.
Al-Habib Ali bin Husin al-Atthas wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....