Asy-Syaikh Muhammad Arsyad bin 'Abdullāh bin 'Abdurraḥman al-Banjarī atau yang biasa disebut Datuk Kalampayan lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada tanggal 15 Shafar 1122 H/19 Maret 1710 M. Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula akhlak budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Di antara kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau.
Pada bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Syeikh Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar. Bahkan, Sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
Sultan Tahmidullah II sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syeikh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama".
Kitab Sabilal Muhtadin menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tetapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
Selain Kitab Sabilal Muhtadin, Syeikh Muhammad Arsyad telah menulis beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, beliau juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Asy-Syaikh Muhammad Arsyad wafat pada bulan Syawwal, bertepatan pada tanggal 13 Oktober 1812 M pada usia 102 tahun. Beliau wafat di daerah Kesultanan Banjar dan dimakamkan di Kalampayan, Martapura, Kalimantan Selatan. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....
Pada saat Sultan Tahlilullah sedang berkunjung ke kampung Lok Gabang, Sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat kepada yang lebih tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena Sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim. Ia mendapat pendidikan penuh di istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita.
Maka, setelah mendapat restu dari Sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian do'a mengiringi kepergiannya. Segala perbelanjaannya ditanggung oleh Sultan.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syeikh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syeikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syeikh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syeikh Ahmad bin Abdul Mun'im ad-Damanhuri, Syeikh Muhammad Murtadha bin Muhammad az-Zabidi, Syeikh Hasan bin Ahmad al-Yamani, Syeikh Salm bin Abdullah al-Basri, Syeikh Shiddiq bin Umar Khan, Syeikh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawy, Syeikh Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghrabi, Syeikh Abdurrahamn bin Sulaiman al-Ahdal, Syeikh Abdurrahman bin Abdul Mubin al-Fathani, Syeikh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syeikh Abis as-Sandi, Syeikh Abdul Wahab ath-Thantawy, Syeikh Abdullah Mirghani, Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Jauhari, dan Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syeikh Abdussamad al-Falimbani, Syeikh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu).
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syeikh menyarankan agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya masing-masing.
Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka-sangka Syeikh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung beliau yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak beliau yaitu Fatimah sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepadanya. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syeikh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran untuk memperisteri anak beliau. Setelah berpikir lama, Syeikh Muhammad Arsyad memutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syeikh Abdul Wahab Bugis yang diterima.
Untuk itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan antara Syeikh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syeikh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syeikh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.
Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang, kampung halaman Syeikh Abdussamad al-Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syeikh Abdurrahman Misri.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita.
Maka, setelah mendapat restu dari Sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian do'a mengiringi kepergiannya. Segala perbelanjaannya ditanggung oleh Sultan.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syeikh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syeikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syeikh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syeikh Ahmad bin Abdul Mun'im ad-Damanhuri, Syeikh Muhammad Murtadha bin Muhammad az-Zabidi, Syeikh Hasan bin Ahmad al-Yamani, Syeikh Salm bin Abdullah al-Basri, Syeikh Shiddiq bin Umar Khan, Syeikh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawy, Syeikh Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghrabi, Syeikh Abdurrahamn bin Sulaiman al-Ahdal, Syeikh Abdurrahman bin Abdul Mubin al-Fathani, Syeikh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syeikh Abis as-Sandi, Syeikh Abdul Wahab ath-Thantawy, Syeikh Abdullah Mirghani, Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Jauhari, dan Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syeikh Abdussamad al-Falimbani, Syeikh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu).
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syeikh menyarankan agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya masing-masing.
Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka-sangka Syeikh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung beliau yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak beliau yaitu Fatimah sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepadanya. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syeikh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran untuk memperisteri anak beliau. Setelah berpikir lama, Syeikh Muhammad Arsyad memutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syeikh Abdul Wahab Bugis yang diterima.
Untuk itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan antara Syeikh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syeikh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syeikh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.
Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang, kampung halaman Syeikh Abdussamad al-Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syeikh Abdurrahman Misri.
Selama di Betawi, Syeikh Muhammad Arsyad diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syeikh Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara Arab Melayu (tulisan Jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad al-Banjari pada tanggal 4 Shafar 1186 H.
Seelah dirasa cukup, maka Syeikh Muhammad Arsyad dan Syeikh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.
Seelah dirasa cukup, maka Syeikh Muhammad Arsyad dan Syeikh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.
Pada bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Syeikh Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar. Bahkan, Sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
Sultan Tahmidullah II sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syeikh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama".
Kitab Sabilal Muhtadin menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tetapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
Selain Kitab Sabilal Muhtadin, Syeikh Muhammad Arsyad telah menulis beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:
- Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
- Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
- Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
- Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, beliau juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Asy-Syaikh Muhammad Arsyad wafat pada bulan Syawwal, bertepatan pada tanggal 13 Oktober 1812 M pada usia 102 tahun. Beliau wafat di daerah Kesultanan Banjar dan dimakamkan di Kalampayan, Martapura, Kalimantan Selatan. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....