Hikmatul Islam | Nurul Hikmah

  • Adab dan Akhlak
  • Mutiara Hikmah
  • Kisah Hikmah
    • Kisah Hikmah
    • Hikmah Sufi
    • Biografi Ulama
    • Sirah Nabawi
  • Kalam Hikmah
    • Untaian Kalam Hikmah
    • Muhasabah
    • Mahfudzot
    • Tadzkirah
  • Qur'an dan Hadits
    • Nurul Qur'an
    • Mutiara Hadits
  • Do'a dan Shalawat
    • Do'a Harian
    • Shalawat Nabi
    • Lainnya
Home » Archive for August 2017

Masjid Sendang Dhuwur



Masjid Sendang Dhuwur merupakan peninggalan Islam yang banyak mendapat pengaruh kebudayaan Hindu akhir. Hal ini tampak pada pola hias gunungan dan kala. Masjid ini diperkirakan didirikan pada abad ke-16 berdasarkan candrasengkala yang bertuliskan 'Gurhaning Sarira Tirta Hayu' (1483 Saka = 1561 M).

Pendirinya adalah Sunan Sendang atau Sunan Rahmat. Beliau adalah salah seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur. Tahun 1920, masjid Sendang Dhuwur diperbaiki dan pada tahun 1938-1940 dilakukan perbaikan makam. Tahun 1989-1990, Masjid Sendang Dhuwur dipugar secara keseluruhan oleh Proyek Pelestarian Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.

Masjid Sendang Dhuwur terletak di Jl. R Nur Rahmat Sunan Sendang, Desa Sendang Dhuwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Masjid Sendang Dhuwur berbatasan dengan rumah penduduk di sebelah timur. Sedangkan di sebelah barat dan utara berbatasan dengan kompleks makam kuno dan di sebelah selatan dengan pemakaman umum.

Masjid Sendang Dhuwur berbentuk bujur sangkar yang berukuran 23 x 16 m dengan arah hadap ke timur. Bangunan terbuat dari batu bata dan kayu. Ruang utama masjid berukuran 16 x 16 m, yang dibatasi oleh empat dinding dari tembok. Pintu utama terletak di tengah-tengah dinding timur, memiliki dua daun pintu. Pada daun pintu terdapat hiasan bingkai cermin yang diukir dan dicat warna merah, emas, biru dan hijau.

Baca juga : Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia 

Sementara itu, bagian atas pintu terdapat hiasan terawang berbentuk sulur-suluran, bunga teratai, dan mahkota yang dicat warna merah, emas, biru dan hijau. Pintu timur memiliki hiasan terawang berbentuk ukiran-ukiran kayu berupa sulur-suluran dan bunga pada bagian atasnya, tetapi ukir-ukiran ini tidak dicat. Pada kusen bagian atasnya terdapat hiasan pelipit. Jendela ruang utama ada sepuluh dan terbuat dari kayu jati yang dicat hijau. Masing-masing berukuran 2x3 m dan mempunyai dua daun jendela.

Ruang utama Masjid Sendang Dhuwur memiliki 17 buah tiang yaitu sebuah tiang di tengah - tengah dan empat tiang masing - masing di utara, timur, selatan dan barat. Di dalam ruangan utama terdapat mihrab, mimbar, dan maksurah. Mihrab terletak di dinding dan diapit dua pasang pilaster yang masing - masing sisinya dihiasi dengan keramik.

Pilaster bagian luar bersusun dua, sedangkan bagian dalam bersusun tiga. Di antara pilaster bagian luar dengan bagian dalam terdapat hiasan bingkai cermin yang di tengahnya dihiasi motif geometris. Sedangkan mimbarnya memiliki tiga anak tangga. pada ujung anak tangga terdapat tempat duduk dari semen. Tubuh mimbar didukung empat buat pilaster yang pada bagian sudut-sudutnya ditempeli tegel keramik. Atap mimbar berbentuk rata yang ditempeli tegel keramik dan bagian puncaknya terdapat kubah.

Serambi masjid terdapat pada keempat sisi ruang utama yaitu serambi timur, utara, barat dan selatan. Seluruh permukaan lantai serambi dilapis tegal teraso. Pada keempat serambit terdapat 28 tiang berbentuk bulat. pada puncak tiang terdapat hiasan pelipit rata. Antara tiang dihubungkan lengkung penopang atas serambi.

Di dalam sebelah utara masjid Sendang Dhuwur terdapat makam-makan dan gapura. Gapura seluruhnya ada lima buah, yaitu empat gapuran bentar dan sebuah gapura paduraksa yang menarik berbentuk sayap yang sedang mengembang. Selain itu pada bagian atas gapura ini terdapat relief gunungan, kepala kala yang bentuknya disamarkan, tumbuh-tumbuhan, serta motif sulur-suluran.

Baca Selengkapnya »


Newer Posts Older Posts

Setiap Amal Tergantung Niat


رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Rasulullah ﷺ bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Perbuatan manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu niat di dalam hati, ucapan dan tindakan. Setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa. Syaikh Khathabi menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin an-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal.

Walahu a’lam.

Baca Selengkapnya »

Newer Posts Older Posts

Al-Habib Idrus bin Salim al-Jufri


Habib ldrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibukota Seiwun, Hadramaut, pada 15 Sya'ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1892 M. Sayyid Idrus adalah putra keempat dari enam bersaudara, beliau berasal dari keluarga yang baik, berilmu, beramal, bertaqwa dan lemah lembut. Tiada dari kalangan mereka, selain ulama yang muslih dan da’i. Ayahnya, Habib Salim, adalah seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan Mufti di negerinya. Kakeknya, Habib Alwi, adalah pemimpin dan ilmuwan yang masyhur, termasuk lima ahli fiqh Hadramaut yang fatwa mereka termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyid Abdurrahman al-Masyhur. Kakeknya yang kedua, Al-Habib Saqqaf di antara ulama yang terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di Hadramaut. Ibunya, Syarifah Nur al-Jufri (Andi Syarifah Nur), mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Aru Matoa atau Raja yang dituakan di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya, Al-Allamah al-Habib Salim bin Alwi al-Jufri, termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimba ilmu dari sumber yang murni.

Habib Idrus seringkali diajak oleh ayahnya untuk menghadiri lingkaran studi majelis ta'lim di Taris dan Tarim. Pada usia 12 tahun, Habib Idrus mampu menghafal Al-Qur'an dan menguraikan dua ratus ayat dalam hal hukum Islam. Melihat potensi yang dimiliki Habib Idrus, ayah beliau, Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anaknya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib ldrus kemudian mendalami berbagai llmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, tauhid, mantiq, ma'ani, bayan, badi', nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra.

Selain pada ayahnya, Habib ldrus juga berhasil menyelesaikan pendidikan formalnya pada lembaga perguruan tinggi Ar-Rabithul Alawiyah di Taris, dan banyak memiliki karya-karya dalam bentuk syair-syair berbahasa Arab. Pada usianya yang tergolong amat muda, kurang lebih berusia 19 tahun, ia telah menjadi seorang ulama yang terkenal di tanah airnya.

Habib Idrus juga belajar kepada para ulama dan auliya' di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh al-Bahar, Al-Habib ldrus bin Umar al-Habsyi, dan Al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri di Rubath Tarim.

Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib ldrus berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu, Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya berziarah kepada para ulama dan auliya' yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk meminta berkah, do'a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasani di Mekkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut.

Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan tahun 1916, ayahnya wafat. Habib Idrus kemudian memimpin lembaga pendidikan yang didirikan oleh ayahandanya. Dan pada tahun itu pula Habib ldrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, untuk menggantikan posisi ayahnya, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun. Amanah dan pencapaian itu mengisyaratkan bahwa beliau adalah orang yang berilmu pengetahuan luas dan berwibawa. Walau jabatan sudah di tangan, Habib Idrus muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis terhadap lingkungan sosial di negerinya. Bahkan, ia rela melepas jabatan mufti ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia. Perjalanannya yang kedua di tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris.

Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun. Habib Salim membawa Habib ldrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya, Syarifah Nur aI-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib ldrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib ldrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Setibanya di Hadramaut, Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Dan kemudian menikah dengan Syarifah Bahiyah dan dikaruniai tiga orang putra dan putri, yaitu Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.

Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan lnggris. Beliau bersama sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assaqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan sekutunya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan sekutunya dan mereka adalah orang yang pertama kali menghidupkan api tersebut.

Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk mengubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total. Dengan mengemban tugas politik yang sangat berbahaya itu, Maka Habib Idrus menyusun suatu rencana untuk tujuan menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab  dan dunia secara keseluruhan dengan cara keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir. Beliau menyadari risiko yang dapat mengancam jiwanya, karena intelijen negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya terhadap langkah yang akan ditempuh nya akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan. Rencana dan segala perlengkapan yang telah disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut, hampir membuahkan hasil jika tidak dibocorkan rahasianya oleh pengkhianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi. Beliau ditangkap tiba-tiba setelah sampai di pelabuhan Aden, kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintahan Inggris untuk keluar dari pelabuhan Aden untuk tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia, sedangkan sahabatnya, Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah Assagaf, memilih kembali ke Mekkah.

Dalam buku Perguruan Islam Al-Khairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Al-Khairaat disebutkan bahwa Indonesia bukan negeri asing dan baru bagi Sayyid Idrus, Ia pertama kali datang ke negeri ini pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi, Kunjungan keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang keras terhadap imprealisme Inggris di negerinya, pilihan ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.

Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya, Syarifah Aminah binti Thalib al-Jufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan. Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu' dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu' kemudian menikah dengan Sayyid Seggaf bin Syekh al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr. H. Salim Seggaf al-Jufri, Menteri Sosial Indonesia ke-26 dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman periode 2005-2009. Habib Idrus kemudian meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo.

Di Solo, dengan dibantu oleh Sayyid Ahmad bin Muhammad (mantan muridnya di Hadramaut) yang sudah lama mukim di Solo, mewujudkan niatnya untuk mendirikan madrasah yang diberi nama “Perguruan Ar-Rabithah Alawiyah". Beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah.

Pada tahun 1926, beliau pindah ke kota Jombang. Habib Idrus berkenalan dengan beberapa tokoh Islam di antaranya KH. Hasjim Asy'ari pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU) di Jombang yang juga pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng. Pertemuan kedua tokoh ini menjalin persahabatan yang sangat baik, karena keduanya sama-sama pimpinan agama, terutama karena keduanya mempunyai ikatan pemahaman yang sama yakni sebagai penganut paham Imam Syafi’i (Ahlussunnah wal-Jama'ah).

Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah. Antara lain di Maluku dan menetap untuk beberapa bulan lamanya sambil melakukan lawatan dan dakwah bebeberapa wilayah kecamatan seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda, Kayoa dan sebagainya, selanjutnya ke Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Irian Barat. Beliau kemudian berlayar menuju Manado, atas ajakan kakak beliau, Habib Alwi bin Salim al-Jufri yang berada di Manado. Ketika kapalnya singgah bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929, Habib ldrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syeikh Nasar bin Khams al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.

Setibanya di Manado, Habib ldrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat Arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat Arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib ldrus yang akan mengusahakannya.

Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa penjajahan Belanda, setelah mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani yakni Ibrahim bin Zain, Sayyid Muhammad bin Muhsin Rifai dan Sayyid Ahmad bin Ali al-Muhdhar di Wani Kecamatan Tawaeli. Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik, menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (depan Masjid Jami' Kampung Baru).

Rupanya di Palu inilah memberikan inspirasi yang kuat untuk tinggal dan menetap dalam rangka melakukan dakwahnya setelah menyaksikan keadaan masyarakat yang masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam. Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin pendirian madrasah karena dianggap bisa memengaruhi pemikiran rakyat saat itu, sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di Tolitoli. Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30 km dari Wani. Madrasah tersebut bernama Al-Khairaat..Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus perizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu. Kepindahan perguruan Al-Khairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari pengawasan Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda dikabarkan juga sempat melarang Perguruan Al-Khariraat karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa al-Ghalayani.

Salah satu strategi yang digunakan agar cepat diterima masyarakat Palu, Sayyid Idrus menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat, Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Yayasan Al-Khairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Intje Ami Dg.Sute. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri, Syarifah Sidah al-Jufri dan Syarifah Sa’diyah al-Jufri.

Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid beliau yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustadz Abdullah Awadh Abdun, yang hijrah dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang.

Tahun 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah, selama delapan bulan ia meminum jus kurma. Walaupun dalam keadaan sakit, ia tetap menjalankan majelis mengajar setiap waktu. Masih dalam suasana ldul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib ldrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari Senin, 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib ldrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kendaraan lainnya bahkan dengan berjalan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.

Hingga akhir hayatnya, Sayyid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu.

Semoga  rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....

Sumber: wikipedia.org

Baca Selengkapnya »




Newer Posts Older Posts

Manakib Habib Ali Kwitang


Al-Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad (Shohib Syi’ib) Al-Habsyi adalah putera dari Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi. Ayah beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi lama sekali tidak memperoleh seorang putera pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya. Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman segera menemui Al-Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya.

Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awwal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman al-Habsyi.

Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke rahmatullah ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.

Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali al-Habsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali al-Habsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.

Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.

Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya’. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.

Di antara guru-guru beliau yang banyak memberikan pelajaran dan mendidik beliau selama di Hadramaut ialah berguru kepada para ulama dan auliya’, diantaranya :
  1. Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi
  2. Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas
  3. Al-Habib Hasan bin Ahmad al-'Aydrus
  4. Al-Habib Zein bin Alwi Ba’bud
  5. Asy-Syeikh Hasan bin Awadh bin Mukhaddam

Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan pelajaran di Tanah Suci Makkah, di bawah didikan ulama-ulama besar di sana, diantaranya Mufti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin al-Habsyi, Sayyid Bakri Sa’ta, Asy-Syeikh Muhammad Said Babsail, Asy-Syeikh Umar Hamdan dan lain-lain.

Selain itu Al-Habib Ali menghadiri majelis ilmu Al-Habib Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur mufti Al-Diyar Al-Hadramiyah, Al-Habib Umar bin Idrus bin Alwi al-'Aydrus serta Al-Habib Alwi bin Abdurahman al-Masyhur. Pada tahun 1300 H. menghadiri majelis Maulid yang diselenggarakan oleh Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Pada saat itu hadir pula Al-Habib al-Quthub Ahmad bin Muhammad al-Muhdhor beserta anak-anaknya.

Berkat do'a ibu dan ayah beliau, juga berkat doa para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau Rasullulloh shallallahu 'alaihi wasallam, dalam masa 6,5 tahun belajar di luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu Islam yang murni, luas dan mendalam yang dibawanya kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1303 H, Al-Habib Ali pulang ke tanah air setelah bermukim selama 6 tahun. Ketika berada di Indonesia, umur beliau 16 tahun dan melanjutkan belajar kepada :
  1. Al-Habib Usman bin Abdullah bin Yahya
  2. KH.Abdul Hamid, Jatinegara
  3. KH.Mujtaba bin Ahmad, Jatinegara
  4. Al-Habib Muhammad bin Alwi al-Shulaibiyah al-'Aydrus
  5. Al-Habib Salim bin Abdurahman al-Jufri
  6. Al-Habib Husin bin Muchsin al-Atthas
  7. Al-Habib Abdullah bin Muchsin al-Atthas, Bogor
  8. Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Atthas, Pekalongan
  9. Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Bondowoso
  10. Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi
  11. Al-Habib Ahmad bin Muchsin al-Hadar, Bangil

Dan mulailah beliau menjalankan dakwahnya, mengajak umat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam yang suci dengan dasar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.

Selain di pengajian tetap di majlis ta’lim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung. Selain itu Al-Habib Ali al-Habsyi juga berdakwah ke Singapura dan Malaysia.

Beliau selain ahli dalam menyampaikan dakwah ilallah, beliau juga terkenal dengan akhlaknya yang tinggi, baik terhadap kawan maupun terhadap orang yang tidak suka kepadanya. Semuanya dihadapinya dengan ramah-tamah dan sopan santun yang tinggi. Terlebih lagi khidmat beliau terhadap ibunya adalah sangat luar biasa. Dalam melakukan rasa bakti kepada ibunya sedemikian ikhlas dan tawadhu’nya, sehingga tidak pernah beliau membantah perintah ibunya. Biarpun beliau sedang berada di tempat yang jauh, misalnya sewaktu beliau sedang berdakwah di Surabaya ataupun di Singapura, bila beliau menerima telegram panggilan dari ibunya, segera beliau pulang secepat-cepatnya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan ibunya tersebut.

Maka tidak heran apabila ilmu beliau sangat berkat, dan dakwah beliau dimana-mana mendapat sambutan yang menggembirakan. Setiap orang yang jumpa dengan beliau, apalagi sampai mendengarkan pidatonya, pastilah akan tertarik. Terutama di saat beliau mentalqinkan dzikir atau membaca shalawat dengan suara mengharukan, disertai tetesan air mata, maka segenap yang hadir turut meneteskan air mata. Dan yang demikian itu tidak mungkin jika tidak dikarenakan keluar dari hati yang ikhlas, hati yang disinari oleh nur iman dan nur mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.

Harumnya nama Al-Habib Ali menjadi pembicaraan ramai. Kemasyhurannya tersebut sampai dibuatkan syair oleh beberapa pujangga di antaranya : Al-Habib Muhamnmad al-Muhdor, Sayyid Ahmad Assaqaf, Syeikh Fadhil Irfan, Sholeh bin Ali al-Hamid, Toha bin Abu Bakar Assaqaf dan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani pun memasukkan nama Habib Ali dalam kitabnya yang bernama Jami’ Karamat Al-Auliya juz 2 halaman 362.

Beliau berpulang ke rahmatullah pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta, dalam usia 102 tahun menurut Hijriyah atau usia 98 tahun menurut perhitungan Masehi.

Semoga  rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....

Sumber: habibkwitang.wordpress.com

Baca Selengkapnya »




Newer Posts Older Posts

Berderma Di Pagi Hari


Sedekah pagi hari, mendapatkan do'a malaikat



Baca Selengkapnya »


Newer Posts Older Posts

Obat 99 Penyakit


Keutamaan la haula wala quwwata illa billah,
keutamaan hauqolah, Obat 99 penyakit



Baca Selengkapnya »


Newer Posts Older Posts

Masjid Agung Al-Baitul Qadim



Masjid Agung Al-Baitul Qadim Air Mata yang terletak di Jalan Trikora No.32 Kota Kupang, merupakan masjid pertama dan tertua di Pulau Timor bagian barat Nusa Tenggara Timur (NTT).

Masjid ini dilukiskan sebagai simbol pemersatu antarumat beragama di Kota Kupang dan sekitarnya, karena dibangun bersama umat Nasrani yang hidup dan menetap di Kampung Air Mata.

Masjid Agung Al-Baitul Qadim tidak hanya tercatat sebagai simbol pemersatu, tetapi juga menjadi potret sejarah masuknya agama Islam pertama di Pulau Timor.

Menurut sejumlah sumber pustaka, masjid yang berusia sekitar 207 tahun itu dibangun di atas tanah hibah Sya`ban bin Sanga Kala pada 1806 bersama dengan Kyai Arsyad (tokoh pergerakan Banten yang dibuang Belanda ke Kupang) dibantu umat Kristiani yang ada di sekitar kampung Air Mata Kupang.

Masjid Al-Baitul Qadim merupakan masjid pertama dan tertua di Pulau Timor, dan dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam pada saat itu hingga sampai ke Timor Portugis (Timor Leste sekarang).

Sya`ban bin Sanga Kala merupakan warga muslim pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Timor dalam pelayarannya dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur. Ia berasal dari Mananga, sebuah perkampungan sunyi di Pulau Solor bagian barat.

Baca juga : Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia 

Peneliti masuknya agama Islam di NTT Munandjar Widiyatmika mengatakan Islam masuk pertama kali di NTT mulai dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur pada abad ke-15 oleh para pedagang yang juga ulama dari Palembang Syahbudin bin Salman al-Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga.

Hampir enam tahun lamanya (1806-1812) masjid agung tersebut baru selesai dibangun. Pada 1984, imam masjid turunan ketujuh Birando bin Taher mulai melakukan pemugaran atas masjid bersejarah itu guna melestarikan keberadaannya sebagai pusat penyebaran Islam di Pulau Timor.

Imam Birando bin Taher mengatakan Masjid Agung Air Mata bukanlah masjid pertama kali dibangun di Kupang. Sebelumnya sudah dua kali masjid dibangun oleh Kyai Arsyad, namun diberangus oleh penjajah Belanda.

Kyai Arsyad tinggal di Oeba dan mendirikan sebuah masjid di pantai utara Kupang itu. Namun, digusur oleh Belanda dengan dalih akan dijadikan kompleks perumahan pejabat.

Kyai Arsyad dan pengikutnya kemudian bergeser ke Fontein di selatan Kupang dan mendirikan masjid di sana. Tapi Belanda kembali menggusurnya dengan alasan akan mendirikan perkantoran.

Kantor Bupati Kupang yang terletak di Jalan Ir Soekarno Kupang diyakini sebagai lokasi berdirinya masjid yang dibangun oleh Kyai Arsyad.

Kyai Arsyad bersama para pengikutnya kemudian bergeser ke Air Mata dan akhirnya mendirikan Masjid Agung Baitul Al-Qadim (rumah pertama) di atas tanah wakaf yang dihibahkan Sya`ban bin Sanga. Masjid itu tetap berdiri tegak sampai Belanda angkat kaki dari bumi Nusantara.

Masjid Agung Al-Baitul Qadim telah menurunkan tujuh orang imam kepala, di antaranya Birando bin Syaban, Ali bin Birando, Djamaludin, Abdul Gani, Tahin bin Ali Birando dan Birando bin Tahir.

Baca juga : Masjid Kuno Bayan Beleq, Masjid Tertua di Pulau Lombok 

Masjid tersebut dibangun dengan perpaduan seni arsitektur Jawa dan Cina dengan muatan unsur budaya Flores Timur dan Arab sebagai simbol perlawanan warga Air Mata terhadap koloni Belanda dan Jepang pada masa itu.

Di Kelurahan Air Mata inilah tempat pemukiman muslim pertama di Kota Kupang. Air Mata memiliki dua makna, yakni timbulnya mata air yang jernih kemudian mengalir membelah Kota Kupang, dan makna berikutnya adalah di tempat tersebut banyak air mata yang tumpah akibat kekejaman penjajah.

Ada beberapa ulama yang ditangkap dan diasingkan oleh kompeni Belanda hingga mereka wafat dan dimakamkan di pekuburan Batukadera, antara lain Kyai Arsyad asal Banten, Dipati Amir bin Bahren asal Bangka Belitung, Panglima Hamzah (Cing) bin Bahren juga dari Bangka Belitung, dan Sultan Dompu Muhamad Sirajudin dari Bima.

Di perkuburan tersebut terdapat pula makam Habib Abdurrahman bin Abu Bakar al-Gadri (wafat tahun 1899), salah seorang penyebar agama Islam di Kupang. Makam para ulama itu terletak berdekatan dalam kompleks perkuburan umum Islam Batukadera di Kelurahan Air Mata.

Air Mata adalah perkampungan muslim pertama di Pulau Timor, dan Masjid Agung Al-Baitul Qadim menjadi saksi bisu sejarah akan perjuangan dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Timor.

Kampung Air Mata ini dibangun atas prakasa Belanda di atas tanah milik Raja Taebenu. Pemberian lahan tersebut sebagai salah satu bentuk ucapan terimakasih Raja Taebenu atas keberhasilan Sultan Badarruddin dan rakyatnya dalam mengusir Portugis dari tanah Timor Barat atau Timor Loromonu dan menjadikan Portugis hanya menguasai Timor Leste.

Sumber : serambiummah

Baca Selengkapnya »


Newer Posts Older Posts

KH. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin (Abah Anom)


KH. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin atau yang terkenal dengan nama Abah Anom dilahirkan di Kampung Godebah, Suryalaya, Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, 1 Januari 1915. Ia adalah putra kelima Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dan dari ibu yang bernama Hajjah Juhriyah.

Ia mulai menimba pendidikan formalnya pada tahun 1923 hingga 1928 di sebuah sekolah buatan Belanda, Verfolg School di Ciamis, Jawa Barat. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacam Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya.

Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Ia belajar ilmu fiqih dari seorang Kiai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kiai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur.

Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, ia melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Mama Ajengan Ahmad Syathibi. Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi.

Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren.

Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai ilmu keislaman saat berumur 18 tahun. Didukung ketertarikan pada dunia pesantren, ayahnya yang sesepuh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) mengajarinya dzikir tarekat. Sehingga ia menjadi wakil "talqin" Abah Sepuh pada usia relatif muda. Sejak itulah, ia lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom.

Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.

Setelah menginjak usia 23 tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Selama tujuh bulan di Makkah, ia banyak melakukan perjalanan spiritual, termasuk belajar dari Syaikh Romli yang memiliki majelis diskusi tasawuf (ribath naqsyabandi) yang terletak di Jabbal Qubais.

Dua kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani; Sirr Al-Asrar dan Ghunyah at-Thalibin, pun habis dilahapnya, begitu juga dengan kitab tasawuf lainnya. Perjalanan panjang itu memberinya pengalaman dan pengetahuan dalam berbagai bidang, meliputi tafsir, haids, fiqih, kalam (teologi), dan tasawuf.

Sekembalinya dari Tanah Suci, Abah Anom mengembangkan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), hingga menjadi tarekat dengan jumlah pengikut paling banyak di Nusantara. Tarekat ini pun tersebar di berbagai pulau, bukan hanya di Jawa, tapi juga di Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke luar negeri, seperti di Singapura, Malaysia, Brunei, Amerika, Jepang, Jerman, Australia, Belanda dan negeri lainnya.

Abah Anom sendiri resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di pesantren sejak tahun 1950. Ia menjadi tulang punggung pengembangan pesantren Suryalaya tatkala ayahandanya, Abah Sepuh, wafat pada 1956. Ia menggantikan peran ayahnya untuk mengajar santri dan menjadi rujukan masyarakat.

Pada masa awal kepemimpinannya, Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII karena menjadi salah satu pesantren yang menentang pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Pesantren ini mengganggap DI/TII bukanlah hasil kesepakatan umat Islam, dan hanya menggunakan Islam sebagai bendera saja serta akan menyengsarakan umat.

Tak sampai disitu, pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.

Banyak ulama tarekat yang mengagumi beliau. Sayyid Muhammad bin Alaway bin Abbas al-Maliki, ulama Suni terkemuka di Makkah mengungkapkan, Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. (Abah Anom) adalah Sulthon Awliya fi Hadza Zaman. Bahkan Syaikh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani, sufi kenamaan dari Cyprus, menyebut Pangersa Abah Anom sebagai Sufi Agung di Timur Jauh.

Penyebutan terhadap Pangersa Abah Anom sebagai Sufi Agung di Timur Jauh bukan tanpa alasan. Sudah ratusan bahkan ribuan orang yang datang untuk ditalqin dan menjadi murid beliau dari seluruh Indonesia dan dari manca negara.

Abah Anom wafat di usia 96 tahun pada Senin siang sekira pukul 11.50 WIB di Tasikmalaya Medical Centre. Selain meninggalkan meninggalkan seorang istri dan 16 orang anak, warisan ilmu, amal dan inabahnya terus mengalir menjadi amal baiknya.

Baca Selengkapnya »



Newer Posts Older Posts

Sibuk Shalawat Hajat Tercapai




Simak juga : Shalawat Kepada Nabi Adalah Wajib 


Baca Selengkapnya »


Newer Posts Older Posts
Subscribe to: Comments (Atom)

Adnow Ads

loading...

Post Terbaru

Translate

SAYANGI YANG ADA DI BUMI, ENGKAU DISAYANGI PENDUDUK LANGIT

قال رسول الله  ﷺ : مَنْ لَا يَرْحَمْ مَنْ فِي الْاَرْضِ لَا يَرْحَمْهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ –الطبراني Rasulullah ﷺ telah bersabda, ”Ba...


Daftar Pondok Pesantren
se-Indonesia


Subscribe To

Posts
Atom
Posts
All Comments
Atom
All Comments

Sparkline


guest counter
Flag Counter

Adnow1

loading...

Jadwal Waktu Shalat dan Imsyakiyah



Silahkan Pilih Kota untuk melihat Jadwal Waktu Shalat
di Kota Anda.


Post Populer

  • SHALAWAT TIBBIL QULUB
    اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا . وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا . وَنُوْرِ اْلأَبْصَ...
  • Risalah Awwal - Pon Pes Attauhidiyyah
    FAS-ALUU AHLADZ- DZIKRI INKUNTUM LAA TA'LAMUUN Bismillaahirrohmaanirrohiim.... Alhamdulillaahilladzii ja'ala lanaal iimaana wal is...
  • Terjemah Al-Akhlaq lil Banin Juz 1
    ★ ﺑﻤﺎﺫﺍ ﻳﻨﺨﻠﻖ ﺍﻟﻮﻟﺪ؟ ★  ﻳﺠﺐ ﻋﻠﮯ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﺨﻠﻖ ﺑﺎﻼﺧﻼﻕ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﺻﻐﺮﻩ، ﻟﻴﻌﻴﺶ ﻣﺤﺒﻮﺑﺎ ﻓﻲ ﻛﺒﺮﻩ: ﻳﺮﺿﮯ ﻋﻨﻪ ﺭﺑﻪ، ﻭﻳﺤﺒﻪ ﺃﻫﻠﻪ، ﻭﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴ...
  • JADILAH ORANG 'ALIM
    قَالَ النَّبِيُّ  ﷺ  كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتَهْلِكَ . رواه بيهقى Nabi...
  • Nadham Aqidatul Awam
    Aqidatul Awam adalah salah satu kitab yang membahas tentang tauhid karya ulama besar dan waliyullah Syeikh Sayyid Ahmad al-Marzuqi al-Mali...

Post Lainnya




Cari Post Lainnya

Kategori

Adab dan Akhlak Aqidah Aswaja Bicara Hidayah Biografi Ulama Bulughul Maram Cahaya Raudhah Do'a Harian Do'a Para Nabi Dalam Al-Qur'an Do'a dan Shalawat Fathul Qarib Fiqih HNA Habaib Habib Abubakar Assegaf Hadits Qudsi Hikmah Sufi Hujjah Aswaja Kajian Fiqih Kajian Tafsir Al-Qur'an Kisah Hikmah Kiswah TV Mahfudzot Masjid Nusantara Mutiara Hadits Mutiara Hikmah Nabi dan Rasul Nisfu Sya'ban Nurul Qur'an Pesan Sahabat Puasa Ramadhan Serba Serbi Shalat Tarawih Shalawat Nabi Sirah Nabawi Tadabbur Daily Tadzkirah Tafsir Qur'an Terjemah Ta'lim Muta'alim Terjemahan Matan kitab Safinatun Najah USWAH (Meneladani Para Pendahulu) Ulama Nusantara Ummul Mukminin Untaian Kalam Hikmah Video Wisata Religi Ziarah Wali

Blog Archive

Report Abuse