Sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah ﷺ bersama sahabat-sahabatnya serta kaum Muslimin melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-bulan Qomariyah.
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad-Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh (dihapus) dengan disyari’atkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan.” (Tafsir Qur’an Al-Azhim Libni Katsir, 1/497)
Selain itu, mereka juga berpuasa tanggal 10 Muharam (puasa hari Asyura). Tentang perintah Rasulullah ﷺ untuk berpuasa Asyura, menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah sesudah beliau ﷺ tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah. Yang mana Rasulullah ﷺ tiba di kota itu pada Rabi’ul Awwal.
Kemudian, pada bulan Sya’ban tahun kedua hijrah atau tahun ke-15 Kenabian, turunlah wahyu Allah yang berisi perintah kepada umat Islam akan diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan. Ketika itu, Nabi Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah. Sehingga puasa Asyura hanya satu kali dilaksanakan sebagai puasa wajib. Sejak saat itu puasa Asyura’ dan puasa 3 hari tiap-tiap bulan menjadi sesuatu yang sunnah bagi kaum Muslimin.
Di dalamTarikh Thabari (Jil.2, hlm. 417) disebutkan bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan telah diumumkan sejak bulan Sya’ban pada tahun tersebut. Begitu pula satu atau dua hari sebelum ‘Iedul Fitri pada tahun itu Nabi ﷺ memerintahkan para sahabat untuk mengeluarkan zakat fitrah. Dan pada hari ‘Ied, Nabi dan para sahabat keluar untuk mengerjakan shalat ‘Ied. Ketika itulah hal-hal tersebut dilakukan untuk pertama kalinya di tengah kaum Muslimin di Madinah. Pada bulan itu juga, kurang lebih pada tanggal 17 Ramadhan, kaum Muslimin berperang menghadapi musyrikin Makkah di Badr. Allah memberi mereka kemenangan besar di Badr, sehingga mereka menyambut Hari Raya ‘Iedul Fitri pada tahun itu dengan dua kemenangan. Menurut Ibn Katsir di dalam kitab tarikh-nya, Al-Bidayah wal-Nihayah (Jil. 5, hlm. 54), zakat atas harta yang telah jatuh nishab-nya juga ditetapkan pada tahun ke-2 ini.
Atas dasar ini para ulama ber-ijma’ bahwa Rasulullah ﷺ menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali.
Perintah puasa Ramadhan ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah : 183)
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan puasa maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barangsiapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan puasa maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah : 184)
Pada waktu turunnya ayat ini siapa yang berhendak puasa maka mereka puasa dan bagi yang tidak berkehendak maka cukup memberi makan kepada orang miskin, maka cukuplah memilih diantara keduanya.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun orang yang sehat dan mukim serta mampu menjalankan puasa diberikan pilihan antara menunaikan puasa atau membayar fidyah. Jika mau maka dia berpuasa dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184))
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya). (Al-Bukhari, Kitabut Tafsir hadits no. 4506)
Dan atsar dari Salamah ibnu al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata, “Barangsiapa hendak berpuasa maka silakan berpuasa dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” (Al-Bukhari, Kitabut Tafsir hadits no. 4507; Muslim, Kitabush Shiyam hadits no. 149 – [1145] dan Abu Dawud, Kitabush Shiyam, bab 2, hadits no. 2312)
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama. (Lihat Syarh Shahih Muslim an-Nawawi : Kitabush Shiyam hadits no. 149 – [1145]).
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshah (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” (Al-Bukhari, Kitabut Tafsir hadits no. 4505)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir,
“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya puasa atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu berpuasa maka wajib baginya untuk berifthar (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Dengan ayat itu maka Allah mewajibkan berpuasa bagi yang sehat (tidak sakit) dan mukim (tidak dalam perjalanan), dan Allah memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan dalam perjalanan, dan membayar fidyah bagi orang tua lanjut usia yang tidak mampu lagi berpuasa.
Dan juga pada awal perintah puasa Ramadhan, jika seseorang berpuasa kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu:
Dahulu sahabat Rasulullah ﷺ jika salah seorang di antara mereka puasa kemudian tertidur sebelum dia ber-ifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang sahabat yaitu), Qais bin Shirmah al-Anshary dalam keadaan puasa, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : “Apakah kamu punya makanan? ” Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan) ”. – dan Qais pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : “Rugilah engkau” (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka)! Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah ﷺ, maka turunlah ayat :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isterimu”
dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
(Riwayat Al-Bukhari, Kitabush Shaum hadits no. 1915 dan Abu Dawud, Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 231)
Wallahu a’lam bish-shawab
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad-Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh (dihapus) dengan disyari’atkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan.” (Tafsir Qur’an Al-Azhim Libni Katsir, 1/497)
Selain itu, mereka juga berpuasa tanggal 10 Muharam (puasa hari Asyura). Tentang perintah Rasulullah ﷺ untuk berpuasa Asyura, menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah sesudah beliau ﷺ tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah. Yang mana Rasulullah ﷺ tiba di kota itu pada Rabi’ul Awwal.
Kemudian, pada bulan Sya’ban tahun kedua hijrah atau tahun ke-15 Kenabian, turunlah wahyu Allah yang berisi perintah kepada umat Islam akan diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan. Ketika itu, Nabi Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah. Sehingga puasa Asyura hanya satu kali dilaksanakan sebagai puasa wajib. Sejak saat itu puasa Asyura’ dan puasa 3 hari tiap-tiap bulan menjadi sesuatu yang sunnah bagi kaum Muslimin.
Di dalamTarikh Thabari (Jil.2, hlm. 417) disebutkan bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan telah diumumkan sejak bulan Sya’ban pada tahun tersebut. Begitu pula satu atau dua hari sebelum ‘Iedul Fitri pada tahun itu Nabi ﷺ memerintahkan para sahabat untuk mengeluarkan zakat fitrah. Dan pada hari ‘Ied, Nabi dan para sahabat keluar untuk mengerjakan shalat ‘Ied. Ketika itulah hal-hal tersebut dilakukan untuk pertama kalinya di tengah kaum Muslimin di Madinah. Pada bulan itu juga, kurang lebih pada tanggal 17 Ramadhan, kaum Muslimin berperang menghadapi musyrikin Makkah di Badr. Allah memberi mereka kemenangan besar di Badr, sehingga mereka menyambut Hari Raya ‘Iedul Fitri pada tahun itu dengan dua kemenangan. Menurut Ibn Katsir di dalam kitab tarikh-nya, Al-Bidayah wal-Nihayah (Jil. 5, hlm. 54), zakat atas harta yang telah jatuh nishab-nya juga ditetapkan pada tahun ke-2 ini.
Atas dasar ini para ulama ber-ijma’ bahwa Rasulullah ﷺ menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali.
Perintah puasa Ramadhan ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah : 183)
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan puasa maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barangsiapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan puasa maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah : 184)
Pada waktu turunnya ayat ini siapa yang berhendak puasa maka mereka puasa dan bagi yang tidak berkehendak maka cukup memberi makan kepada orang miskin, maka cukuplah memilih diantara keduanya.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun orang yang sehat dan mukim serta mampu menjalankan puasa diberikan pilihan antara menunaikan puasa atau membayar fidyah. Jika mau maka dia berpuasa dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184))
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya). (Al-Bukhari, Kitabut Tafsir hadits no. 4506)
Dan atsar dari Salamah ibnu al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata, “Barangsiapa hendak berpuasa maka silakan berpuasa dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” (Al-Bukhari, Kitabut Tafsir hadits no. 4507; Muslim, Kitabush Shiyam hadits no. 149 – [1145] dan Abu Dawud, Kitabush Shiyam, bab 2, hadits no. 2312)
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama. (Lihat Syarh Shahih Muslim an-Nawawi : Kitabush Shiyam hadits no. 149 – [1145]).
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshah (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” (Al-Bukhari, Kitabut Tafsir hadits no. 4505)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir,
“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya puasa atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu berpuasa maka wajib baginya untuk berifthar (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Dengan ayat itu maka Allah mewajibkan berpuasa bagi yang sehat (tidak sakit) dan mukim (tidak dalam perjalanan), dan Allah memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan dalam perjalanan, dan membayar fidyah bagi orang tua lanjut usia yang tidak mampu lagi berpuasa.
Dan juga pada awal perintah puasa Ramadhan, jika seseorang berpuasa kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dahulu sahabat Rasulullah ﷺ jika salah seorang di antara mereka puasa kemudian tertidur sebelum dia ber-ifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang sahabat yaitu), Qais bin Shirmah al-Anshary dalam keadaan puasa, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : “Apakah kamu punya makanan? ” Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan) ”. – dan Qais pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : “Rugilah engkau” (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka)! Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah ﷺ, maka turunlah ayat :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isterimu”
dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
(Riwayat Al-Bukhari, Kitabush Shaum hadits no. 1915 dan Abu Dawud, Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 231)
Wallahu a’lam bish-shawab