KH. Muhammad Munawwir lahir di Kauman, Yogyakarta, dari pasangan KH Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashari dan Khodijah. Sejak kecil KH. Munawwir sudah diarahkan untuk mengenyam pendidikan Islam. Guru pertama beliau adalah ayah beliau sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes Al-Qur'an, Sang Ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi. Pada usia 10 tahun, beliau belajar kepada ulama agung Syeikh Kholil di Bangkalan Madura. Konon Kiai Kholil pada suatu ketika tidak mau menjadi iman shalat dan justru mempercayakan KH. Munawwir kecil. Beliau mengatakan, “Mestinya yang berhak menjadi imam shalat adalah anak ini, meskipun kecil , tetapi ahli qira’ah. Disamping kepada Kiai Kholil, KH. Munawwir juga belajar kepada beberapa guru antara lain : KH Abdullah, Kanggotan, Bantul; KH. Sholeh Darat, Semarang; dan KH. Abdurrahman (Mbah Dalhar), Watucongol, Muntilan, Magelang.
Pada 1888 KH. Munawwir meneruskan pengembara Al-Qur’an mendalaminya di Mekkah dan menetap di sana selama 16 tahun. Dari Mekkah KH Munawwir melanjutkan belajar ke Madinah. Selama di Mekkah dan Madinah ia memperdalam Al-Qur'an, tafsir, dan Qira'ah Sab‘ah dari beberapa guru, antara lain , Syaikh Abdullah Sangkoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimu, Syaikh Mansyur, Syaikh Abdus Sakur dan Syaikh Musthofa. Sedangkan guru beliau dalam Qira’ah Sab’ah adalah Syaikh Yusuf Hajar. KH. Munawwir hafal Al-Qur’an hanya dalam kurun waktu 40-70 hari.
KH. Munawwir mempunyai metode tersendiri untuk menjaga hafalannya. Pada 3 tahun pertama, beliau menghatamkan Al-Qur’an selama seminggu sekali. 3 tahun berikutnya, Al-Qur’an dikhatamkan dalam 3 hari sekali. Pada 3 tahun selanjutnya, dikhatamkannya Al-Qur’an hanya dalam waktu sehari semalam. Menurut penuturan salah seorang santrinya, beliau pun pernah mengkhatamkan Al-Qur’an secara terus menerus selama 41 hari tanpa berhenti hingga mulutnya mengeluarkan darah.
KH. Munawwir ahli dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan salah satunya adalah qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. Munawwir sampai kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Setelah 21 tahun di Mekkah dan Madinah, pada tahun 1909 KH. Munawwir kembali ke tempat kelahirannya, Kauman Yogyakarta. Di sana beliau merintis pengajian Al-Qur’an di sebuah surau kecil, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta. Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, KH. Mudzakkir yang tak lain adalah ayahanda dari Prof. ‘Abdul Qohar Muzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.
Pada 15 November 1910 pesantren rintisan yang selanjutnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Krapyak mulai aktif memberikan pelajaran Al-Qur’an. metode yang digunakan adalah dengan cara musyafahah. Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. Munawwir adalah Kitab Suci Al-Qur'an, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat Al-Fatihah, lantas lafadz Tahiyyat sampai dengan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian surat An-Nas sampai surat An-Naba’, baru kemudian surat Al-Fatihah diteruskan ke surat Al-Baqarah sampai khatam surat An-Nas.
Meski terkenal sebagai pesantren Al-Qur’an, pada masa kepengasuhan KH. Muhammad Munawwir, pondok pesantren Krapyak juga menyelenggarakan kajian kitab. Jumlah santri terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Di awal berdirinya antara tahun 1910-1920 jumlah santri sedikitnya ada 60 orang. Pada tahun 1920 dan seterusnya santri bertambah hingga 200 orang yang tidak hanya berasal dari pulau Jawa melainkan dari nedara tetangga, Singapura.
Di antara para muridnya itu adalah KH Arwani Amin Kudus, KH. Badawi Kaliwungu Semarang, Kiai Zuhdi Nganjuk Kertosono, KH. Umar Mangkuyudan Solo, KH. Umar Kempek Cirebon, KH. Nor/Munawwir Tegalarum Kertosono, KH. Muntaha Kalibeber Wonosobo, KH. Murtadlo Buntet Cirebon, KH. M. Ma‘shum Gedongan Cirebon, KH. Abu Amar Kroya, KH. Suhaimi Benda Bumiayu, KH. Syatibi Kiangkong Kutoarjo, KH. Anshor Pepedang Bumiayu, KH. Hasbullah Wonokromo Yogyakarta, dan KH. Muhyiddin Jejeran Yogyakarta.
KH Munawwir dikenal sebagai seorang yang istiqamah dalam beribadah. Shalat wajib dan sunnah rutin dikerjakannya. Wirid Al-Qur'an selalu beliau khatamkan sepekan sekali, biasanya setiap hari Kamis. Sifat muru'ah tercermin dari kerapiannya berpakaian. Ia terus-menerus mengenakan tutup kepala (kopiah atau serban), berpakaian sederhana, dan terkadang mengenakan pakaian dinas Kraton Yogyakarta saat menghadiri acara resmi Kraton. KH. Munawwir adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap keluarga dan para santrinya. Wejangan-wejangan yang ia sampaikan dalam pengajian secara apik diterapkan dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak membedakan tamu yang mendatanginya, semua ia sambut dengan baik. Bahkan, ia sesekali bersilaturahmi kepada keluarga santrinya, begitu pula kepada tetangganya.
KH. Munawwir sakit selama 16 hari sebelum meninggal dunia pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H (6 Juli 1942) di rumahnya, di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan – Solo), KH. R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau KH. Ma’shum (Suditan – Lasem).
Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat kaum muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan. Jenazah KH. Muhammad Munawwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca Al-Qur'an.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....
Pada 1888 KH. Munawwir meneruskan pengembara Al-Qur’an mendalaminya di Mekkah dan menetap di sana selama 16 tahun. Dari Mekkah KH Munawwir melanjutkan belajar ke Madinah. Selama di Mekkah dan Madinah ia memperdalam Al-Qur'an, tafsir, dan Qira'ah Sab‘ah dari beberapa guru, antara lain , Syaikh Abdullah Sangkoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimu, Syaikh Mansyur, Syaikh Abdus Sakur dan Syaikh Musthofa. Sedangkan guru beliau dalam Qira’ah Sab’ah adalah Syaikh Yusuf Hajar. KH. Munawwir hafal Al-Qur’an hanya dalam kurun waktu 40-70 hari.
KH. Munawwir mempunyai metode tersendiri untuk menjaga hafalannya. Pada 3 tahun pertama, beliau menghatamkan Al-Qur’an selama seminggu sekali. 3 tahun berikutnya, Al-Qur’an dikhatamkan dalam 3 hari sekali. Pada 3 tahun selanjutnya, dikhatamkannya Al-Qur’an hanya dalam waktu sehari semalam. Menurut penuturan salah seorang santrinya, beliau pun pernah mengkhatamkan Al-Qur’an secara terus menerus selama 41 hari tanpa berhenti hingga mulutnya mengeluarkan darah.
KH. Munawwir ahli dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan salah satunya adalah qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. Munawwir sampai kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Setelah 21 tahun di Mekkah dan Madinah, pada tahun 1909 KH. Munawwir kembali ke tempat kelahirannya, Kauman Yogyakarta. Di sana beliau merintis pengajian Al-Qur’an di sebuah surau kecil, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta. Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, KH. Mudzakkir yang tak lain adalah ayahanda dari Prof. ‘Abdul Qohar Muzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.
Pada 15 November 1910 pesantren rintisan yang selanjutnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Krapyak mulai aktif memberikan pelajaran Al-Qur’an. metode yang digunakan adalah dengan cara musyafahah. Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. Munawwir adalah Kitab Suci Al-Qur'an, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat Al-Fatihah, lantas lafadz Tahiyyat sampai dengan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian surat An-Nas sampai surat An-Naba’, baru kemudian surat Al-Fatihah diteruskan ke surat Al-Baqarah sampai khatam surat An-Nas.
Meski terkenal sebagai pesantren Al-Qur’an, pada masa kepengasuhan KH. Muhammad Munawwir, pondok pesantren Krapyak juga menyelenggarakan kajian kitab. Jumlah santri terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Di awal berdirinya antara tahun 1910-1920 jumlah santri sedikitnya ada 60 orang. Pada tahun 1920 dan seterusnya santri bertambah hingga 200 orang yang tidak hanya berasal dari pulau Jawa melainkan dari nedara tetangga, Singapura.
Di antara para muridnya itu adalah KH Arwani Amin Kudus, KH. Badawi Kaliwungu Semarang, Kiai Zuhdi Nganjuk Kertosono, KH. Umar Mangkuyudan Solo, KH. Umar Kempek Cirebon, KH. Nor/Munawwir Tegalarum Kertosono, KH. Muntaha Kalibeber Wonosobo, KH. Murtadlo Buntet Cirebon, KH. M. Ma‘shum Gedongan Cirebon, KH. Abu Amar Kroya, KH. Suhaimi Benda Bumiayu, KH. Syatibi Kiangkong Kutoarjo, KH. Anshor Pepedang Bumiayu, KH. Hasbullah Wonokromo Yogyakarta, dan KH. Muhyiddin Jejeran Yogyakarta.
KH Munawwir dikenal sebagai seorang yang istiqamah dalam beribadah. Shalat wajib dan sunnah rutin dikerjakannya. Wirid Al-Qur'an selalu beliau khatamkan sepekan sekali, biasanya setiap hari Kamis. Sifat muru'ah tercermin dari kerapiannya berpakaian. Ia terus-menerus mengenakan tutup kepala (kopiah atau serban), berpakaian sederhana, dan terkadang mengenakan pakaian dinas Kraton Yogyakarta saat menghadiri acara resmi Kraton. KH. Munawwir adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap keluarga dan para santrinya. Wejangan-wejangan yang ia sampaikan dalam pengajian secara apik diterapkan dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak membedakan tamu yang mendatanginya, semua ia sambut dengan baik. Bahkan, ia sesekali bersilaturahmi kepada keluarga santrinya, begitu pula kepada tetangganya.
KH. Munawwir sakit selama 16 hari sebelum meninggal dunia pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H (6 Juli 1942) di rumahnya, di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan – Solo), KH. R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau KH. Ma’shum (Suditan – Lasem).
Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat kaum muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan. Jenazah KH. Muhammad Munawwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca Al-Qur'an.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....