Ia adalah figur dan potret wanita ideal nan agung. Ia memiliki hati nan lembut, penuh cinta dan kehangatan, setia, berwawasan tajam, perasa, dan menjadi sentral dalam kehidupan. Ia pun penebar kedamaian, kasih sayang, dan cinta. Di antara istri-istri Rasulullah ﷺ, ia mempunyai tempat yang sangat istimewa.
Nabi ﷺ tidak pernah menikah dengan seorang gadis kecuali dirinya. Ialah, yang sejak awal disiapkan oleh Allah Subhana wa Ta'ala untuk menjadi pendamping dan penyokong Rasulullah sebagai Pengemban Risalah. Dan tidak pernah turun wahyu di pangkuan seorang wanita dari istri-istri beliau melainkan dirinya, ada saat yang begitu memuliakan dirinya tatkala dirinya mengurusi Nabi ﷺ di saat hidup, ketika sakit dan pada detik-detik terakhir kehidupan beliau. Tidaklah Nabi meninggal melainkan beliau ridho dengan dirinya, dan beliau dimakamkan di rumahnya.
Kulitnya putih, berubah kemerahan saat diterpa sinar mentari. Maka kemudian wanita pemilik kulit putih ini pun dipanggil dengan Al-Humairah. Dialah ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq, wanita nan suci 'Aisyah putri Abdullah bin Abu Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman al-Kinaniyah. Akan tetapi ada riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. 'Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orangtuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Sayyidina Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan 'Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma', berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, isteri pertama yang dia nikahi pada masa Jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma' binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. 'Aisyah dilahirkan 4 tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, 'Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar.
Pernikahan Yang Membawa Berkah
Dua tahun setelah wafatnya Sayyidatina Khadijah radhiyallahu ‘anha, datang wahyu kepada Nabi ﷺ untuk menikahi 'Aisyah.
Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya, dari haditsnya 'Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau menceritakan: 'Rasulullah ﷺ pernah berkata padaku:
"Diperlihatkan dirimu selama tiga malam berturut-turut dalam mimpiku, malaikat mendatangiku sambil membawamu dalam kain sutera. Lalu ia mengatakan: 'Ini adalah calon istrimu', maka aku buka penutup di wajahnya dan ternyata itu adalah dirimu. Sehingga aku berkata: 'Kalau sekiranya mimpi ini datang dari sisi Allah, pasti akan benar terjadi". (HR. Bukhari no: 5125. Muslim no: 2438)
Dalam redaksi Imam Tirmidzi, disebutkan: "Malaikat tersebut mengatakan: 'Ini adalah istrimu di dunia dan akhirat". (HR. At-Tirmidzi no: 2880)
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang usia 'Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah ﷺ. Ada sebagian ulama yang membandingkannya dengan usia Asma' (saudari 'Aisyah). Ibnu Hajar menegaskan selisih usia Asma' dengan 'Aisyah adalah 10 tahun lebih tua.
Sementara Abu Nuaim meriwayatkan bahwa usia Asma' ketika hijrah ke Madinah 27 tahun. Artinya, ketika hijrah, 'Aisyah berusia 17 tahun. Ada juga yang mengatakan, Rasulullah ﷺ menikahi 'Aisyah di usia 13 tahun, dan baru kumpul di usia lebih dari itu. Namun pendapat yang makruf, ia menikah di usia 6 tahun, dan baru kumpul di usia 9 tahun.
Ibnu Ishaq rahimahullah, beliau mengatakan :
“Kemudian, setelah Saudah binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha, maka Rasulullah ﷺ lalu menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, 3 tahun ba’da wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha saat itu berumur 6 tahun, lalu Rasulullah ﷺ mulai hidup serumah dengannya pada saat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berusia 9 tahun.
Kemudian, Rasulullah ﷺ wafat sedangkan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berusia 18 tahun.” (Sirah Ibnu Ishaq 1/239)
Dalam sebuah hadits, 'Aisyah menceritakan tentang proses perkawinannya bersama Rasulullah ﷺ. Beliau mengkisahkan:
"Rasulullah ﷺ menikahiku saat aku berusia 6 tahun, kemudian kami hijrah ke Madinah. Lalu singgah (tinggal) di tempatnya kaum Bani Harits bin Khazraj. Di sana aku mencukur rambutku, setelah itu ibuku Ummu Ruman mendatangiku, sedangkan diriku pada saat itu lagi bermain-main bersama teman sebayaku. Beliau berteriak memanggilku, aku pun mendatanginya, saya tidak tahu apa yang diinginkan oleh ibuku, beliau lantas menggandeng tangan saya hingga sampai di depan pintu rumah, sampai nafasku tersengal karena cepatnya dalam berjalan, sampai akhirnya sedikit tenang.
Setelah itu ibuku mengambil sedikit air, lalu mengusap wajah dan rambutku, kemudian membawaku masuk ke dalam rumah. Ketika masuk, ternyata di dalam sudah banyak wanita dari kalangan Anshar di dalam rumah, ketika melihatku mereka mengatakan: 'Kebaikan untukmu, semoga selalu dalam barokah dan kebahagian'. Selanjutnya aku diserahkan pada mereka oleh ibuku, yang kemudian aku didandani, dan tidaklah aku dipertemukan bersama Rasulullah melainkan pada waktu dhuha. Kemudian mereka menyerahkan diriku pada beliau, sedangkan diriku pada saat itu berusia sembilan tahun". (HR. Bukhari no: 3894. Muslim no: 1422)
Imam Dzahabi menyebutkan: "Ayahnya membawa 'Aisyah ikut serta berhijrah, dan menikah bersama Nabi ﷺ sebelum peristiwa hijrah tersebut setelah kematian Shiddiqah Khadijah binti Khuwailid. Tepatnya sebelum hijrah kurang lebih belasan bulan sebelumnya. Ada yang mengatakan dua tahun sebelumnya.
Lalu Rasulullah membangun rumahtangga bersamanya pada bulan Syawwal, 2 tahun setelah terjadinya peperangan Badar. Sedangkan dia ketika itu berusia 9 tahun. Dan tidak diketahui ada pada umat Muhammad ﷺ, bahkan bisa dikatakan pada seluruh wanita di kalangan umatnya ada seorang wanita yang lebih faqih dari pada dirinya. Dia adalah istri Nabi ketika di dunia dan akhirat nanti, lantas, apakah ada suatu hal yang lebih membanggakan dari ini semua?. (Siyar A'lam an-Nubala 2/135-140)
Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah ﷺ:
'Aisyah menjawab, “Mahar Rasulullah kepada istri-istrinya adalah 12 uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu 500 dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumahtangga, hendaklah ia memperhatikan kisah-kisah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bersama Rasulullah ﷺ. Bagaimana kiat-kiat Rasulullah ﷺ membahagiakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:
“Aku biasa mandi berdua bersama Rasulullah ﷺ dari satu bejana.” (HR. Al-Bukhari)
Ia juga menuturkan:
"Suatu ketika aku minum, dan aku sedang haid, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah ﷺ dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya.” (HR. Muslim)
Dan ia pernah mengisahkan:
Pada suatu ketika aku ikut bersama Rasulullah ﷺ dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau ﷺ hanya diam saja atas keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk, aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau ﷺ memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau menantangku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!” (HR. Ahmad)
Kedudukan 'Aisyah di mata Rasulullah ﷺ yang begitu istimewa kadang membuat iri istri-istri Rasulullah yang lain. Ada sebuah kisah yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada 'Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaum muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada 'Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi ﷺ.
Disebutkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebuah kisah yang dinukil dari Hisyam dari ayahnya yang menceritakan:
"Para sahabat biasa mengakhirkan untuk memberi hadiah pada saat gilirannya 'Aisyah. Hal tersebut menjadikan para madunya berkumpul pada Ummu Salamah dan mengatakan padanya; 'Demi Allah, orang-orang lebih memilih ketika memberi hadiah pada harinya 'Aisyah, dan kami pun ingin mendapat kebaikan seperti yang diinginkan oleh Allah, coba kamu utarakan kepada Rasulullah supaya orang-orang juga memberi hadiah pada giliran istri yang lain.
Maka Ummu Salamah mengutarakan keinginan istri-istri Nabi kepada beliau. Akan tetapi, beliau tidak mengomentari. Tatkala tiba pada gilirannya, Ummu Salamah mencoba mengutarakan kembali hal tersebut, namun beliau justru berpaling tidak mengomentarinya, manakala pada tiga kalinya ia mengutarakan hal itu, Nabi ﷺ menjawab:
"Wahai Ummu Salamah, jangan engkau ganggu aku tentang 'Aisyah, sungguh demi Allah, tidak pernah wahyu itu turun sedang aku berada di pangkuan seseorang wanita diantara kalian kecuali dirinya." (HR. Bukhari no: 3775. Muslim no: 2441)
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap 'Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan 'Aisyah yang sangat terhormat. Di antara istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zam’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan 'Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk 'Aisyah.
Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan 'Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. 'Aisyah radhiyallahu 'anha dikenal sebagai isteri Rasulullah yang pecemburu. Tetapi, kecemburuan 'Aisyah ini adalah rasa cemburu yang masih dibenarkan oleh syara’ dalam arti cemburu yang syar’i. Bukankah cemburu itu menandakan bahwa seorang istri mencintai suaminya, dan ia pun merasa tidak mau rasa cintanya dikalahkan oleh para madunya yang lain? Selama kecemburuan itu sesuai dengan proporsinya dan tidak berlebih-lebihan, maka rasa cemburu ini bisa dipahami sebagai romantika kehidupan suami-istri, dan Islam pun membenarkan cemburu yang seperti ini. 'Aisyah pernah cemburu pada Khadijah kendati ia telah tiada.
Dalam sebuah riwayat, 'Aisyah radhiyallahu 'anha pernah mengatakan:
"Tidak pernah aku merasa cemburu atas (maduku) yang lain melebihi kecemburuanku pada Khadijah, disebabkan terlalu seringnya Rasulullah ﷺ menyebut dirinya". (HR. Bukhari no: 3817. Muslim no: 2435)
Adz-Dzahabi mengomentari hadits di atas seraya mengatakan: "Ini merupakan perkara yang sangat mengherankan bagaimana 'Aisyah bisa cemburu kepada perempuan tua yang sudah meninggal sebelum dirinya dinikahi oleh Nabi ﷺ beberapa waktu lamanya. Kemudian dirinya dijaga oleh Allah Ta'ala dari rasa cemburu terhadap wanita lainnya yang bersama-sama menjadi istri Nabi ﷺ. Ini menunjukkan rahmat yang Allah turunkan kepadanya, juga pada Nabi ﷺ, supaya kehidupan rumahtangga keduanya tidak keruh.
Dan kemungkinan lain, dirinya merasa cemburu lebih sedikit pada yang lain dan tidak pada Khadijah karena disebabkan kecintaannya Nabi ﷺ atas Khadijah. Semoga Allah meridhoinya dan meridhoi 'Aisyah". (Siyar a'lamu Nubala 2/165)
Dalam sebuah hadits, Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu menceritakan; “Bahwasanya Rasulullah ﷺ sedang berada di rumah salah seorang istrinya, ” Anas berkata; “Menurutku adalah 'Aisyah.” Lalu salah seorang istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan yang diantar oleh utusannya, namun istri yang bersama beliau membuang piring yang berada di tangan utusan sehingga pecah terbelah menjadi dua.
Kemudian Rasulullah ﷺ mengatakan: غَارَتْ أُمُّكُمْ “(Ibu kalian sedang cemburu)” Lalu beliau menyatukan dua pecahan piring tersebut dan meletakkan makanannya di atasnya seraya bersabda: “Makanlah oleh kalian!” Maka para sahabat pun memakannya. Sementara beliau tetap memegang piring yang pecah tersebut hingga mereka selesai memakan makanannya, lalu diberikan kepada Rasulullah ﷺ sebuah piring yang lain, lalu beliau pun tinggalkan yang pecah.” (HR. Ahmad)
Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, sabda Nabi “ghaarat ummukum” (ibu kalian dilanda cemburu) menunjukkan sikap memaafkan yang ditunjukkan Nabi kepada perbuatan 'Aisyah. Dan ini juga menunjukkan tentang tidak bolehnya memberi hukuman kepada seorang istri yang sedang cemburu karena saat itu akalnya sedang tertutup oleh marah akibat cemburu.
'Aisyah juga pernah cemburu pada Ummu Salamah yang diketahuinya berwajah cantik kendati ia sudah berusia lanjut. Sekalipun 'Aisyah adalah seorang istri pecemburu, ia tidak pernah mengungkapkan kecemburuannya kepada Ummul Mukminin lain yang dicemburuinya itu, tetapi ia biasanya langsung menumpahkannya kepada Rasulullah ﷺ, atau kadang sekali-kali kepada Hafshah binti Umar radhiyallahu 'anha yang paling dekat di antara para istri Rasulullah ﷺ.
Keutamaan 'Aisyah radhiyallahu 'anha
Imam Bukhari dan Muslim membawakan sebuah hadits dari Amr bin Ash radhiyallahu 'anhu, beliau termasuk sahabat yang masuk Islam pada tahun ke 8 Hijriyah, dirinya pernah bertanya Rasulullah ﷺ : "Siapakah orang yang paling engkau cintai? Beliau mengatakan: "'Aisyah". Aku bertanya kembali: "Dari kalangan laki-laki? Beliau menjawab: "Ayahnya". (HR. Bukhari no: 3662. Muslim no: 2384)
Imam Dzahabi pernah menyatakan: "Hadits ini merupakan berita yang benar, yang menghancurkan muka orang-orang Syiah Rafidhah, dimana Nabi ﷺ tidaklah mencintai seseorang melainkan karena kebaikannya. Yang mana beliau pernah bersabda:
"Kalau sekiranya aku boleh mengambil kekasih dari kalangan umatku, tentulah aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Akan tetapi, yang ada adalah persaudaraan Islam serta kasih sayang". (HR. Bukhari no: 466. Muslim no: 2382)
Beliau melanjutkan: "Nabi mencintai manusia terbaik dari kalangan umatnya, demikian pula mencintai wanita terbaik dari kalangan umatnya. Maka barangsiapa yang membenci orang yang dicintai oleh Rasulullah ﷺ, ketahuilah bahwa dirinya telah menjadi orang yang amat membenci Allah dan Rasul-Nya. Karena kecintaan Rasulullah kepada 'Aisyah adalah perkara yang sudah sangat gamblang, bukankah kalian mendengar bagaimana para sahabat lebih memilih untuk memberi hadiah kepada Rasulullah pada saat gilirannya 'Aisyah, hal itu tidak lain, karena mereka mengharap hal tersebut lebih menyenangkannya". (Siyar A'lamu Nubala 2/142)
Dalam sebuah hadits lain yang menunjukkan tentang keutamaan 'Aisyah, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
"Laki-laki yang sempurna itu sangatlah banyak, dan dari kalangan wanita, tidak ada yang sempurna kecuali Maryam puterinya Imran, Asiyah istrinya Fir'aun, dan kelebihan 'Aisyah dibanding wanita yang lain adalah seperti garam pada semua makanan". (HR. Bukhari no: 3769. Muslim no: 2431)
'Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagaimana perkataannya ini:
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
'Aisyah radhiyallahu 'anha telah meraih kemuliaan dalam mengurusi Nabi ﷺ di saat sakit dan pada detik-detik akhir kehidupannya. Ummul Mukminin 'Aisyah menuturkan saat-saat yang mengharukan tersebut:
“Telah wafat Rasulullah ﷺ di rumahku, pada saat hari dan giliran beliau menginap di rumahku dan di atas pangkuanku. Ketika itu masuklah Abdurrahman bin Abu Bakar yang sedang membawa siwak yang masih basah, Rasulullah memandangnya seolah-olah menginginkannya, maka aku ambil siwak tersebut kemudian aku kunyah dan aku bersihkan kemudian aku hendak membersihkan gigi beliau ﷺ namun beliau menolaknya. Kemudian beliau membersihkan giginya dengan cara yang sangat baik yang aku belum melihat sekalipun yang lebih baik dari yang beliau kerjakan saat itu.
Selanjutnya beliau mengarahkan pandangannya kepadaku dan meletakkan kedua tangannya sedangkan aku turut mendo’akan beliau sebagaimana do’a Jibril untuk beliau, begitupula Nabi berdo’a dengan do’a tersebut tatkala sakit. Akan tetapi beliau ﷺ tidak berdo’a dengan do’a tersebut. Pandangan beliau kembali mengarah ke langit kemudian bersabda: “Ar-Rafiiqul A’la, segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan diriku dengan dirinya pada hari terakhir kehidupannya di dunia.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad [VI/48], Al-Hakim dalam Ma’rifatush Shahabah [IV/7]. Ia berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini dan begitu pula menurut Adz-Dzahabi.”)
Kecerdasan 'Aisyah radhiyallahu 'anha
'Aisyah radhiyallahu 'anha adalah istri Nabi ﷺ yang sangat cerdas. Beliau termasuk orang yang paling paham tentang silsilah Arab, bait-bait syair mereka, serta seorang yang faqih, dimana banyak dari kalangan para pembesar sahabat yang mengembalikan sebuah permasalahan untuk dimintai fatwanya. Di dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syari'at dinukil dan 'Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.”
Berkata Imam az-Zuhari: "Kalau seandainya dikumpulkan seluruh ilmu manusia dan istri-istri Nabi yang lainnya, tentu ilmunya 'Aisyah lebih luas dibanding ilmunya mereka semua".(Lihat Al-Mustadrak oleh al-Hakim pada bab: Ma’rifatush Shahabah [IV/11])
'Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi ﷺ, sehingga para ahli hadits menempatkan beliau pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. 'Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung ia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rumah 'Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari 'Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki 'Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, 'Aisyah menjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
'Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain 'Aisyah.”
Hisyam bin Urwah menceritakan dari ayahnya yang berkata: “Sungguh aku telah bertemu dengan Aisyah, maka aku tidak mendapatkan seorangpun yang lebih pintar darinya tentang Al-Qur’an, hal-hal yang fardhu, sunnah, sya’ir, yang paling banyak meriwayatkan, sejarah Arab, ilmu nasab, ilmu ini, ilmu itu dan ilmu kesehatan (kedokteran), maka aku bertanya kepada beliau, “Wahai bibi….. kepada siapa anda belajar tentang ilmu kedokteran?” Maka beliau menjawab, “Tatkala aku sakit, maka aku perhatikan gejala-gejalanya dan aku mendengar dari orang-orang menceritakan perihal sakitnya, kemudian aku menghafalnya.” (Lihat Hilyatul Auliya’ [II/49]. Rijalnya tsiqah)
Beliau termasuk orang yang paling dermawan pada zamannya, di dalam kisah yang menjelaskan akan tersebut sangatlah banyak. Pernah suatu ketika dirinya diberi hadiah oleh Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu uang sebanyak 1000 dirham, maka tidaklah sampai matahari tenggelam pada hari itu juga melainkan uang tersebut telah habis dibagi-bagikan untuk orang yang membutuhkannya. (Siyar a'lamu Nubala 2/185-187)
Berkata Hasan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu memuji 'Aisyah di dalam bait sya'irnya:
Kesucian menjadi pakaiannya, tidak ada keraguan lagi
Cukuplah itu sebagai bukti akan kehormatannya
Dirinya lebih dermawan dari Lu'ay bin Ghalib
Kedermawanannya membawa pada kemuliaan
Suci, dimana Allah telah mensucikan kepribadiannya
Membersihkan dari tiap kejelekan dan kedustaan
Jika dirimu telah berkata seperti yang disangka sekelompok kaum
Maka diriku tidak akan mempercayainya
Bagaimana tidak tergerak untuk diriku
Membela keluarga Rasul, tempat merujuk segala soal
Wallahu a'lam bish-shawab
Nabi ﷺ tidak pernah menikah dengan seorang gadis kecuali dirinya. Ialah, yang sejak awal disiapkan oleh Allah Subhana wa Ta'ala untuk menjadi pendamping dan penyokong Rasulullah sebagai Pengemban Risalah. Dan tidak pernah turun wahyu di pangkuan seorang wanita dari istri-istri beliau melainkan dirinya, ada saat yang begitu memuliakan dirinya tatkala dirinya mengurusi Nabi ﷺ di saat hidup, ketika sakit dan pada detik-detik terakhir kehidupan beliau. Tidaklah Nabi meninggal melainkan beliau ridho dengan dirinya, dan beliau dimakamkan di rumahnya.
Kulitnya putih, berubah kemerahan saat diterpa sinar mentari. Maka kemudian wanita pemilik kulit putih ini pun dipanggil dengan Al-Humairah. Dialah ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq, wanita nan suci 'Aisyah putri Abdullah bin Abu Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman al-Kinaniyah. Akan tetapi ada riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. 'Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orangtuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Sayyidina Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan 'Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma', berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, isteri pertama yang dia nikahi pada masa Jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma' binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. 'Aisyah dilahirkan 4 tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, 'Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar.
Pernikahan Yang Membawa Berkah
Dua tahun setelah wafatnya Sayyidatina Khadijah radhiyallahu ‘anha, datang wahyu kepada Nabi ﷺ untuk menikahi 'Aisyah.
Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya, dari haditsnya 'Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau menceritakan: 'Rasulullah ﷺ pernah berkata padaku:
قال رسول الله ﷺ « أُرِيتُكِ فِى الْمَنَامِ ثَلاَثَ لَيَالٍ جَاءَنِى بِكِ الْمَلَكُ فِى سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ فَيَقُولُ هَذِهِ امْرَأَتُكَ. فَأَكْشِفُ عَنْ وَجْهِكِ فَإِذَا أَنْتِ هِىَ فَأَقُولُ إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ » أخرجه البخاري و مسلم
"Diperlihatkan dirimu selama tiga malam berturut-turut dalam mimpiku, malaikat mendatangiku sambil membawamu dalam kain sutera. Lalu ia mengatakan: 'Ini adalah calon istrimu', maka aku buka penutup di wajahnya dan ternyata itu adalah dirimu. Sehingga aku berkata: 'Kalau sekiranya mimpi ini datang dari sisi Allah, pasti akan benar terjadi". (HR. Bukhari no: 5125. Muslim no: 2438)
Dalam redaksi Imam Tirmidzi, disebutkan: "Malaikat tersebut mengatakan: 'Ini adalah istrimu di dunia dan akhirat". (HR. At-Tirmidzi no: 2880)
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang usia 'Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah ﷺ. Ada sebagian ulama yang membandingkannya dengan usia Asma' (saudari 'Aisyah). Ibnu Hajar menegaskan selisih usia Asma' dengan 'Aisyah adalah 10 tahun lebih tua.
Sementara Abu Nuaim meriwayatkan bahwa usia Asma' ketika hijrah ke Madinah 27 tahun. Artinya, ketika hijrah, 'Aisyah berusia 17 tahun. Ada juga yang mengatakan, Rasulullah ﷺ menikahi 'Aisyah di usia 13 tahun, dan baru kumpul di usia lebih dari itu. Namun pendapat yang makruf, ia menikah di usia 6 tahun, dan baru kumpul di usia 9 tahun.
Ibnu Ishaq rahimahullah, beliau mengatakan :
ثم تزوج رسول الله ﷺ بعد سودة بنت زمعة عائشة بعد موت خديجة بثلاث سنين، وعائشة يومئذ ابنة ست سنين، وبني بها رسول الله ﷺ وهي ابنة تسع سنين، ومات رسول الله ﷺ وعائشة ابنة ثماني عشرة سنة
“Kemudian, setelah Saudah binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha, maka Rasulullah ﷺ lalu menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, 3 tahun ba’da wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha saat itu berumur 6 tahun, lalu Rasulullah ﷺ mulai hidup serumah dengannya pada saat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berusia 9 tahun.
Kemudian, Rasulullah ﷺ wafat sedangkan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berusia 18 tahun.” (Sirah Ibnu Ishaq 1/239)
Dalam sebuah hadits, 'Aisyah menceritakan tentang proses perkawinannya bersama Rasulullah ﷺ. Beliau mengkisahkan:
« تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ﷺ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي لَأُنْهِجُ حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ » أخرجه البخاري و مسلم
"Rasulullah ﷺ menikahiku saat aku berusia 6 tahun, kemudian kami hijrah ke Madinah. Lalu singgah (tinggal) di tempatnya kaum Bani Harits bin Khazraj. Di sana aku mencukur rambutku, setelah itu ibuku Ummu Ruman mendatangiku, sedangkan diriku pada saat itu lagi bermain-main bersama teman sebayaku. Beliau berteriak memanggilku, aku pun mendatanginya, saya tidak tahu apa yang diinginkan oleh ibuku, beliau lantas menggandeng tangan saya hingga sampai di depan pintu rumah, sampai nafasku tersengal karena cepatnya dalam berjalan, sampai akhirnya sedikit tenang.
Setelah itu ibuku mengambil sedikit air, lalu mengusap wajah dan rambutku, kemudian membawaku masuk ke dalam rumah. Ketika masuk, ternyata di dalam sudah banyak wanita dari kalangan Anshar di dalam rumah, ketika melihatku mereka mengatakan: 'Kebaikan untukmu, semoga selalu dalam barokah dan kebahagian'. Selanjutnya aku diserahkan pada mereka oleh ibuku, yang kemudian aku didandani, dan tidaklah aku dipertemukan bersama Rasulullah melainkan pada waktu dhuha. Kemudian mereka menyerahkan diriku pada beliau, sedangkan diriku pada saat itu berusia sembilan tahun". (HR. Bukhari no: 3894. Muslim no: 1422)
Imam Dzahabi menyebutkan: "Ayahnya membawa 'Aisyah ikut serta berhijrah, dan menikah bersama Nabi ﷺ sebelum peristiwa hijrah tersebut setelah kematian Shiddiqah Khadijah binti Khuwailid. Tepatnya sebelum hijrah kurang lebih belasan bulan sebelumnya. Ada yang mengatakan dua tahun sebelumnya.
Lalu Rasulullah membangun rumahtangga bersamanya pada bulan Syawwal, 2 tahun setelah terjadinya peperangan Badar. Sedangkan dia ketika itu berusia 9 tahun. Dan tidak diketahui ada pada umat Muhammad ﷺ, bahkan bisa dikatakan pada seluruh wanita di kalangan umatnya ada seorang wanita yang lebih faqih dari pada dirinya. Dia adalah istri Nabi ketika di dunia dan akhirat nanti, lantas, apakah ada suatu hal yang lebih membanggakan dari ini semua?. (Siyar A'lam an-Nubala 2/135-140)
Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah ﷺ:
'Aisyah menjawab, “Mahar Rasulullah kepada istri-istrinya adalah 12 uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu 500 dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumahtangga, hendaklah ia memperhatikan kisah-kisah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bersama Rasulullah ﷺ. Bagaimana kiat-kiat Rasulullah ﷺ membahagiakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:
“Aku biasa mandi berdua bersama Rasulullah ﷺ dari satu bejana.” (HR. Al-Bukhari)
Ia juga menuturkan:
"Suatu ketika aku minum, dan aku sedang haid, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah ﷺ dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya.” (HR. Muslim)
Dan ia pernah mengisahkan:
Pada suatu ketika aku ikut bersama Rasulullah ﷺ dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau ﷺ hanya diam saja atas keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk, aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau ﷺ memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau menantangku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!” (HR. Ahmad)
Kedudukan 'Aisyah di mata Rasulullah ﷺ yang begitu istimewa kadang membuat iri istri-istri Rasulullah yang lain. Ada sebuah kisah yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada 'Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaum muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada 'Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi ﷺ.
Disebutkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebuah kisah yang dinukil dari Hisyam dari ayahnya yang menceritakan:
"Para sahabat biasa mengakhirkan untuk memberi hadiah pada saat gilirannya 'Aisyah. Hal tersebut menjadikan para madunya berkumpul pada Ummu Salamah dan mengatakan padanya; 'Demi Allah, orang-orang lebih memilih ketika memberi hadiah pada harinya 'Aisyah, dan kami pun ingin mendapat kebaikan seperti yang diinginkan oleh Allah, coba kamu utarakan kepada Rasulullah supaya orang-orang juga memberi hadiah pada giliran istri yang lain.
Maka Ummu Salamah mengutarakan keinginan istri-istri Nabi kepada beliau. Akan tetapi, beliau tidak mengomentari. Tatkala tiba pada gilirannya, Ummu Salamah mencoba mengutarakan kembali hal tersebut, namun beliau justru berpaling tidak mengomentarinya, manakala pada tiga kalinya ia mengutarakan hal itu, Nabi ﷺ menjawab:
قال رسول الله ﷺ « يَا أُمَّ سَلَمَةَ لَا تُؤْذِينِي فِي عَائِشَةَ فَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا نَزَلَ عَلَيَّ الْوَحْيُ وَأَنَا فِي لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرِهَا » أخرجه البخاري و مسل
"Wahai Ummu Salamah, jangan engkau ganggu aku tentang 'Aisyah, sungguh demi Allah, tidak pernah wahyu itu turun sedang aku berada di pangkuan seseorang wanita diantara kalian kecuali dirinya." (HR. Bukhari no: 3775. Muslim no: 2441)
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap 'Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan 'Aisyah yang sangat terhormat. Di antara istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zam’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan 'Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk 'Aisyah.
Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan 'Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. 'Aisyah radhiyallahu 'anha dikenal sebagai isteri Rasulullah yang pecemburu. Tetapi, kecemburuan 'Aisyah ini adalah rasa cemburu yang masih dibenarkan oleh syara’ dalam arti cemburu yang syar’i. Bukankah cemburu itu menandakan bahwa seorang istri mencintai suaminya, dan ia pun merasa tidak mau rasa cintanya dikalahkan oleh para madunya yang lain? Selama kecemburuan itu sesuai dengan proporsinya dan tidak berlebih-lebihan, maka rasa cemburu ini bisa dipahami sebagai romantika kehidupan suami-istri, dan Islam pun membenarkan cemburu yang seperti ini. 'Aisyah pernah cemburu pada Khadijah kendati ia telah tiada.
Dalam sebuah riwayat, 'Aisyah radhiyallahu 'anha pernah mengatakan:
« مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ مِنْ كَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِيَّاهَا »أخرجه البخاري و مسلم
"Tidak pernah aku merasa cemburu atas (maduku) yang lain melebihi kecemburuanku pada Khadijah, disebabkan terlalu seringnya Rasulullah ﷺ menyebut dirinya". (HR. Bukhari no: 3817. Muslim no: 2435)
Adz-Dzahabi mengomentari hadits di atas seraya mengatakan: "Ini merupakan perkara yang sangat mengherankan bagaimana 'Aisyah bisa cemburu kepada perempuan tua yang sudah meninggal sebelum dirinya dinikahi oleh Nabi ﷺ beberapa waktu lamanya. Kemudian dirinya dijaga oleh Allah Ta'ala dari rasa cemburu terhadap wanita lainnya yang bersama-sama menjadi istri Nabi ﷺ. Ini menunjukkan rahmat yang Allah turunkan kepadanya, juga pada Nabi ﷺ, supaya kehidupan rumahtangga keduanya tidak keruh.
Dan kemungkinan lain, dirinya merasa cemburu lebih sedikit pada yang lain dan tidak pada Khadijah karena disebabkan kecintaannya Nabi ﷺ atas Khadijah. Semoga Allah meridhoinya dan meridhoi 'Aisyah". (Siyar a'lamu Nubala 2/165)
Dalam sebuah hadits, Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu menceritakan; “Bahwasanya Rasulullah ﷺ sedang berada di rumah salah seorang istrinya, ” Anas berkata; “Menurutku adalah 'Aisyah.” Lalu salah seorang istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan yang diantar oleh utusannya, namun istri yang bersama beliau membuang piring yang berada di tangan utusan sehingga pecah terbelah menjadi dua.
Kemudian Rasulullah ﷺ mengatakan: غَارَتْ أُمُّكُمْ “(Ibu kalian sedang cemburu)” Lalu beliau menyatukan dua pecahan piring tersebut dan meletakkan makanannya di atasnya seraya bersabda: “Makanlah oleh kalian!” Maka para sahabat pun memakannya. Sementara beliau tetap memegang piring yang pecah tersebut hingga mereka selesai memakan makanannya, lalu diberikan kepada Rasulullah ﷺ sebuah piring yang lain, lalu beliau pun tinggalkan yang pecah.” (HR. Ahmad)
Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, sabda Nabi “ghaarat ummukum” (ibu kalian dilanda cemburu) menunjukkan sikap memaafkan yang ditunjukkan Nabi kepada perbuatan 'Aisyah. Dan ini juga menunjukkan tentang tidak bolehnya memberi hukuman kepada seorang istri yang sedang cemburu karena saat itu akalnya sedang tertutup oleh marah akibat cemburu.
'Aisyah juga pernah cemburu pada Ummu Salamah yang diketahuinya berwajah cantik kendati ia sudah berusia lanjut. Sekalipun 'Aisyah adalah seorang istri pecemburu, ia tidak pernah mengungkapkan kecemburuannya kepada Ummul Mukminin lain yang dicemburuinya itu, tetapi ia biasanya langsung menumpahkannya kepada Rasulullah ﷺ, atau kadang sekali-kali kepada Hafshah binti Umar radhiyallahu 'anha yang paling dekat di antara para istri Rasulullah ﷺ.
Keutamaan 'Aisyah radhiyallahu 'anha
Imam Bukhari dan Muslim membawakan sebuah hadits dari Amr bin Ash radhiyallahu 'anhu, beliau termasuk sahabat yang masuk Islam pada tahun ke 8 Hijriyah, dirinya pernah bertanya Rasulullah ﷺ : "Siapakah orang yang paling engkau cintai? Beliau mengatakan: "'Aisyah". Aku bertanya kembali: "Dari kalangan laki-laki? Beliau menjawab: "Ayahnya". (HR. Bukhari no: 3662. Muslim no: 2384)
Imam Dzahabi pernah menyatakan: "Hadits ini merupakan berita yang benar, yang menghancurkan muka orang-orang Syiah Rafidhah, dimana Nabi ﷺ tidaklah mencintai seseorang melainkan karena kebaikannya. Yang mana beliau pernah bersabda:
قال رسول الله ﷺ: « لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً مِنْ أُمَّتِى لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الْإِسْلَامِ ومودته » أخرجه البخاري و مسلم
"Kalau sekiranya aku boleh mengambil kekasih dari kalangan umatku, tentulah aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Akan tetapi, yang ada adalah persaudaraan Islam serta kasih sayang". (HR. Bukhari no: 466. Muslim no: 2382)
Beliau melanjutkan: "Nabi mencintai manusia terbaik dari kalangan umatnya, demikian pula mencintai wanita terbaik dari kalangan umatnya. Maka barangsiapa yang membenci orang yang dicintai oleh Rasulullah ﷺ, ketahuilah bahwa dirinya telah menjadi orang yang amat membenci Allah dan Rasul-Nya. Karena kecintaan Rasulullah kepada 'Aisyah adalah perkara yang sudah sangat gamblang, bukankah kalian mendengar bagaimana para sahabat lebih memilih untuk memberi hadiah kepada Rasulullah pada saat gilirannya 'Aisyah, hal itu tidak lain, karena mereka mengharap hal tersebut lebih menyenangkannya". (Siyar A'lamu Nubala 2/142)
Dalam sebuah hadits lain yang menunjukkan tentang keutamaan 'Aisyah, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
قال رسول الله ﷺ : « كَمَلَ مِنْ الرِّجَالِ كَثِيرٌ وَلَمْ يَكْمُلْ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ » أخرجه البخاري و مسلم
"Laki-laki yang sempurna itu sangatlah banyak, dan dari kalangan wanita, tidak ada yang sempurna kecuali Maryam puterinya Imran, Asiyah istrinya Fir'aun, dan kelebihan 'Aisyah dibanding wanita yang lain adalah seperti garam pada semua makanan". (HR. Bukhari no: 3769. Muslim no: 2431)
'Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagaimana perkataannya ini:
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
'Aisyah radhiyallahu 'anha telah meraih kemuliaan dalam mengurusi Nabi ﷺ di saat sakit dan pada detik-detik akhir kehidupannya. Ummul Mukminin 'Aisyah menuturkan saat-saat yang mengharukan tersebut:
“Telah wafat Rasulullah ﷺ di rumahku, pada saat hari dan giliran beliau menginap di rumahku dan di atas pangkuanku. Ketika itu masuklah Abdurrahman bin Abu Bakar yang sedang membawa siwak yang masih basah, Rasulullah memandangnya seolah-olah menginginkannya, maka aku ambil siwak tersebut kemudian aku kunyah dan aku bersihkan kemudian aku hendak membersihkan gigi beliau ﷺ namun beliau menolaknya. Kemudian beliau membersihkan giginya dengan cara yang sangat baik yang aku belum melihat sekalipun yang lebih baik dari yang beliau kerjakan saat itu.
Selanjutnya beliau mengarahkan pandangannya kepadaku dan meletakkan kedua tangannya sedangkan aku turut mendo’akan beliau sebagaimana do’a Jibril untuk beliau, begitupula Nabi berdo’a dengan do’a tersebut tatkala sakit. Akan tetapi beliau ﷺ tidak berdo’a dengan do’a tersebut. Pandangan beliau kembali mengarah ke langit kemudian bersabda: “Ar-Rafiiqul A’la, segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan diriku dengan dirinya pada hari terakhir kehidupannya di dunia.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad [VI/48], Al-Hakim dalam Ma’rifatush Shahabah [IV/7]. Ia berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini dan begitu pula menurut Adz-Dzahabi.”)
Kecerdasan 'Aisyah radhiyallahu 'anha
'Aisyah radhiyallahu 'anha adalah istri Nabi ﷺ yang sangat cerdas. Beliau termasuk orang yang paling paham tentang silsilah Arab, bait-bait syair mereka, serta seorang yang faqih, dimana banyak dari kalangan para pembesar sahabat yang mengembalikan sebuah permasalahan untuk dimintai fatwanya. Di dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syari'at dinukil dan 'Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.”
Berkata Imam az-Zuhari: "Kalau seandainya dikumpulkan seluruh ilmu manusia dan istri-istri Nabi yang lainnya, tentu ilmunya 'Aisyah lebih luas dibanding ilmunya mereka semua".(Lihat Al-Mustadrak oleh al-Hakim pada bab: Ma’rifatush Shahabah [IV/11])
'Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi ﷺ, sehingga para ahli hadits menempatkan beliau pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. 'Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung ia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rumah 'Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari 'Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki 'Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, 'Aisyah menjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
'Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain 'Aisyah.”
Hisyam bin Urwah menceritakan dari ayahnya yang berkata: “Sungguh aku telah bertemu dengan Aisyah, maka aku tidak mendapatkan seorangpun yang lebih pintar darinya tentang Al-Qur’an, hal-hal yang fardhu, sunnah, sya’ir, yang paling banyak meriwayatkan, sejarah Arab, ilmu nasab, ilmu ini, ilmu itu dan ilmu kesehatan (kedokteran), maka aku bertanya kepada beliau, “Wahai bibi….. kepada siapa anda belajar tentang ilmu kedokteran?” Maka beliau menjawab, “Tatkala aku sakit, maka aku perhatikan gejala-gejalanya dan aku mendengar dari orang-orang menceritakan perihal sakitnya, kemudian aku menghafalnya.” (Lihat Hilyatul Auliya’ [II/49]. Rijalnya tsiqah)
Beliau termasuk orang yang paling dermawan pada zamannya, di dalam kisah yang menjelaskan akan tersebut sangatlah banyak. Pernah suatu ketika dirinya diberi hadiah oleh Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu uang sebanyak 1000 dirham, maka tidaklah sampai matahari tenggelam pada hari itu juga melainkan uang tersebut telah habis dibagi-bagikan untuk orang yang membutuhkannya. (Siyar a'lamu Nubala 2/185-187)
Berkata Hasan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu memuji 'Aisyah di dalam bait sya'irnya:
Kesucian menjadi pakaiannya, tidak ada keraguan lagi
Cukuplah itu sebagai bukti akan kehormatannya
Dirinya lebih dermawan dari Lu'ay bin Ghalib
Kedermawanannya membawa pada kemuliaan
Suci, dimana Allah telah mensucikan kepribadiannya
Membersihkan dari tiap kejelekan dan kedustaan
Jika dirimu telah berkata seperti yang disangka sekelompok kaum
Maka diriku tidak akan mempercayainya
Bagaimana tidak tergerak untuk diriku
Membela keluarga Rasul, tempat merujuk segala soal
Wallahu a'lam bish-shawab