Diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili, Rasul ﷺ bersabda,
"Sesungguhnya Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, beserta penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang berada dalam sarangnya, demikian pula dengan ikan-ikan. Semuanya berdoa untuk orang-orang yang mengajarkan kebajikan pada manusia.” (HR Tirmidzi)
Syeikh az-Zarnuji mengatakan : Kendati para penuntut ilmu telah bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, namun banyak dari mereka tidak mendapat manfaat dari ilmunya. Ini dikarenakan kesalahan dalam cara menuntut ilmu, dan diabaikannya syarat-syarat dalam menuntut ilmu karena barangsiapa salah jalan, tentu akan tersesat dan tidak akan mencapai tujuan.
Diantara syarat yang sering diabaikan oleh para penuntut ilmu sekarang adalah kurang bahkan tidak menghormati guru. Dalam kitab Taysirul Khallaq disebutkan seorang penuntut ilmu haruslah meyakini bahwa guru mempunyai kedudukan seperti orang tua, bahkan bisa lebih tinggi, karena orang tua memelihara jasadnya, tapi guru berusaha memelihara jiwanya. Orang tua memperhatikan urusan dunia kita, sementara guru memperhatikan urusan akhirat kita.
Coba kita perhatikan. Kita mengenal Allah, para Nabi, bahkan kita bisa membaca Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam sehingga bisa menggali lebih dalam syariat Islam namun terkadang kita lupa dari manakah kita mengenal semua itu? Tidaklah mungkin kita kenal semua itu tanpa bimbingan guru. Maka benarlah perkataan ulama,
Seandainya tidak ada guru, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku
Betapa mulianya seorang guru hingga Sayyidina Ali yang digelari sebagai kotanya ilmu berkata:
Aku adalah hamba sahaya dari seseorang yang mengajariku satu huruf, jika ia mau maka ia boleh menjual dan jika ia mau maka ia boleh menjadikan aku sebagai budaknya.
Imam Ahmad banyak mengambil ilmu dari Imam Syafi’i hingga ia berkata: Jika dalam suatu permasalahan tidak aku temui haditsnya maka aku memutuskan hukum dengan perkataan Imam Syafi’i.
Maka sebagai balasannya Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
Aku mendo'akan Al-Imam asy-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Aku berdo'a, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.” (Al-Baihaqi, Manaqib al-Imam asy-Syafi’i)
Suatu ketika Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthas (Penyusun Ratib al-Atthas) sedang duduk bersama para santrinya dan salah satunya bernama Ali Barash yang sedang memijit kaki beliau. Beliau berkata kepada para santri : "Kita kedatangan tamu istimewa Nabi Khidir dan sekarang beliau sudah berada di gerbang pondok". Maka serentak para santri berhamburan untuk menyambut kehadiran Nabi Khidir kecuali Ali Barash, ia tetap tenang memijit gurunya. Habib Umar bertanya kepada Ali: "Yaa Ali, kenapa kau tidak ikut santri yang lain?" Ali menjawab: "Wahai guruku, Nabi Khidir datang untuk menemuimu, untuk apa aku lepaskan tanganku dari kakimu karena kedudukanmu sebagai guru di mataku jauh lebih mulia dibandingkan Nabi Khidir". Mendengar jawaban ini, Habib Umar sangatlah ridho kepada muridnya ini dan beliaupun berkata: "Tidak akan kuterima hadiah fatihah dari siapapun kepadaku kecuali disertai dengan nama Ali Barash".
Subhanallah! Lantas bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memuliakan guru kita dimana kita banyak mengambil ilmu dari mereka? Sudahkah kita memposisikan guru seperti yang dilakukan Syeikh Ali Barash? Sudahkah kita mendo'akan mereka seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad kepada Asy-Syafi’i?
Astagfirullah. Betapa bakhilnya penuntut ilmu zaman ini jangankan memuliakan guru, merekapun enggan menyebut nama guru sebagai sumber ilmunya, padahal disitulah letak keberkahan ilmu. Jalaluddin Abdrurrahman bin Abu Bakar mengatakan,
Di antara keberkahan ilmu dan wujud mensyukurinya ialah menisbatkan setiap perkataan kepada orang yang mengatakannya.
Hilangnya keberkahan itu diakibatkan seorang penuntut ilmu telah menjadi pendusta, Simak sabda Nabi ﷺ,
“Orang yang berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian kedustaan”. (HR Bukhari)
Bahkan ada ulama yang menilai bahwa perbuatan tersebut termasuk sariqah (pencurian) karena ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Ia juga dianggap sebagai penipu karena ia menipu orang lain dengan pembentukan opini bahwa perkataan itu adalah hasil dari jerih payahnya sendiri. Wallahu a’lam. Semoga kita menjadi orang yang memuliakan guru-guru kita dan ilmu mereka sehingga setiap kita berhak mendapatkan ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.
Mari kita do'akan guru-guru kita semoga mereka senantiasa mendapat perlindungan dan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Aamiin yaa Rabbal 'alamin..
[Ustadz Muhammad Al-Habsyi]
إنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِيْ جِحرِهَا وَحَتَّى الْحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
"Sesungguhnya Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, beserta penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang berada dalam sarangnya, demikian pula dengan ikan-ikan. Semuanya berdoa untuk orang-orang yang mengajarkan kebajikan pada manusia.” (HR Tirmidzi)
Syeikh az-Zarnuji mengatakan : Kendati para penuntut ilmu telah bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, namun banyak dari mereka tidak mendapat manfaat dari ilmunya. Ini dikarenakan kesalahan dalam cara menuntut ilmu, dan diabaikannya syarat-syarat dalam menuntut ilmu karena barangsiapa salah jalan, tentu akan tersesat dan tidak akan mencapai tujuan.
Diantara syarat yang sering diabaikan oleh para penuntut ilmu sekarang adalah kurang bahkan tidak menghormati guru. Dalam kitab Taysirul Khallaq disebutkan seorang penuntut ilmu haruslah meyakini bahwa guru mempunyai kedudukan seperti orang tua, bahkan bisa lebih tinggi, karena orang tua memelihara jasadnya, tapi guru berusaha memelihara jiwanya. Orang tua memperhatikan urusan dunia kita, sementara guru memperhatikan urusan akhirat kita.
Coba kita perhatikan. Kita mengenal Allah, para Nabi, bahkan kita bisa membaca Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam sehingga bisa menggali lebih dalam syariat Islam namun terkadang kita lupa dari manakah kita mengenal semua itu? Tidaklah mungkin kita kenal semua itu tanpa bimbingan guru. Maka benarlah perkataan ulama,
لولا المربي، ما عرفت ربي
Seandainya tidak ada guru, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku
Betapa mulianya seorang guru hingga Sayyidina Ali yang digelari sebagai kotanya ilmu berkata:
أنا عبد من علمنى حرفا واحدا، إن شاء باع، وإن شاء استرق
Aku adalah hamba sahaya dari seseorang yang mengajariku satu huruf, jika ia mau maka ia boleh menjual dan jika ia mau maka ia boleh menjadikan aku sebagai budaknya.
Imam Ahmad banyak mengambil ilmu dari Imam Syafi’i hingga ia berkata: Jika dalam suatu permasalahan tidak aku temui haditsnya maka aku memutuskan hukum dengan perkataan Imam Syafi’i.
Maka sebagai balasannya Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ
Aku mendo'akan Al-Imam asy-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Aku berdo'a, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.” (Al-Baihaqi, Manaqib al-Imam asy-Syafi’i)
Suatu ketika Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthas (Penyusun Ratib al-Atthas) sedang duduk bersama para santrinya dan salah satunya bernama Ali Barash yang sedang memijit kaki beliau. Beliau berkata kepada para santri : "Kita kedatangan tamu istimewa Nabi Khidir dan sekarang beliau sudah berada di gerbang pondok". Maka serentak para santri berhamburan untuk menyambut kehadiran Nabi Khidir kecuali Ali Barash, ia tetap tenang memijit gurunya. Habib Umar bertanya kepada Ali: "Yaa Ali, kenapa kau tidak ikut santri yang lain?" Ali menjawab: "Wahai guruku, Nabi Khidir datang untuk menemuimu, untuk apa aku lepaskan tanganku dari kakimu karena kedudukanmu sebagai guru di mataku jauh lebih mulia dibandingkan Nabi Khidir". Mendengar jawaban ini, Habib Umar sangatlah ridho kepada muridnya ini dan beliaupun berkata: "Tidak akan kuterima hadiah fatihah dari siapapun kepadaku kecuali disertai dengan nama Ali Barash".
Subhanallah! Lantas bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memuliakan guru kita dimana kita banyak mengambil ilmu dari mereka? Sudahkah kita memposisikan guru seperti yang dilakukan Syeikh Ali Barash? Sudahkah kita mendo'akan mereka seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad kepada Asy-Syafi’i?
Astagfirullah. Betapa bakhilnya penuntut ilmu zaman ini jangankan memuliakan guru, merekapun enggan menyebut nama guru sebagai sumber ilmunya, padahal disitulah letak keberkahan ilmu. Jalaluddin Abdrurrahman bin Abu Bakar mengatakan,
ومن بركة العلم وشكره عزْوُه إلى قائله
Di antara keberkahan ilmu dan wujud mensyukurinya ialah menisbatkan setiap perkataan kepada orang yang mengatakannya.
Hilangnya keberkahan itu diakibatkan seorang penuntut ilmu telah menjadi pendusta, Simak sabda Nabi ﷺ,
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَىْ زُورٍ
“Orang yang berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian kedustaan”. (HR Bukhari)
Bahkan ada ulama yang menilai bahwa perbuatan tersebut termasuk sariqah (pencurian) karena ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Ia juga dianggap sebagai penipu karena ia menipu orang lain dengan pembentukan opini bahwa perkataan itu adalah hasil dari jerih payahnya sendiri. Wallahu a’lam. Semoga kita menjadi orang yang memuliakan guru-guru kita dan ilmu mereka sehingga setiap kita berhak mendapatkan ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.
Mari kita do'akan guru-guru kita semoga mereka senantiasa mendapat perlindungan dan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Aamiin yaa Rabbal 'alamin..
Related Post