Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa selepas perang Khandaq, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah ﷺ di waktu Ashar, menyampaikan wahyu agar beliau dan kaum muslimin bergegas menuju ke perkampungan Yahudi Bani Quraidhah, dan sesegera mungkin meninggalkan Khandaq. Mendapat mandat itu, Rasulullah ﷺ bergegas memerintah para sahabat segera pergi ke tempat yang dimaksud, seraya bersabda :
“Ingatlah, janganlah salah seorang diantara kalian melaksanakan shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah” (HR. Bukhari).
Memahami sabda Rasulullah ﷺ tersebut, para sahabat terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memahami perintah tersebut apa adanya, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar di kampung Quraidhah. Sedangkan sisanya tidak memahami demikian. Bagi mereka, inti dari sabda tersebut adalah agar mereka segera pergi meninggalkan Khandaq. Adapun terkait shalat Ashar, bukanlah menjadi inti yang dikehendaki Baginda Nabi. Sehingga merekapun mendirikannya di tengah perjalanan. Saat perihal perbedaan penafsiran tersebut sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau tidak menegur salah satunya.
Menurut Dr. Said Ramadhan al-Buthy, peristiwa tersebut menjadi landasan bahwa terjadinya perbedaan di ranah furu’ (cabang agama) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari, dan hal tersebut langsung mendapat legitimasi dari Rasulullah sendiri. Andai pemahaman terhadap teks syariah itu harus tunggal, tentu Rasulullah ﷺ akan menegur serta menyalahkan salah satunya. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Keniscayaan adanya perbedaan tersebut semakin diperkuat oleh sejumlah faktor, diantaranya :
(1) perbedaan kadar tingkat kepahaman yang dimiliki setiap orang, tak terkecuali para sahabat Nabi,
(2) karakter teks-teks wahyu (Al-Qur'an dan hadits) yang didominasi oleh teks yang sifatnya multi-interpretasi (dzanniyud-dallah),
dan yang terakhir (3) karakter bahasa Arab yang menjadi sarana utama wahyu memiliki sejumlah piranti kebahasaan yang membuka peluang untuk banyak penafsiran, seperti haqiqoh, majaz, musytarok, dan lain sebagainya. Sehingga dari situ, dapat disimpulkan bahwa perbedaan penafsiran menjadi sunnatullah yang pasti terjadi.
Lantas pertanyaannya, mengapa Allah – sebagai Dzat yang menurunkan wahyu – menghendaki agar hukum-hukum syariah-Nya bersifat luas dan terbuka untuk lebih dari satu penafsiran? Dalam hal ini, mari kita simak pernyataan salah satu Ulama generasi salaf, Al-Imam ‘Aun bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu sebagaimana dilansir oleh Ad-Darimi dalam Sunan-nya,
”Aku tidak suka seandainya para sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka semua selalu bersepakat atas segala sesuatu, maka jika ada salah seorang beramal tidak sesuai dengan hal tersebut, maka dia dianggap telah meninggalkan As-Sunnah. Namun jika mereka berbeda pendapat, dan seseorang mengamalkan salah satu pendapat mereka, maka dia tetap terhitung sedang mengamalkan As-Sunnah” (Sunan ad-Darimi).
Senada dengan itu, Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz pernah berkata,
“Aku tidak suka seandainya para sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat. Sebab seandainya hanya ada satu pendapat saja, maka manusia berada dalam kesusahan”.
Pernyataan mereka tersebut menyiratkan beberapa hal.
Pertama, bahwa perbedaan dalam memahami teks wahyu sudah terjadi bahkan diantara para sahabat Nabi.
Kedua, dalam perbedaan di ranah furuiyyah, masing-masing sejatinya telah mengamalkan syariat sesuai dengan hasil ijtihad yang diyakini kebenarannya.
Dan ketiga, bahwa perbedaan tersebut adalah rahmat, karena membawa umat pada kemudahan dalam menjalankan ajaran agamanya. Dan inilah hikmah terbesar mengapa kebanyakan teks-teks syariat yang tertuang dalam Al-Qur'an dan hadits dikehendaki oleh Allah bersifat dzannî.
Karena perbedaan adalah suatu yang niscaya dan pasti terjadi, maka sikap yang wajib dilakukan adalah saling menghargai dan tidak fanatik terhadap satu pendapat tertentu. Dalam hal ini, Hadhratusy-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari berkata,
“Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid benar, dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini.”
Barangkali ada yang bertanya, bukankah Allah dalam sejumlah ayat Al-Qur'an mencela perbedaan pendapat? Sebagaimana yang bisa kita baca di QS Al-Anfal : 46, dan QS Ar-Rum : 31-32. Jawabannya adalah, yang dimaksud perbedaan yang dicela pada ayat-ayat tersebut adalah perbedaan pada ranah pokok agama (Ushuluddin) yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’î, bukan perkara furuiyyah yang ditetapkan dengan dalil dzannî. Imam al-Qurtuby berkata :
“Ayat tersebut sama sekali bukan dalil atas keharaman perbedaan pendapat dalam masalah furuiyyah. Sebab hal tersebut bukan disebut ikhtilaf (yang hakiki). Ikhtilaf yang dicela dalam ayat tersebut adalah sebuah sikap perbedaan pendapat yang tidak bisa dikumpulkan serta dikompromikan. Adapun permasalahan yang sifatnya ijtihadi, perbedaan pendapat yang ada timbul berdasar pada perbedaan penyimpulan makna. Dan para sahabat berbeda pendapat dalam menentukan hukum suatu masalah, tapi meski demikian mereka dapat harmonis ”
Apa yang dipaparkan Imam al-Qurthubi di atas juga disepakati oleh para mufassir lainnya dari klasik hingga kontemporer. Dr. Wahbah Zuhaili berkata,
“Perbedaan yang terlarang adalah perbedaan dalam soal akidah dan pokok agama. Adapun perbedaan fuqaha dalam masalah furu’ adalah sangat terpuji, tidak tercela, dan bukti kemudahan syari’at”
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan, bahwa perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang mustahil dihindari. Dan hal itu terbukti bahwa para sahabat sebagai generasi terbaik umat ini telah mencontohkannya. Bahkan lebih dari itu, perbedaan madzhab fikih adalah salah satu bentuk kemudahan syariat Islam, dimana ada sekian banyak opsi pendapat antar madzhab bahkan tak jarang antar ulama dalam satu madzhab.
Maka sangat jelas seterang mentari, bahwa ajakan kaum anti-madzhab untuk meninggalkan madzhab-madzhab fikih yang sudah ada, dengan inisiatif membentuk madzhab tunggal versi mereka, adalah ajakan yang sulit dinalar oleh akal sehat, dan pasti akan berujung sia-sia. Sebab hal itu sama saja ingin melabrak sunnatullah, sebagaimana keinginan agar matahari terbit dari barat, disamping juga pasti akan bertabrakan dengan fakta sejarah yang ada.
Padahal, jika kita telaah lebih teliti, ajakan kaum anti-madzhab sejatinya adalah kampanye yang picik. Sebab dengan mengajak meninggalkan madzhab, mereka sejatinya hendak menggiring umat Islam mengikuti madzhab baru, yaitu madzhab mereka sendiri. Dan tampaknya, fenomena ini sudah ada sejak lama. Sehingga Al-Imam al-Hafidz Jalaluddîn as-Suyuthî (w. 911 H) pernah menyematkan gelar bodoh bagi pengikut aliran ini. Beliau berkata,
“Ketahuilah sesungguhnya adanya perbedaan madzhab dalam agama ini merupakan suatu nikmat yang besar, dan keutamaan yang agung. Ia memiliki rahasia tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh mereka yang berilmu, dan tertutup bagi orang yang bodoh. Hingga pada suatu hari aku pernah mendengar seorang bodoh berkata : “Sesungguhnya Nabi datang membawa syariat yang satu. Lantas dari mana madzhab empat ini berasal?!”
(ألا لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة (رواه البخاري
“Ingatlah, janganlah salah seorang diantara kalian melaksanakan shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah” (HR. Bukhari).
Memahami sabda Rasulullah ﷺ tersebut, para sahabat terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memahami perintah tersebut apa adanya, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar di kampung Quraidhah. Sedangkan sisanya tidak memahami demikian. Bagi mereka, inti dari sabda tersebut adalah agar mereka segera pergi meninggalkan Khandaq. Adapun terkait shalat Ashar, bukanlah menjadi inti yang dikehendaki Baginda Nabi. Sehingga merekapun mendirikannya di tengah perjalanan. Saat perihal perbedaan penafsiran tersebut sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau tidak menegur salah satunya.
Menurut Dr. Said Ramadhan al-Buthy, peristiwa tersebut menjadi landasan bahwa terjadinya perbedaan di ranah furu’ (cabang agama) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari, dan hal tersebut langsung mendapat legitimasi dari Rasulullah sendiri. Andai pemahaman terhadap teks syariah itu harus tunggal, tentu Rasulullah ﷺ akan menegur serta menyalahkan salah satunya. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Keniscayaan adanya perbedaan tersebut semakin diperkuat oleh sejumlah faktor, diantaranya :
(1) perbedaan kadar tingkat kepahaman yang dimiliki setiap orang, tak terkecuali para sahabat Nabi,
(2) karakter teks-teks wahyu (Al-Qur'an dan hadits) yang didominasi oleh teks yang sifatnya multi-interpretasi (dzanniyud-dallah),
dan yang terakhir (3) karakter bahasa Arab yang menjadi sarana utama wahyu memiliki sejumlah piranti kebahasaan yang membuka peluang untuk banyak penafsiran, seperti haqiqoh, majaz, musytarok, dan lain sebagainya. Sehingga dari situ, dapat disimpulkan bahwa perbedaan penafsiran menjadi sunnatullah yang pasti terjadi.
Lantas pertanyaannya, mengapa Allah – sebagai Dzat yang menurunkan wahyu – menghendaki agar hukum-hukum syariah-Nya bersifat luas dan terbuka untuk lebih dari satu penafsiran? Dalam hal ini, mari kita simak pernyataan salah satu Ulama generasi salaf, Al-Imam ‘Aun bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu sebagaimana dilansir oleh Ad-Darimi dalam Sunan-nya,
”Aku tidak suka seandainya para sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka semua selalu bersepakat atas segala sesuatu, maka jika ada salah seorang beramal tidak sesuai dengan hal tersebut, maka dia dianggap telah meninggalkan As-Sunnah. Namun jika mereka berbeda pendapat, dan seseorang mengamalkan salah satu pendapat mereka, maka dia tetap terhitung sedang mengamalkan As-Sunnah” (Sunan ad-Darimi).
Senada dengan itu, Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz pernah berkata,
“Aku tidak suka seandainya para sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat. Sebab seandainya hanya ada satu pendapat saja, maka manusia berada dalam kesusahan”.
Pernyataan mereka tersebut menyiratkan beberapa hal.
Pertama, bahwa perbedaan dalam memahami teks wahyu sudah terjadi bahkan diantara para sahabat Nabi.
Kedua, dalam perbedaan di ranah furuiyyah, masing-masing sejatinya telah mengamalkan syariat sesuai dengan hasil ijtihad yang diyakini kebenarannya.
Dan ketiga, bahwa perbedaan tersebut adalah rahmat, karena membawa umat pada kemudahan dalam menjalankan ajaran agamanya. Dan inilah hikmah terbesar mengapa kebanyakan teks-teks syariat yang tertuang dalam Al-Qur'an dan hadits dikehendaki oleh Allah bersifat dzannî.
Karena perbedaan adalah suatu yang niscaya dan pasti terjadi, maka sikap yang wajib dilakukan adalah saling menghargai dan tidak fanatik terhadap satu pendapat tertentu. Dalam hal ini, Hadhratusy-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari berkata,
“Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid benar, dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini.”
Barangkali ada yang bertanya, bukankah Allah dalam sejumlah ayat Al-Qur'an mencela perbedaan pendapat? Sebagaimana yang bisa kita baca di QS Al-Anfal : 46, dan QS Ar-Rum : 31-32. Jawabannya adalah, yang dimaksud perbedaan yang dicela pada ayat-ayat tersebut adalah perbedaan pada ranah pokok agama (Ushuluddin) yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’î, bukan perkara furuiyyah yang ditetapkan dengan dalil dzannî. Imam al-Qurtuby berkata :
“Ayat tersebut sama sekali bukan dalil atas keharaman perbedaan pendapat dalam masalah furuiyyah. Sebab hal tersebut bukan disebut ikhtilaf (yang hakiki). Ikhtilaf yang dicela dalam ayat tersebut adalah sebuah sikap perbedaan pendapat yang tidak bisa dikumpulkan serta dikompromikan. Adapun permasalahan yang sifatnya ijtihadi, perbedaan pendapat yang ada timbul berdasar pada perbedaan penyimpulan makna. Dan para sahabat berbeda pendapat dalam menentukan hukum suatu masalah, tapi meski demikian mereka dapat harmonis ”
Apa yang dipaparkan Imam al-Qurthubi di atas juga disepakati oleh para mufassir lainnya dari klasik hingga kontemporer. Dr. Wahbah Zuhaili berkata,
“Perbedaan yang terlarang adalah perbedaan dalam soal akidah dan pokok agama. Adapun perbedaan fuqaha dalam masalah furu’ adalah sangat terpuji, tidak tercela, dan bukti kemudahan syari’at”
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan, bahwa perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang mustahil dihindari. Dan hal itu terbukti bahwa para sahabat sebagai generasi terbaik umat ini telah mencontohkannya. Bahkan lebih dari itu, perbedaan madzhab fikih adalah salah satu bentuk kemudahan syariat Islam, dimana ada sekian banyak opsi pendapat antar madzhab bahkan tak jarang antar ulama dalam satu madzhab.
Maka sangat jelas seterang mentari, bahwa ajakan kaum anti-madzhab untuk meninggalkan madzhab-madzhab fikih yang sudah ada, dengan inisiatif membentuk madzhab tunggal versi mereka, adalah ajakan yang sulit dinalar oleh akal sehat, dan pasti akan berujung sia-sia. Sebab hal itu sama saja ingin melabrak sunnatullah, sebagaimana keinginan agar matahari terbit dari barat, disamping juga pasti akan bertabrakan dengan fakta sejarah yang ada.
Padahal, jika kita telaah lebih teliti, ajakan kaum anti-madzhab sejatinya adalah kampanye yang picik. Sebab dengan mengajak meninggalkan madzhab, mereka sejatinya hendak menggiring umat Islam mengikuti madzhab baru, yaitu madzhab mereka sendiri. Dan tampaknya, fenomena ini sudah ada sejak lama. Sehingga Al-Imam al-Hafidz Jalaluddîn as-Suyuthî (w. 911 H) pernah menyematkan gelar bodoh bagi pengikut aliran ini. Beliau berkata,
“Ketahuilah sesungguhnya adanya perbedaan madzhab dalam agama ini merupakan suatu nikmat yang besar, dan keutamaan yang agung. Ia memiliki rahasia tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh mereka yang berilmu, dan tertutup bagi orang yang bodoh. Hingga pada suatu hari aku pernah mendengar seorang bodoh berkata : “Sesungguhnya Nabi datang membawa syariat yang satu. Lantas dari mana madzhab empat ini berasal?!”