Di beberapa kitab fikih, seperti Fathul Mu’in, syari’at wudhu itu diperintahkan bersamaan dengan diperintahkannya shalat. Artinya, perintah wudhu itu bersamaan dengan pertama kalinya Nabi ﷺ melaksanakan shalat Dzuhur sebagai shalat 5 waktu. Dengan kata lain, shalat Dzuhur itu disyari’atkan sebelum Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, tepatnya pada tahun ke-10 kenabian Muhammad ﷺ.
Sementara itu, Imam al-Qalyubi, penulis Hasyiyah Qalyubi ‘alal Mahalli, memberikan sejumlah pendapat lain. Beliau menyampaikan pendapat bahwa wudhu itu baru disyari’atkan pada tahun 16 kenabian. Artinya, wudhu itu disyari’atkan setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah. Namun demikian, al-Qalyubi juga menghadirkan pendapat yang menyatakan bahwa syari’at wudhu merupakan syari’at umat sebelum Islam datang.
Riwayat al-Baihaqi dalam Al-Dalail al-Nubuwwah menyebutkan bahwa wudhu itu disyari’atkan bersamaan dengan pengajaran shalat. Saat itu, malaikat Jibril langsung mengajari Nabi ﷺ mengenai wudhu dan shalat.
“Dari Muhammad ibn Ishaq berkata: bahwa Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dan meyakini kebenaran ajarannya. Kemudian, Jibril ‘alaihissalam mendatangi Rasulullah ﷺ ketika sudah (diturunkan perintah) diwajibkan shalat. Lalu, Malaikat Jibril menekan tumitnya di salah satu sisi lembah, lalu memanucurlah mata air dingin dan digunakan oleh malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ﷺ berwudhu, kemudian mereka berdua shalat dua raka’at dan empat sujud. Setelahnya, Rasulullah ﷺ pulang dan mata airnya itu dijadikan oleh Allah tetap memancur, senanglah perasaan Rasulullah dan kembali ke mata air itu bersama Khadijah untuk melakukan shalat. Keduanya berwudhu seperti yang dilakukan Jibril, kemudia shalat dua raka’at dan empat sujud secara sembunyi-sembunyi” (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah).
Sementara itu, pendapat yang mengatakan bahwa wudhu itu baru disyari’atkan setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, berdasarakan asbab al-nuzul ayat 5 surah Al-Maidah ini, wa idza qumtum ilas shalati fagsilu wujuhakum dan seterusnya. Tahir bin ‘Asyur, mufasir asal Tunisia, memaparkan bahwa surah Al-Maidah adalah di antara surat yang turun paling akhir. Karenanya, ayat ini tidak menunjukkan bahwa wudhu itu baru disyari’atkan ketika Nabi sudah hijrah ke Madinah.
Tahir bin ‘Asyur mendukung pendapat yang menyatakan bahwa wudhu itu sudah diajarkan bersamaan dengan diajarkannya shalat. Artinya, pendapat ini mendukung hadits riwayat al-Baihaqi di atas. Sementara itu, kedudukan ayat ini, menurut Ibnu ‘Asyur, lebih menekankan paparan tentang beberapa nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada umat manusia yang bertakwa.
Selain itu, Ibnu Hazm dalam As-Sirah al-Halbiyah, seperti dikutip Jawwad Ali, juga menyatakan bahwa perintah wudhu itu makiyyun fi al-fardh, wa madaniyyun fi al-tilawah (diwajibkan di Mekkah, namun diturunkan nash Qur’annya di Madinah).
Wallahu a’lam.
Dikutip dari bincangsyariah
Sementara itu, Imam al-Qalyubi, penulis Hasyiyah Qalyubi ‘alal Mahalli, memberikan sejumlah pendapat lain. Beliau menyampaikan pendapat bahwa wudhu itu baru disyari’atkan pada tahun 16 kenabian. Artinya, wudhu itu disyari’atkan setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah. Namun demikian, al-Qalyubi juga menghadirkan pendapat yang menyatakan bahwa syari’at wudhu merupakan syari’at umat sebelum Islam datang.
Riwayat al-Baihaqi dalam Al-Dalail al-Nubuwwah menyebutkan bahwa wudhu itu disyari’atkan bersamaan dengan pengajaran shalat. Saat itu, malaikat Jibril langsung mengajari Nabi ﷺ mengenai wudhu dan shalat.
عن محمد بن إسحاق قال وكانت خديجة أول من آمن بالله ورسوله وصدق بما جاء به قال ثم أن جبريل عليه السلام أتى رسول الله حين افترضت عليه الصلاة فهمز له بعقبه في ناحية الوادي فانفجرت له عين من ماء مزن فتوضأ جبريل ومحمد عليهما السلام ثم صليا ركعتين وسجدا أربع سجدات ثم رجع النبي قد أقر الله عينه وطابت نفسه وجاءه ما يحب من الله فأخذ بيد خديجة حتى أتى بها العين فتوضأ كما توضأ جبريل ثم ركع ركعتين وأربع سجدات هو وخديجة ثم كان هو وخديجة يصليان سرا
“Dari Muhammad ibn Ishaq berkata: bahwa Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dan meyakini kebenaran ajarannya. Kemudian, Jibril ‘alaihissalam mendatangi Rasulullah ﷺ ketika sudah (diturunkan perintah) diwajibkan shalat. Lalu, Malaikat Jibril menekan tumitnya di salah satu sisi lembah, lalu memanucurlah mata air dingin dan digunakan oleh malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ﷺ berwudhu, kemudian mereka berdua shalat dua raka’at dan empat sujud. Setelahnya, Rasulullah ﷺ pulang dan mata airnya itu dijadikan oleh Allah tetap memancur, senanglah perasaan Rasulullah dan kembali ke mata air itu bersama Khadijah untuk melakukan shalat. Keduanya berwudhu seperti yang dilakukan Jibril, kemudia shalat dua raka’at dan empat sujud secara sembunyi-sembunyi” (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah).
Sementara itu, pendapat yang mengatakan bahwa wudhu itu baru disyari’atkan setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, berdasarakan asbab al-nuzul ayat 5 surah Al-Maidah ini, wa idza qumtum ilas shalati fagsilu wujuhakum dan seterusnya. Tahir bin ‘Asyur, mufasir asal Tunisia, memaparkan bahwa surah Al-Maidah adalah di antara surat yang turun paling akhir. Karenanya, ayat ini tidak menunjukkan bahwa wudhu itu baru disyari’atkan ketika Nabi sudah hijrah ke Madinah.
Tahir bin ‘Asyur mendukung pendapat yang menyatakan bahwa wudhu itu sudah diajarkan bersamaan dengan diajarkannya shalat. Artinya, pendapat ini mendukung hadits riwayat al-Baihaqi di atas. Sementara itu, kedudukan ayat ini, menurut Ibnu ‘Asyur, lebih menekankan paparan tentang beberapa nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada umat manusia yang bertakwa.
Selain itu, Ibnu Hazm dalam As-Sirah al-Halbiyah, seperti dikutip Jawwad Ali, juga menyatakan bahwa perintah wudhu itu makiyyun fi al-fardh, wa madaniyyun fi al-tilawah (diwajibkan di Mekkah, namun diturunkan nash Qur’annya di Madinah).
Wallahu a’lam.
Dikutip dari bincangsyariah