KH. Arwani Amin merupakan sosok ulama kharismatik yang mencintai Al-Qur'an. Beliau dilahirkan di Kudus pada Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H, bertepatan dengan 5 September 1905 M. Sewaktu kecil ia bernama Arwan, nama Arwani beliau gunakan setelah kepulangan beliau dari ibadah haji yang pertama pada tahun 1927 M, dan “Amin” adalah nama yang beliau ‘warisi’ dari ayahnya.
Ayah beliau bernama H. Amin Said, sementara ibunya bernama Hj. Wanifah. Semasa hidup, ayah beliau merupakan sosok yang sangat mencintai Al-Qur'an. Bahkan, menurut cerita, H. Amin selalu mengkhatamkan Al-Qur'an setiap seminggu sekali. Tidak heran jika putra-putrinya menjadi para pecinta Al-Qur'an di sepanjang hidupnya.
Sejak kecil, anak kedua dari 12 bersaudara ini sudah dekat dengan Al-Qur'an dan ilmu agama. Beliau telah belajar pada para ulama di daerah Kudus. Beberapa guru beliau antara lain adalah KH. Raden Asnawi, KH. Imam Haramain yang juga masih merupakan kakeknya, dan KH. Abdullah Sajad yang kemudian menjadi kakek mertuanya atau kakek dari istri beliau, Nyai Naqiyul Khod.
Sejak kecil, beliau memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, yang terletak di sebelah utara Menara Kudus. Di madrasah tersebut, pendiri pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an ini mempelajari ilmu-ilmu agama seperti fikih, tajwid, nahwu, shorof, dan ilmu lain. Ketika remaja beliau dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak mudah putus asa. Setelah beberapa lama belajar di Kudus, beliau melanjutkan belajar di pesantren luar Kudus. Beberapa pesantren tersebut antara lain Pondok Jamsaren (Solo), Pondok Tebuireng (Jombang), Pondok Al-Munawwir (Yogyakarta), dan Pondok Popongan (Solo).
Selama tujuh tahun (1919-1926) belajar di Pondok Jamsaren beliau dikenal sebagai santri yang cerdas dan sering diminta oleh gurunya, KH. Idris, untuk mengajar santri yang lain. Kemudian beliau melanjutkan ke Pesantren Tebuireng dan berguru kepada KH. Hasyim Asy’ari selama empat tahun (1926-1930). Di sana beliau juga diminta untuk mengajar santri lain. Setelah itu, penulis kitab Faidl al-Barakat ini memperdalam ilmu Al-Qur'an kepada KH. Munawwir Krapyak, Yogyakarta selama kurang lebih 10 tahun (1930-1940). Di sini beliau memperdalam ilmu Al-Qur'an, baik bin-nadhor maupun bil-ghaib.
Berkat ketekunannya, beliau berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur'an selama dua tahun, dan mengkhatamkan Qira’ah Sab’iyyahdalam kurun waktu 9 tahun dan mendapatkan ijazah dari Kyai Munawwir. Bahkan KH. Munawwir juga berpesan kepada santri yang lain jika tidak sempat belajar dengan beliau, agar belajar kepada KH. Arwani Amin. Setelah menyelesaikan Qira’at Sab’iyyah, beliau memohon izin untuk boyong kembali ke Kudus.
Disamping belajar Al-Qur'an, sosok yang dikenal santun ini juga belajar thariqah. Ilmu ini beliau pelajari langsung dari Kyai Sirojuddin di Undaan, Kudus. Hanya saja, sebelum KH. Arwani khatam, KH. Sirojuddin telah terlebih dahulu wafat. Akhirnya beliau belajar kepada KH. Muhammad Mansur Popongan, Solo. KH. Arwani mendalami thariqoh dalam kurun waktu sepuluh tahun. Selama menjadi santri KH. Mansur, mursyid tarekat Naqsabandiyah Kudus ini adalah orang yang sangat taat kepada gurunya.
KH. Arwani Amin menikah dengan salah seorang puteri asal Kudus bernama Naqiyul Khod yang merupakan cucu dari kyai beliau, KH. Abdullah Sajad. Sebelum menikah dengan cucu sang guru, KH. Arwani sempat diminta menjadi menantu oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika nyantri di Jombang dan KH. Munawwir di Krapyak, namun beliau mengikuti wasiat sang kakek, KH. Haramain, yang berpesan agar H. Amin, ayah beliau, berbesan dengan orang Kudus sendiri. Pernikahan beliau berlangsung pada tahun 1935.
Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai dua orang puteri dan dua orang putera. Puteri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zakhali (Ulya) yang meninggal sewaktu masih bayi. Sedangkan kedua putera beliau adalah KH. Ulin Nuha Arwani dan KH. Ulil Albab Arwani yang hingga saat ini meneruskan memimpin pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an dan thoriqoh. Beliau juga mengangkat seorang putera yakni KH. Mansur yang kembali ke rahmatullah pada tahun 2004 silam.
Pada tanggal 1 Oktober 1994 M yang bertepatan dengan 25 Rabiul Akhir 1415 H, KH. Arwani Amin kembali ke rahmatullah setelah sekian lama berjuang untuk agama dan masyarakat. Beliau mewariskan beberapa wasiat dan karya. Salah satu karya beliau adalah Faidl al Barokat dan beberapa karya Kyai besar yang sempat ditashihnya. Beliau juga mencetak santri yang kelak menjadi Kyai besar seperti KH. Abdullah Salam (Kajen, Pati), KH. Tamyiz (Kajen, Pati), KH. Salamun (Kudus), K. Hisyam (Kudus), KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus) dan masih banyak lagi. Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus yang menjadi kiblat pendidikan Al-Qur'an di Jawa Tengah.
Sumber : Majalah Arwaniyyah Edisi 12 1436 H
Ayah beliau bernama H. Amin Said, sementara ibunya bernama Hj. Wanifah. Semasa hidup, ayah beliau merupakan sosok yang sangat mencintai Al-Qur'an. Bahkan, menurut cerita, H. Amin selalu mengkhatamkan Al-Qur'an setiap seminggu sekali. Tidak heran jika putra-putrinya menjadi para pecinta Al-Qur'an di sepanjang hidupnya.
Sejak kecil, anak kedua dari 12 bersaudara ini sudah dekat dengan Al-Qur'an dan ilmu agama. Beliau telah belajar pada para ulama di daerah Kudus. Beberapa guru beliau antara lain adalah KH. Raden Asnawi, KH. Imam Haramain yang juga masih merupakan kakeknya, dan KH. Abdullah Sajad yang kemudian menjadi kakek mertuanya atau kakek dari istri beliau, Nyai Naqiyul Khod.
Sejak kecil, beliau memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, yang terletak di sebelah utara Menara Kudus. Di madrasah tersebut, pendiri pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an ini mempelajari ilmu-ilmu agama seperti fikih, tajwid, nahwu, shorof, dan ilmu lain. Ketika remaja beliau dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak mudah putus asa. Setelah beberapa lama belajar di Kudus, beliau melanjutkan belajar di pesantren luar Kudus. Beberapa pesantren tersebut antara lain Pondok Jamsaren (Solo), Pondok Tebuireng (Jombang), Pondok Al-Munawwir (Yogyakarta), dan Pondok Popongan (Solo).
Selama tujuh tahun (1919-1926) belajar di Pondok Jamsaren beliau dikenal sebagai santri yang cerdas dan sering diminta oleh gurunya, KH. Idris, untuk mengajar santri yang lain. Kemudian beliau melanjutkan ke Pesantren Tebuireng dan berguru kepada KH. Hasyim Asy’ari selama empat tahun (1926-1930). Di sana beliau juga diminta untuk mengajar santri lain. Setelah itu, penulis kitab Faidl al-Barakat ini memperdalam ilmu Al-Qur'an kepada KH. Munawwir Krapyak, Yogyakarta selama kurang lebih 10 tahun (1930-1940). Di sini beliau memperdalam ilmu Al-Qur'an, baik bin-nadhor maupun bil-ghaib.
Berkat ketekunannya, beliau berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur'an selama dua tahun, dan mengkhatamkan Qira’ah Sab’iyyahdalam kurun waktu 9 tahun dan mendapatkan ijazah dari Kyai Munawwir. Bahkan KH. Munawwir juga berpesan kepada santri yang lain jika tidak sempat belajar dengan beliau, agar belajar kepada KH. Arwani Amin. Setelah menyelesaikan Qira’at Sab’iyyah, beliau memohon izin untuk boyong kembali ke Kudus.
Disamping belajar Al-Qur'an, sosok yang dikenal santun ini juga belajar thariqah. Ilmu ini beliau pelajari langsung dari Kyai Sirojuddin di Undaan, Kudus. Hanya saja, sebelum KH. Arwani khatam, KH. Sirojuddin telah terlebih dahulu wafat. Akhirnya beliau belajar kepada KH. Muhammad Mansur Popongan, Solo. KH. Arwani mendalami thariqoh dalam kurun waktu sepuluh tahun. Selama menjadi santri KH. Mansur, mursyid tarekat Naqsabandiyah Kudus ini adalah orang yang sangat taat kepada gurunya.
KH. Arwani Amin menikah dengan salah seorang puteri asal Kudus bernama Naqiyul Khod yang merupakan cucu dari kyai beliau, KH. Abdullah Sajad. Sebelum menikah dengan cucu sang guru, KH. Arwani sempat diminta menjadi menantu oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika nyantri di Jombang dan KH. Munawwir di Krapyak, namun beliau mengikuti wasiat sang kakek, KH. Haramain, yang berpesan agar H. Amin, ayah beliau, berbesan dengan orang Kudus sendiri. Pernikahan beliau berlangsung pada tahun 1935.
Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai dua orang puteri dan dua orang putera. Puteri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zakhali (Ulya) yang meninggal sewaktu masih bayi. Sedangkan kedua putera beliau adalah KH. Ulin Nuha Arwani dan KH. Ulil Albab Arwani yang hingga saat ini meneruskan memimpin pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an dan thoriqoh. Beliau juga mengangkat seorang putera yakni KH. Mansur yang kembali ke rahmatullah pada tahun 2004 silam.
Pada tanggal 1 Oktober 1994 M yang bertepatan dengan 25 Rabiul Akhir 1415 H, KH. Arwani Amin kembali ke rahmatullah setelah sekian lama berjuang untuk agama dan masyarakat. Beliau mewariskan beberapa wasiat dan karya. Salah satu karya beliau adalah Faidl al Barokat dan beberapa karya Kyai besar yang sempat ditashihnya. Beliau juga mencetak santri yang kelak menjadi Kyai besar seperti KH. Abdullah Salam (Kajen, Pati), KH. Tamyiz (Kajen, Pati), KH. Salamun (Kudus), K. Hisyam (Kudus), KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus) dan masih banyak lagi. Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus yang menjadi kiblat pendidikan Al-Qur'an di Jawa Tengah.
Sumber : Majalah Arwaniyyah Edisi 12 1436 H