Habib ldrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibukota Seiwun, Hadramaut, pada 15 Sya'ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1892 M. Sayyid Idrus adalah putra keempat dari enam bersaudara, beliau berasal dari keluarga yang baik, berilmu, beramal, bertaqwa dan lemah lembut. Tiada dari kalangan mereka, selain ulama yang muslih dan da’i. Ayahnya, Habib Salim, adalah seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan Mufti di negerinya. Kakeknya, Habib Alwi, adalah pemimpin dan ilmuwan yang masyhur, termasuk lima ahli fiqh Hadramaut yang fatwa mereka termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyid Abdurrahman al-Masyhur. Kakeknya yang kedua, Al-Habib Saqqaf di antara ulama yang terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di Hadramaut. Ibunya, Syarifah Nur al-Jufri (Andi Syarifah Nur), mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Aru Matoa atau Raja yang dituakan di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya, Al-Allamah al-Habib Salim bin Alwi al-Jufri, termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimba ilmu dari sumber yang murni.
Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan tahun 1916, ayahnya wafat. Habib Idrus kemudian memimpin lembaga pendidikan yang didirikan oleh ayahandanya. Dan pada tahun itu pula Habib ldrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, untuk menggantikan posisi ayahnya, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun. Amanah dan pencapaian itu mengisyaratkan bahwa beliau adalah orang yang berilmu pengetahuan luas dan berwibawa. Walau jabatan sudah di tangan, Habib Idrus muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis terhadap lingkungan sosial di negerinya. Bahkan, ia rela melepas jabatan mufti ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia. Perjalanannya yang kedua di tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris.
Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun. Habib Salim membawa Habib ldrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya, Syarifah Nur aI-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib ldrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib ldrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Setibanya di Hadramaut, Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Dan kemudian menikah dengan Syarifah Bahiyah dan dikaruniai tiga orang putra dan putri, yaitu Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.
Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan lnggris. Beliau bersama sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assaqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan sekutunya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan sekutunya dan mereka adalah orang yang pertama kali menghidupkan api tersebut.
Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk mengubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total. Dengan mengemban tugas politik yang sangat berbahaya itu, Maka Habib Idrus menyusun suatu rencana untuk tujuan menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan dengan cara keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir. Beliau menyadari risiko yang dapat mengancam jiwanya, karena intelijen negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya terhadap langkah yang akan ditempuh nya akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan. Rencana dan segala perlengkapan yang telah disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut, hampir membuahkan hasil jika tidak dibocorkan rahasianya oleh pengkhianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi. Beliau ditangkap tiba-tiba setelah sampai di pelabuhan Aden, kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintahan Inggris untuk keluar dari pelabuhan Aden untuk tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia, sedangkan sahabatnya, Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah Assagaf, memilih kembali ke Mekkah.
Dalam buku Perguruan Islam Al-Khairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Al-Khairaat disebutkan bahwa Indonesia bukan negeri asing dan baru bagi Sayyid Idrus, Ia pertama kali datang ke negeri ini pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi, Kunjungan keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang keras terhadap imprealisme Inggris di negerinya, pilihan ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.
Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya, Syarifah Aminah binti Thalib al-Jufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan. Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu' dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu' kemudian menikah dengan Sayyid Seggaf bin Syekh al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr. H. Salim Seggaf al-Jufri, Menteri Sosial Indonesia ke-26 dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman periode 2005-2009. Habib Idrus kemudian meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo.
Di Solo, dengan dibantu oleh Sayyid Ahmad bin Muhammad (mantan muridnya di Hadramaut) yang sudah lama mukim di Solo, mewujudkan niatnya untuk mendirikan madrasah yang diberi nama “Perguruan Ar-Rabithah Alawiyah". Beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah.
Pada tahun 1926, beliau pindah ke kota Jombang. Habib Idrus berkenalan dengan beberapa tokoh Islam di antaranya KH. Hasjim Asy'ari pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU) di Jombang yang juga pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng. Pertemuan kedua tokoh ini menjalin persahabatan yang sangat baik, karena keduanya sama-sama pimpinan agama, terutama karena keduanya mempunyai ikatan pemahaman yang sama yakni sebagai penganut paham Imam Syafi’i (Ahlussunnah wal-Jama'ah).
Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah. Antara lain di Maluku dan menetap untuk beberapa bulan lamanya sambil melakukan lawatan dan dakwah bebeberapa wilayah kecamatan seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda, Kayoa dan sebagainya, selanjutnya ke Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Irian Barat. Beliau kemudian berlayar menuju Manado, atas ajakan kakak beliau, Habib Alwi bin Salim al-Jufri yang berada di Manado. Ketika kapalnya singgah bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929, Habib ldrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syeikh Nasar bin Khams al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.
Setibanya di Manado, Habib ldrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat Arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat Arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib ldrus yang akan mengusahakannya.
Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa penjajahan Belanda, setelah mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani yakni Ibrahim bin Zain, Sayyid Muhammad bin Muhsin Rifai dan Sayyid Ahmad bin Ali al-Muhdhar di Wani Kecamatan Tawaeli. Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik, menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (depan Masjid Jami' Kampung Baru).
Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya, Al-Allamah al-Habib Salim bin Alwi al-Jufri, termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimba ilmu dari sumber yang murni.
Habib Idrus seringkali diajak oleh ayahnya untuk menghadiri lingkaran studi majelis ta'lim di Taris dan Tarim. Pada usia 12 tahun, Habib Idrus mampu menghafal Al-Qur'an dan menguraikan dua ratus ayat dalam hal hukum Islam. Melihat potensi yang dimiliki Habib Idrus, ayah beliau, Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anaknya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib ldrus kemudian mendalami berbagai llmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, tauhid, mantiq, ma'ani, bayan, badi', nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra.
Selain pada ayahnya, Habib ldrus juga berhasil menyelesaikan pendidikan formalnya pada lembaga perguruan tinggi Ar-Rabithul Alawiyah di Taris, dan banyak memiliki karya-karya dalam bentuk syair-syair berbahasa Arab. Pada usianya yang tergolong amat muda, kurang lebih berusia 19 tahun, ia telah menjadi seorang ulama yang terkenal di tanah airnya.
Habib Idrus juga belajar kepada para ulama dan auliya' di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh al-Bahar, Al-Habib ldrus bin Umar al-Habsyi, dan Al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri di Rubath Tarim.
Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib ldrus berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu, Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya berziarah kepada para ulama dan auliya' yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk meminta berkah, do'a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasani di Mekkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut.
Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan tahun 1916, ayahnya wafat. Habib Idrus kemudian memimpin lembaga pendidikan yang didirikan oleh ayahandanya. Dan pada tahun itu pula Habib ldrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, untuk menggantikan posisi ayahnya, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun. Amanah dan pencapaian itu mengisyaratkan bahwa beliau adalah orang yang berilmu pengetahuan luas dan berwibawa. Walau jabatan sudah di tangan, Habib Idrus muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis terhadap lingkungan sosial di negerinya. Bahkan, ia rela melepas jabatan mufti ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia. Perjalanannya yang kedua di tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris.
Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun. Habib Salim membawa Habib ldrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya, Syarifah Nur aI-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib ldrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib ldrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Setibanya di Hadramaut, Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Dan kemudian menikah dengan Syarifah Bahiyah dan dikaruniai tiga orang putra dan putri, yaitu Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.
Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan lnggris. Beliau bersama sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assaqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan sekutunya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan sekutunya dan mereka adalah orang yang pertama kali menghidupkan api tersebut.
Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk mengubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total. Dengan mengemban tugas politik yang sangat berbahaya itu, Maka Habib Idrus menyusun suatu rencana untuk tujuan menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan dengan cara keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir. Beliau menyadari risiko yang dapat mengancam jiwanya, karena intelijen negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya terhadap langkah yang akan ditempuh nya akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan. Rencana dan segala perlengkapan yang telah disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut, hampir membuahkan hasil jika tidak dibocorkan rahasianya oleh pengkhianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi. Beliau ditangkap tiba-tiba setelah sampai di pelabuhan Aden, kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintahan Inggris untuk keluar dari pelabuhan Aden untuk tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia, sedangkan sahabatnya, Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah Assagaf, memilih kembali ke Mekkah.
Dalam buku Perguruan Islam Al-Khairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Al-Khairaat disebutkan bahwa Indonesia bukan negeri asing dan baru bagi Sayyid Idrus, Ia pertama kali datang ke negeri ini pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi, Kunjungan keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang keras terhadap imprealisme Inggris di negerinya, pilihan ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.
Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya, Syarifah Aminah binti Thalib al-Jufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan. Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu' dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu' kemudian menikah dengan Sayyid Seggaf bin Syekh al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr. H. Salim Seggaf al-Jufri, Menteri Sosial Indonesia ke-26 dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman periode 2005-2009. Habib Idrus kemudian meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo.
Di Solo, dengan dibantu oleh Sayyid Ahmad bin Muhammad (mantan muridnya di Hadramaut) yang sudah lama mukim di Solo, mewujudkan niatnya untuk mendirikan madrasah yang diberi nama “Perguruan Ar-Rabithah Alawiyah". Beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah.
Pada tahun 1926, beliau pindah ke kota Jombang. Habib Idrus berkenalan dengan beberapa tokoh Islam di antaranya KH. Hasjim Asy'ari pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU) di Jombang yang juga pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng. Pertemuan kedua tokoh ini menjalin persahabatan yang sangat baik, karena keduanya sama-sama pimpinan agama, terutama karena keduanya mempunyai ikatan pemahaman yang sama yakni sebagai penganut paham Imam Syafi’i (Ahlussunnah wal-Jama'ah).
Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah. Antara lain di Maluku dan menetap untuk beberapa bulan lamanya sambil melakukan lawatan dan dakwah bebeberapa wilayah kecamatan seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda, Kayoa dan sebagainya, selanjutnya ke Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Irian Barat. Beliau kemudian berlayar menuju Manado, atas ajakan kakak beliau, Habib Alwi bin Salim al-Jufri yang berada di Manado. Ketika kapalnya singgah bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929, Habib ldrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syeikh Nasar bin Khams al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.
Setibanya di Manado, Habib ldrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat Arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat Arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib ldrus yang akan mengusahakannya.
Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa penjajahan Belanda, setelah mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani yakni Ibrahim bin Zain, Sayyid Muhammad bin Muhsin Rifai dan Sayyid Ahmad bin Ali al-Muhdhar di Wani Kecamatan Tawaeli. Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik, menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (depan Masjid Jami' Kampung Baru).
Rupanya di Palu inilah memberikan inspirasi yang kuat untuk tinggal dan menetap dalam rangka melakukan dakwahnya setelah menyaksikan keadaan masyarakat yang masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam. Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin pendirian madrasah karena dianggap bisa memengaruhi pemikiran rakyat saat itu, sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di Tolitoli. Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30 km dari Wani. Madrasah tersebut bernama Al-Khairaat..Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus perizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu. Kepindahan perguruan Al-Khairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari pengawasan Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda dikabarkan juga sempat melarang Perguruan Al-Khariraat karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa al-Ghalayani.
Salah satu strategi yang digunakan agar cepat diterima masyarakat Palu, Sayyid Idrus menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat, Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Yayasan Al-Khairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Intje Ami Dg.Sute. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri, Syarifah Sidah al-Jufri dan Syarifah Sa’diyah al-Jufri.
Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid beliau yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustadz Abdullah Awadh Abdun, yang hijrah dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang.
Tahun 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah, selama delapan bulan ia meminum jus kurma. Walaupun dalam keadaan sakit, ia tetap menjalankan majelis mengajar setiap waktu. Masih dalam suasana ldul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib ldrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari Senin, 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib ldrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.
Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kendaraan lainnya bahkan dengan berjalan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.
Hingga akhir hayatnya, Sayyid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....
Sumber: wikipedia.org
Salah satu strategi yang digunakan agar cepat diterima masyarakat Palu, Sayyid Idrus menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat, Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Yayasan Al-Khairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Intje Ami Dg.Sute. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri, Syarifah Sidah al-Jufri dan Syarifah Sa’diyah al-Jufri.
Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid beliau yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustadz Abdullah Awadh Abdun, yang hijrah dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang.
Tahun 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah, selama delapan bulan ia meminum jus kurma. Walaupun dalam keadaan sakit, ia tetap menjalankan majelis mengajar setiap waktu. Masih dalam suasana ldul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib ldrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari Senin, 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib ldrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.
Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kendaraan lainnya bahkan dengan berjalan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.
Hingga akhir hayatnya, Sayyid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....
Sumber: wikipedia.org