Hikmatul Islam | Nurul Hikmah

  • Adab dan Akhlak
  • Mutiara Hikmah
  • Kisah Hikmah
    • Kisah Hikmah
    • Hikmah Sufi
    • Biografi Ulama
    • Sirah Nabawi
  • Kalam Hikmah
    • Untaian Kalam Hikmah
    • Muhasabah
    • Mahfudzot
    • Tadzkirah
  • Qur'an dan Hadits
    • Nurul Qur'an
    • Mutiara Hadits
  • Do'a dan Shalawat
    • Do'a Harian
    • Shalawat Nabi
    • Lainnya
Home » Archive for September 2017

KH. Abdul Halim Majalengka


Kiai Abdul Halim putra KH. Muhammad Iskandar, lahir dengan nama Otong Syatori. Ia merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah.

Selain mengasuh pesantren, ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi, Majalengka. Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya.

Sejak kecil Kiai Halim tergolong anak yang gemar belajar. Terbukti ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun Kiai Halim belajar Al-Qur'an dan Hadits kepada KH. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri. KH. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka. Sebagai penggemar ilmu, Kiai Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi perjuangannya kelak. Hal itu terlihat ketika Kiai Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.

Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Halim mulai belajar di berbagai Pondok Pesantren di wilayah Jawa Barat. Di antara pesantren yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Halim adalah :
Pesantren Lontang Jaya, Penjalinan, Leuwimunding, Majalengka, pimpinan Kiai Abdullah.
Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon,asuhan Kiai Sujak.
Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kuningan, asuhan KH. Ahmad Shobari.
Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada KH. Agus, Kedungwangi, Kenayangan, Pekalongan, sebelum akhirnya kembali memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus, Cilimus, Kuningan.

Di sela-sela kesibukannya belajar di pesantren, Kiai Halim menyempatkan dirinya untuk berdagang. Ia berjualan minyak wangi, batik, dan kitab-kitab pelajaran agama.

Setelah banyak belajar di beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Halim memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Mekah, Kiai Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekkah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram. Selama menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Halim banyak bergaul dengan KH. Mas Mansur yang kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasjim Asy'ari meninggal pada tahun 1947. Kedekatan Kiai Halim terhadap kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuatnya terkenal sebagai ulama yang amat toleran.

Selain belajar langsung kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Halim juga mempelajari kitab-kitab para ulama lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu lainnya. Selain itu Kiai Halim juga banyak membaca majalah al-Urwatul Wutsqo maupun al-Manar yang membahas tentang pemikiran kedua ulama tersebut.

Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, Kiai Halim kembali keIndonesia untuk mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik santri-santri di daerah tersebut. Setahun kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub, yang kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.

Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) yang didirikan tahun 1912 tersebut tidak hanya bergerak di bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang perekonomian. Hal ini disebabkan Kiai Halim ingin memajukan lapangan pendidikan sekaligus perdagangan. Maka anggota organisasinya bukan saja dari kalangan santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan pedagang. Namun organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu akan mempunyai saingan dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada masa itu cenderung lebih berhasil di bidang perdagangan. Karena pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membela kepentingan pedagang-pedagang Cina yang diberi status hukum lebih kuat dibanding kelompok pribumi.

Persaingan tersebut memuncak ketika pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko milik orang Cina yang terjadi di Majalengka pada tahun 1915. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda membubarkan Hayatul Qulub dan melarang meneruskan segala kegiatannya. Setelah dibubarkannya organisasi tersebut, Kiai Halim memutuskan untuk kembali ke Majlis Ilmi untuk tetap menjaga kepentingan perjuangan Islam, terutama dalam bidang pendidikan

Pada tanggal 16 Mei 1916, Kiai Halim secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yang ia beri nama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin. Lembaga pendidikan ini lebih baik dari sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan lama kursus lima tahun dan sistem koedukasi. Dan bagi yang sudah mencapai kelas tinggi akan menerima pelajaran bahasa Arab. Setahun kemudian, HOS Cokroaminoto memberi dukungan terhadap lembaga pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan diubah namanya menjadi Perserikatan Ulama yang lebih dikenal dengan PUI (Perserikatan Ulama Indonesia). Perserikatan tersebut meemiliki panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan.

Sekalipun aktif dalam berbagai organisasi itu, Abdul Halim tetap mencurahkan perhatiannya untuk memajukan pendidikan. Hal itu diwujudkannya dengan mendirikan Santi Asromo pada tahun 1932. Dalam lembaga pendidikan ini, para murid tidak hanya dibekali dengan pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tetapi juga dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.

Pada masa awal pendudukan Jepang, beberapa partai dan organisasi politik dibekukan. Organisasi keagamaan yang dibolehkan berdiri hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama. PO pun di­bekukan. Namun, Abdul Halim tetap berusaha agar organisasi itu dihidupkan kembali. Barulah pada tahun 1944 usahanya berhasil, tetapi namanya diganti menjadi Perikatan Oemat Islam (POI). Kelak, pada tahun 1952, POI mengadakan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) dan Abdul Halim diangkat sebagai ketua pertamanya.

Pada masa pendudukan Jepang, Abdul Halim diangkat menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam dewan perwakilan). Pada bulan Mei 1945, ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini Abdul Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara.

Sesudah Republik Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, Abdul Halim aktif membantu kebutuhan logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan. Residen Cirebon juga mengangkatnya menjadi Bupati Majalengka.

Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH.M Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya.

Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan dan membina Santi Asromo. Namun, seba­gai ulama yang berwawasan kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga merupakan salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda.

Dalam periode tahun 1950-an Abdul Halim pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante.

KH. Abdul Halim Ulama besar tanah Pasundan ini menghadap Ilahi 7 Mei 1962 dan dikebumikan di Majalengka dalam usia 74 tahun.

Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.

Semoga  rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....

Baca Selengkapnya »



Newer Posts Older Posts

Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf


Silsilah beliau adalah : Habib Abubakar bin Muhammad bin Umar bin Abubakar bin Imam Wadi Al-Ahqaf Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Toha bin Umar Ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawiliyah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khala' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin 'Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin 'Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali-'Uraidhi bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, beliau lahir di Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H. Cahaya kebaikan dan kewaliannya telah nampak dan terpancar dari wajah beliau. Saat usia 3 tahun, beliau mampu mengingat semua kejadian yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu karena kekuatan dan kejernihan hati beliau. Bersama ayahnya beliau pindah ke Gresik. Tak lama kemudian, ayah beliau meninggal dunia di Gresik, saat itu habib Abubakar masih kecil. Mendengar anaknya (Ayah Habib Abubakar) meninggal dunia, maka neneknya di Hadramaut, yaitu Hababah Fatimah binti Abdullah 'Allan, meminta supaya cucunya ini (Habib Abubakar) dikirimkan ke Hadramaut. Maka, pada tahun 1293 H dengan mengikut kenalan keluarga, yaitu, Syeikh Muhammad Bazemur, Habib Abubakar berangkat ke Hadramaut. Kala itu Habib Abubakar masih berusia delapan tahun. Sesampainya di Seiwun, Hadramaut, beliau disambut oleh pamannya, Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Pertama kali melihat Habib Abubakar, sang paman menyambut beliau dengan sangat gembira, seraya mengucapkan bait syair : "Hati para auliya, memiliki ketajaman mata, mereka mampu memandang apa yang tidak dilihat oleh manusia lainnya". Pertama kali, Habib Abubakar tinggal di rumah paman beliau, Al-Habib Syekh bin Umar bin Segaf Assegaf, seorang ulama yang disegani di Hadramaut. Habib Abubakar belajar ilmu fikih dan ilmu tasawuf kepada pamannya. Setiap malam, beliau dibangunkan untuk bersama-sama menunaikan shalat tahajjud, walaupun waktu itu beliau masih dalam usia kecil.

Habib Abubakar juga belajar kepada para ulama dan auliya' di Seiwun, Hadramaut, antara lain : Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahibul maulid simthudurar), Al-Habib Muhammad bin Ali Assegaf, Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas, Al-Habib Abdurrahman al-Masyhur, Al-Habib Syeikh bin Idrus al-'Aydrus, dan lain-lain.

Saat pertama kali melihat Habib Abubakar, Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi telah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abubakar dan yakin bahwa Habib Abubakar, kelak akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi, padahal saat itu Habib Abubakar dalam usia kanak-kanak. Jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut, ketika itu Habib Abubakar masih di tanah Jawa, Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata kepada salah seorang muridnya, "Lihatlah mereka itu, mereka tiga orang besar, nama mereka sama, keadaan mereka sama, dan kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam barzakh, yaitu Al-Qutub Al-Habib Abubakar bin Abdullah al-'Aydrus. Yang kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Al-Quthub al-Habib Abubakar bin Abdullah al-Atthas Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu." Ketika murid tersebut sudah menginjak usia senja, murid tersebut bermimpi melihat Nabi shalllahu 'alaihi wasallam dalam lima malam berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menuntun seorang anak kecil sambil berkata kepadanya, "Terdapat kebenaran bagi yang melihatku di setiap mimpinya. Telah aku hadapkan kepadamu cucuku yang shaleh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assegaf . Perhatikanlah ia." Murid tersebut sebelumnya belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali dalam mimpinya itu. Setelah ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, yang mengatakan, "Lihatlah mereka itu, tiga auliya, nama mereka sama, keadaan mereka sama dan kedudukan mereka sama." Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, murid tersebut meninggal dunia, tepat sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, bahwa ia akan melihat Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf di akhir umurnya. Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari guru beliau, Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, sampai-sampai Habib Ali sendiri yang meminangkan beliau sekaligus merayakan pernikahannya.

Pada tahun 1302 H. Habib Abubakar kembali ke Indonesia bersama Al-Habib Alwi bin Segaf dan langsung menuju Besuki, kota di mana beliau lahir. Di kota tersebut beliau melakukan dakwah. Setelah menetap di Besuki selama tiga tahun, pada tahun 1305 H, beliau pindah ke kota Gresik. Ketika itu usianya baru 20 tahun. Habib Abubakar juga belajar dan mengambil ijazah kepada ulama dan auliya' yang berada di Indonesia, diantaranya : Al-Habib Abdullah bin Ali al-Haddad (Bangil), Al-Habib Ahmad bin Abdullah al-Atthas (Pekalongan), Al-Habib Abubakar bin Umar bin Yahya (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor (Bondowoso).

Di saat menjelang akhir hayatnya, Habib Abubakar selalu mengatakan "Aku berbahagia untuk berjumpa dengan Allah". Beliau melakukan puasa selama 15 hari berturut-turut. Dan pada tahun 1376 H, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf wafat dalam usia 91 tahun. Jasad beliau dimakamkan di samping Masjid Agung Jami', Gresik, Jawa Timur, bersanding dengan makam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assegaf.

Semoga  rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....

Sumber: nurulmusthofa.org

Baca Selengkapnya »




Newer Posts Older Posts

Syeikh Ihsan Jampes Ulama Besar Dari Kediri


Syeikh Ihsan memiliki nama kecil Bakri. Ayahnya, Kiai Muhammad Dahlan, merupakan pendiri Pondok Pesantren Jampes yang kini berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Ihsan, Kediri. Ibunya bernama Nyai Artimah, putri Kiai Ahmad Shaleh, Banjar Melati, Kediri, yang juga mertua dari Kiai Ma'ruf pendiri Pondok Pesantren Kedunglo dan KH. Abdul Karim (Kiai Manaf) adalah pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Bakri kecil terkenal anak yang nakal, namun memiliki kecerdasan yang lebih dibanding teman-teman sebayanya. Ia sering bolos mengaji demi menonton pertunjukan wayang dan bela diri pencak silat. Namun, kenakalan tersebut berhenti ketika ia bermimpi bertemu dengan kakeknya dan ia disuruh berhenti melakukan hal-hal buruk oleh kakeknya di dalam mimpi tersebut.

Sejak kecil, Syeikh Ihsan mendapat pendidikan pendidikan agama dari ayahnya sendiri (Kiai Dahlan) dan Neneknya (Nyai Istianah) yang mengasuhnya sejak usia enam tahun setelah kedua orangtuanya bercerai. Selanjutnya ia meneruskan pendidikannya ke berbagai Pondok Pesantren di Jawa yang rata-rata ia tempuh dengan waktu singkat.

Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Pesantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan memboyong ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.

Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu menyamar. Ia tidak mau dikenal sebagai gus (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, menghilang dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.

Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjadi Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semenjak itu, kepemimpinan Pesantren Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan sukarela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.

Atas kerja keras Syeikh Ihsan, pesantren tersebut menunjukkan perkembangan yang pesat. Jumlah santrinya semakin lama semakin bertambah banyak, yang semula hanya 150 orang menjadi mencapai 1000 orang lebih. Perkembangan ini diikuti pula diperluasnya tanah hingga mencapai 150 hektare. Di samping itu, Syeikh Ihsan juga mulai mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Diniyah Mafatihul Huda pada tahun 1942. Syeikh Ihsan mengasuh Pondok Pesantren Jampes selama 20 tahun.

Pada masa revolusi fisik 1945, Syeikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. Pesantren Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan Republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta do'a restu Syeikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syeikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih Pesantren Jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syeikh Ihsan membuka gerbang pesantrennya lebar-lebar.

Syeikh Ihsan adalah ulama yang terkenal suka membaca dan menulis (mengarang). Beliau selalu mengisi waktu senggangnya dengan membaca dan menulis. Naskah yang beliau tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren. Di antara kitab-kitab yang telah beliau tulis ialah:
  • Tashrih al-Ibarat. Kitab ini ditulis pada tahun 1930, yang merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Natijat al-Miqat karangan KH. Ahmad Dahlan, Semarang. Kitab ini mengulas tentang ilmu falak (astronomi).
  • Siraj al-Thalibin. Kitab ini ditulis pada tahun 1932, yang merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Minhaj al-Abdidin karangan Imam al-Ghazali. Kitab ini mengulas tentang ilmu tasawuf.
  • Manahij al-Amdad. Kitab ini ditulis pada tahun 1944, yang merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Irsyad al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karangan Syeikh Zainuddin al-Malibari. Kitab ini mengulas tentang ilmu tasawuf.
  • Irsyad al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa al-Dukhan, merupakan kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.

Pada hari Senin, 25 Dzulhijjah 1371 H atau bertepatan dengan September 1952, Syeikh Ihsan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada usia 51 tahun. Beliau meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah beliau tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang abadi) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).

Beberapa murid Syeikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah: (1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban; (2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH. Busyairi di Sampang Madura; (5) Kiai Hambili di Plumbon Cirebon; (6) Kiai Khazin di Tegal, dan lain-lain.

Semoga  rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....

Baca Selengkapnya »



Newer Posts Older Posts

Biografi KH. Muhammad Daud Arif


KH. Muhammad Daud Arif adalah seorang ulama kharismatik di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang masyhur dengan keberaniannya mempertahankan kebenaran, apalagi bila menyangkut urusan agama. Beliau selalu disenangi dan disegani baik oleh kalangan pemerintah atau rakyat jelata.

Keseharian beliau sangatlah sederhana dan tawadhu' serta hati hati dalam menangani suatu masalah, bahkan itu bisa terlihat ketika beliau mengambil air wudhu, dengan waktu yang cukup karena hati-hati. Dan itupun harus menggunakan kain basahan khusus. Beliau juga sangat disiplin dalam mendidik murid-murid jika masalahnya ada salah satu lokal yang kosong karena tidak ada gurunya, beliaulah yang memasukinya. Beliau tidak ingin ada siswa yang berkeliaran di luar sementara siswa siswa lain sedang belajar.

Panjang sekali perjalan hidup beliau mulai dari masa pendidikan, mengajar, tokoh masyarakat, wakil rakyat, dan Iain-lain. Berikut beberapa catatan riwayat hidup beliau yang dapat kami himpun dari ahli waris beliau.

Nama
 KH. M. Daud Arif
TTL
Amuntai, Kal Sel 1908
OrangTua

Ayah
H.Arif
Ibu
Hj.Aisyah
Anak
ke 6 dari enam bersaudara
Yaitu
1. H. Mansyur

2. H.Ahmad

3.Hj.Zaleha

4. H. Ujang

5. Sabran

6. KH.M.DaudArif
Menikah
Tahun l930
Istri
Hj. Syamsiah
Anak
1. Saniah (Istri KH. Kasthalani Ali)

2. Afifah (Kepala Madrasah Ibtidaiyyah Putri PHI)

3. Fadhullah Suhaimi (Wakil Dekan FT UISU)

4. M. Idrus

5. M. Nasir (Staf Pengajar STM Medan)

6. Ahmad Madani (PA Padang Sedempuan, Sumut)

A. RIWAYAT PENDIDIKAN
  1. Lima tahun di Goverment, Pontian Johor Malaysia (1923)
  2. Satu tahun di Madrasah As Sahaful 'Arabiyah, Singapore (1924)
  3. Dua tahun di Normal Islam, Amuntai, Kalimantan Selatan (1926)
  4. Enam tahun di Masjid Al Haram Saudi Arabia (1931)
B. RIWAYAT KARIER
  1. Guru Agama di Pontian Johor (1933)
  2. Mudir 'Am Perguruan Hidayatul Islamiyah (PHI) KualaTungkal (1935-1976)
  3. Pemimpin Barisan Hizbullah Kuala Tungkal (1945-1949)
  4. Pemimpin GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) (1946)
  5. Kepala Kantor Urusan AgamaTungkalllir (1946-1957)
  6. Ketua Partai Masyumi Cabang Kuala Tungkal (1947)
  7. Anggota DRDP (Dewan Perwakilan Rakyat Djambi Peralihan) (1955-1959)
  8. Anggota Konstituante (1959)
  9. Ketua Badan Koordinasi Penerangan Agama Kuala Tungkal (1964-1967)
C. PENGALAMAN PENGALAMAN
  1. Tahun 1948, ditawan Belanda dan dibawa ke Tanjung Pinang sewaktu dalam perjalanan dari Kuala Tungkal ke Jambi untuk menghadiri Konferensi Jawatan Agama.
  2. Tahun 1949, setelah Kuala Tungkal diduduki Belanda pada agresi kedua (2), beliau terpaksa mengundurkan diri dari pedalaman dengan mengatur taktik untuk perjuangan.
  3. Tahun 1952, MuktamarAlim Ulama Indonesia di Medan.
  4. Tahun 1953, Muktamar Masyumi di Surabaya.
  5. Tahun 1956, Muktamar Masyumi di Bandung.
  6. Tahun 1961, Beliau bersama istri berangkat ke tanah Mekkah
Demikian riwayat singkat seorang ulama dan juga seorang pejuang untuk bangsa dan negaranya. Beliau meninggal pada tanggal 11 Agustus 1976 bertepatan dengan malam Nishfu Sya'ban akibat serangan darah tinggi, dengan meninggalkan seorang istri dan 6 orang anak dan tiga orang cucu. Hadir dalam ucara pemakaman Bapak Bupati Kabupaten Tanjung Jabung dan unsur Muspida, dan Kantor kantor semua tutup demi menghormati beliau. Kini beliau telah mendahului kita, banyak teladan yang bisa kita ambil dari kepribadian beliau.

Semoga  rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....

Baca Selengkapnya »



Newer Posts Older Posts

Masjid Ladju Sumenep


Foto Fstapico.ru

Masjid Ladju merupakan masjid tertua yang ada di Sumenep. Sejatinya masjid ini bernama Masjid Al-Mukmin, namun masyarakat setempat terlanjur akrab dengan sebutan Masjid Ladju. Dalam bahasa Madura, ladju berarti lama sehingga dinamakan Masjid Ladju secara historis sesungguhnya untuk menunjukkan bahwa masjid ini dibangun lebih dulu ketimbang Masjid Jamik Kabupaten Sumenep.

Masjid ini terletak di Jl. Panglima Sudirman, Kelurahan Kepanjin, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di depan Rumah Dinas Bupati Sumenep atau sebelah utara Kraton Sumenep.

Di dalam Babad Songenep dijelaskan bahwa yang membangun Masegit Ladju (Masjid Lama) adalah Pangeran Anggadipa pada tahun 1639. Pangeran Anggadipa merupakan Tumenggung yang diangkat oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo (Mataram) setelah Sumenep berhasil ditaklukkan oleh pasukan Mataram pada tahun 1624. Ia berasal dari Jepara yang akhirnya menikah dengan putri Raden Martapati dari Arosbaya.

Kedatangan Tumenggung Anggadipa membawa perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan agama Islam di wilayah Sumenep. Perubahan tahun Saka yang berdasarkan peredaran matahari menjadi tahun Jawa berdasarkan kalender Hijriyah yang dipergunakan umat Islam diterapkan di Sumenep dan mendapatkan respon positif dari masyarakat.

Baca juga : Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia 

Dilihat dari bangunannya, Masjid Ladju ini lebih kecil bila dibandingkan dengan MasjidJamik Kabupaten Sumenep. Ruang utama Masjid Ladju hanya memiliki 4 soko (pilar penyangga) dengan jendela masjid yang besar dan lebar di mana di dalamnya terdapat mimbar berukir dengan warna yang khas. Sedangkan pintu utama untuk masuk ke ruang utama tersebut berjumlah tiga yang masih menunjukkan keasliannya. Selain itu, di bagian depan masjid sebelah kiri maupun kanan terdapat prasasti peninggalan kraton bertuliskan aksara Jawa.

Awalnya, Masjid Ladju merupakan masjid kraton yang diperuntukkan bagi kerabat KratonSumenep dan masyarakat sekitar yang hendak menunaikan shalat akan tetapi dalam perkembangannya, ternyata bangunan Masjid Ladju sudah tidak mampu lagi menampung jamaah yang kian bertambah banyak. Sehingga, ketika Kraton Sumenep diperintah oleh Panembahan Sumala atau Pangeran Natakusuma, beliau mulai mendirikan masjid baru yang lebih besar, lebih luas dan lebih megah pada tahun 1779 hingga tahun 1787. Masjid kraton yang baru tersebut dikenal dengan Masjid Jamik Kabupaten Sumenep.

Sumber : situsbudaya

Baca Selengkapnya »


Newer Posts Older Posts

Biografi KH. Arwani Amin


KH. Arwani Amin merupakan sosok ulama kharismatik yang mencintai Al-Qur'an. Beliau dilahirkan di Kudus pada Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H, bertepatan dengan 5 September 1905 M. Sewaktu kecil ia bernama Arwan, nama Arwani beliau gunakan setelah kepulangan beliau dari ibadah haji yang pertama pada tahun 1927 M, dan “Amin” adalah nama yang beliau ‘warisi’ dari ayahnya.

Ayah beliau bernama H. Amin Said, sementara ibunya bernama Hj. Wanifah. Semasa hidup, ayah beliau merupakan sosok yang sangat mencintai Al-Qur'an. Bahkan, menurut cerita, H. Amin selalu mengkhatamkan Al-Qur'an setiap seminggu sekali. Tidak heran jika putra-putrinya menjadi para pecinta Al-Qur'an di sepanjang hidupnya.

Sejak kecil, anak kedua dari 12 bersaudara ini sudah dekat dengan Al-Qur'an dan ilmu agama. Beliau telah belajar pada para ulama di daerah Kudus. Beberapa guru beliau antara lain adalah KH. Raden Asnawi, KH. Imam Haramain yang juga masih merupakan kakeknya, dan KH. Abdullah Sajad yang kemudian menjadi kakek mertuanya atau kakek dari istri beliau, Nyai Naqiyul Khod.

Sejak kecil, beliau memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, yang terletak di sebelah utara Menara Kudus. Di madrasah tersebut, pendiri pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an ini mempelajari ilmu-ilmu agama seperti fikih, tajwid, nahwu, shorof, dan ilmu lain. Ketika remaja beliau dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak mudah putus asa. Setelah beberapa lama belajar di Kudus, beliau melanjutkan belajar di pesantren luar Kudus. Beberapa pesantren tersebut antara lain Pondok Jamsaren (Solo), Pondok Tebuireng (Jombang), Pondok Al-Munawwir (Yogyakarta), dan Pondok Popongan (Solo).

Selama tujuh tahun (1919-1926) belajar di Pondok Jamsaren beliau dikenal sebagai santri yang cerdas dan sering diminta oleh gurunya, KH. Idris, untuk mengajar santri yang lain. Kemudian beliau melanjutkan ke Pesantren Tebuireng dan berguru kepada KH. Hasyim Asy’ari selama empat tahun (1926-1930). Di sana beliau juga diminta untuk mengajar santri lain. Setelah itu, penulis kitab Faidl al-Barakat ini memperdalam ilmu Al-Qur'an kepada KH. Munawwir Krapyak, Yogyakarta selama kurang lebih 10 tahun (1930-1940). Di sini beliau memperdalam ilmu Al-Qur'an, baik bin-nadhor maupun bil-ghaib.

Berkat ketekunannya, beliau berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur'an selama dua tahun, dan mengkhatamkan Qira’ah Sab’iyyahdalam kurun waktu 9 tahun dan mendapatkan ijazah dari Kyai Munawwir. Bahkan KH. Munawwir juga berpesan kepada santri yang lain jika tidak sempat belajar dengan beliau, agar belajar kepada KH. Arwani Amin. Setelah menyelesaikan Qira’at Sab’iyyah, beliau memohon izin untuk boyong kembali ke Kudus.

Disamping belajar Al-Qur'an, sosok yang dikenal santun ini juga belajar thariqah. Ilmu ini beliau pelajari langsung dari Kyai Sirojuddin di Undaan, Kudus. Hanya saja, sebelum KH. Arwani khatam, KH. Sirojuddin telah terlebih dahulu wafat. Akhirnya beliau belajar kepada KH. Muhammad Mansur Popongan, Solo. KH. Arwani mendalami thariqoh dalam kurun waktu sepuluh tahun. Selama menjadi santri KH. Mansur, mursyid tarekat Naqsabandiyah Kudus ini adalah orang yang sangat taat kepada gurunya.

KH. Arwani Amin menikah dengan salah seorang puteri asal Kudus bernama Naqiyul Khod yang merupakan cucu dari kyai beliau, KH. Abdullah Sajad. Sebelum menikah dengan cucu sang guru, KH. Arwani sempat diminta menjadi menantu oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika nyantri di Jombang dan KH. Munawwir di Krapyak, namun beliau mengikuti wasiat sang kakek, KH. Haramain, yang berpesan agar H. Amin, ayah beliau, berbesan dengan orang Kudus sendiri. Pernikahan beliau berlangsung pada tahun 1935.

Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai dua orang puteri dan dua orang putera. Puteri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zakhali (Ulya) yang meninggal sewaktu masih bayi. Sedangkan kedua putera beliau adalah KH. Ulin Nuha Arwani dan KH. Ulil Albab Arwani yang hingga saat ini meneruskan memimpin pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an dan thoriqoh. Beliau juga mengangkat seorang putera yakni KH. Mansur yang kembali ke rahmatullah pada tahun 2004 silam.

Pada tanggal 1 Oktober 1994 M yang bertepatan dengan 25 Rabiul Akhir 1415 H, KH. Arwani Amin kembali ke rahmatullah setelah sekian lama berjuang untuk agama dan masyarakat. Beliau mewariskan beberapa wasiat dan karya. Salah satu karya beliau adalah Faidl al Barokat dan beberapa karya Kyai besar yang sempat ditashihnya. Beliau juga mencetak santri yang kelak menjadi Kyai besar seperti KH. Abdullah Salam (Kajen, Pati), KH. Tamyiz (Kajen, Pati), KH. Salamun (Kudus), K. Hisyam (Kudus), KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus) dan masih banyak lagi. Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus yang menjadi kiblat pendidikan Al-Qur'an di Jawa Tengah.

Sumber : Majalah Arwaniyyah Edisi 12 1436 H


Baca Selengkapnya »



Newer Posts Older Posts

KISAH WAFATNYA NABI ADAM 'ALAIHISSALAM


Dari Uttiy bin Dhamurah as-Sa'di berkata, "Aku melihat seorang Syaikh di Madinah sedang berbicara. Lalu aku bertanya tentangnya." Mereka menjawab, "Itu adalah Ubay bin Kaab." Ubay berkata, "Ketika maut datang menjemput Adam ‘alaihissalam, dia berkata kepada anak-anaknya, 'Wahai anak-anakku, aku ingin makan buah Surga." Lalu anak-anaknya pergi mencari untuknya. Mereka disambut oleh para Malaikat yang telah membawa kafan Adam dan wewangiannya. Mereka juga membawa kapak, sekop, dan cangkul.

Para Malaikat bertanya, "Wahai anak-anak Adam, apa yang kalian cari? Atau apa yang kalian mau? Dan ke mana kalian pergi?" Mereka menjawab, "Bapak kami sakit, dia ingin makan buah dari Surga." Para Malaikat menjawab, "Pulanglah, karena ketetapan untuk bapak kalian telah tiba."

Lalu para Malaikat datang. Hawa melihat dan mengenali mereka, maka dia berlindung kepada Adam. Adam berkata kepada Hawa, "Menjauhlah dariku. Aku pernah melakukan kesalahan karenamu. Biarkan aku dengan Malaikat Tuhanku Tabaraka wa Taala." Lalu para Malaikat mencabut nyawanya, memandikannya, mengkafaninya, memberinya wewangian, menyiapkan kuburnya dengan membuat liang lahat di kuburnya, menshalatinya. Mereka masuk ke kuburnya dan meletakkan Adam di dalamnya, lalu mereka meletakkan bata di atasnya. Kemudian mereka keluar dari kubur, mereka menimbunnya dengan batu. Lalu mereka berkata, "Wahai Bani Adam, ini adalah sunnah kalian."

(Diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaidul Musnad, 5/136).

Ibnu Katsir setelah menyebutkan hadits ini berkata, "Sanadnya shahih kepadanya." (Yakni kepada Ubay bin Kaab). [Al-Bidayah wan Nihayah, 1/98].
Al-Haitsami berkata, "Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad. Rawi-rawinya adalah rawi-rawi hadits shahih, kecuali Uttiy bin Dhamurah. Dia adalah rawi tsiqah." [Majmauz Zawaid, 8/199].

Hadits ini walaupun mauquf (sanadnya tidak sampai pada Nabi ﷺ) pada Ubay bin Kaab, tetapi mempunyai kekuatan hadis marfu’, karena perkara seperti ini tidak membuka peluang bagi akal untuk mengakalinya.

Baca Selengkapnya »

Newer Posts Older Posts

Khidmah Tholabul 'Ilmi


“ Banyak orang yang ILMUNYA sedang-sedang saja, tapi betapa hebat manfaat dan barokahnya karena ditunjangi oleh sifat TAWADHU' dan banyak khidmah THOLABUL 'ILMI."

(KH. Makhsum Jauhari)


۞ اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ۞

Baca Selengkapnya »

Newer Posts Older Posts

Terjemah Kitab Tauhid Sanusiyah


MUQADDIMAH


ILMU TAUHID


  1. Definisinya, secara bahasa adalah Pengetahuan bahwa sesuatu itu satu. Secara syara’ adalah Pengetahuan untuk bisa menguasai penetapan aqidah-aqidah agama, yang didapat dari dalil-dalilnya yang bersifat keyakinan.
  2. Obyek kajiannya adalah Dzat Allah dan rasul-rasul-Nya (tentang hal-hal yang wajib, mustahil dan jaiz), hal-hal yang mungkin/mumkin sebagai perantara untuk menuju keyakinan adanya pencipta, dan hal-hal yang didengar/sam’iyyat/riwayat-riwayat (tentang keyakinan akan hal-hal itu).
  3. Buah hasil ilmu tauhid adalah Ma’rifatullah (mengetahui Allah) dengan bukti-bukti pasti, dan beruntung dengan kebahagiaan abadi.
  4. Keutamaannya adalah merupakan ilmu syara’ yang paling mulia, karena berhubungan dengan Dzat Allah dan rasul-rasul-Nya, serta yang bersangkut paut dengan itu semua.
  5. Pelopor pembuat ilmu tauhid : Abu Hasan al-Asy’ariy (Bashrah, 874-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidiy (Samarkand, wafat 944 M).
  6. Hukum mempelajarinya : wajib ‘ain bagi setiap orang mukallaf, lelaki maupun perempuan.
  7. Masalah-masalahnya : Aturan-aturan atau hukum yang membahas hal-hal yang yang wajib, mustahil dan jaiz.

HUKUM AQLIY


Hukum secara akal teringkas jadi tiga :

  1. Wujub. Wajib adalah sesuatu yang ketiadaannya tidak tergambar (tak bisa diterima) oleh akal, misal manusia itu pasti akan mati, akal tidak menerima adanya manusia yang tidak akan mati alias abadi.
  2. Istikhalah. Mustahil adalah sesuatu yang adanya itu tidak tergambar oleh akal, misal mustahil manusia akan hidup terus, akal tidak menerima adanya manusia yang hidup terus.
  3. Jawaz. Jaiz adalah sesuatu yang ada dan tidak adanya, itu sah/benar menurut akal, misal manusia itu bisa berumur 82 tahun, adanya manusia yang umurnya mencapai 82 tahun, atau tidak berumur 82 tahun, itu bisa diterima oleh akal.

SIFAT WAJIB BAGI ALLAH SWT


Orang mukallaf secara syara’ wajib mengetahui hal-hal yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Termasuk hal yang wajib (pasti) bagi Allah adalah 20 sifat yang terbagi sebagai berikut :
  • Sifat Nafsiyyah 
1. Wujud (ada)
  • Sifat Salbiyyah 
2 Qidam (dahulu tanpa permulaan)
3 Baqa’ (kekal abadi)
4 Mukhalafatul lil khawadits (berbeda dengan makhluq)
5 Qiyamuhu binafsih (berdiri sendiri), tidak membutuhkan tempat dan pembuat (yang mewujudkan)
6 Wahdaniyyah (satu Dzat, sifat dan tindakan-Nya)
  • Sifat Ma’aniy
7. Qudrah (kuasa)
8. Iradah (berkehendak)
Qudrah dan Iradah ber-ta’aluq dengan segala sesuatu yang mungkin adanya (mumkinat)
9. ‘Ilmu (mengetahui)
Ber-ta’aluq dengan segala yang wajib (pasti), jaiz dan mustahil.
10. Hayat (hidup)
Tidak ber-ta’aluq dengan sesuatupun
11. Sama’ (mendengar)
12. Bashar (melihat)
Sama’ dan Bashar ber-ta’aluq dengan segala sesuatu yang ada (maujud)
13. Kalam (berfirman)
Berbicara tanpa dengan huruf dan suara. Kalam ber-ta’aluq dengan segala yang wajib (pasti), jaiz dan mustahil.

Ta’aluq adalah tuntutan sifat terhadap suatu tambahan pada dzat (yang mempunyai sifat itu), sesuai dengan sifat itu. Misal melihat, menuntut adanya barang yang dilihat, nah tuntutan/hubungan antara melihat (sebagai sifat) dengan barang yang dilihat (sebagai tambahan bagi dzat yang melihat), itulah ta’aluq. Berbeda dengan hidup, yang tidak menuntut tambahan lain selain pada dzat yang hidup itu sendiri, sehingga hidup itu tak mempunyai ta’aluq.
  • Sifat Ma’nawiyyah 
Merupakan sifat-sifat yang sangat erat hubungannya (mulazimah) dengan tujuh sifat Ma’aniy sebelumnya. Allah bersifat kuasa (Qudrah), maka keadaan Allah itu pasti Dzat yang Maha Berkuasa (Qoodir) dan seterusnya.

14. Adanya Allah itu Dzat yang berkuasa (Qoodir)
15. Adanya Allah itu Dzat yang berkehendak (Muriid)
16. Adanya Allah itu Dzat yang mengetahui (‘Aalim)
17. Adanya Allah itu Dzat yang hidup (Hayyun)
18. Adanya Allah itu Dzat yang mendengar (Samii’)
19. Adanya Allah itu Dzat yang melihat (Bashiir)
20. Adanya Allah itu Dzat yang berfirman (Mutakallim)

SIFAT MUSTAHIL BAGI ALLAH SWT


Termasuk hal yang mustahil bagi Allah adalah 20 sifat kebalikan dari 20 sifat wajib sebelumnya, yakni :

1. ‘Adam (tiada)
2. Khuduts (baru)
3. Fana’ (rusak, menjadi tiada)
4. Mumatsalatul lil khawadits (sama dengan makhluq). Misal :
  • Berupa jirm (materi benda) yang butuh tempat kosong
  • Berupa ‘irdh (sifat/tabiat/kelakuan) yang menempel pada jirm
  • Berada di arah suatu jirm
  • Mempunyai arah (di atas, di kiri, di selatan dsb.)
  • Dibatasi oleh ruang dan waktu
  • Dzat-Nya disifati dengan hal-hal yang baru
  • Disifati dengan kecil atau besar
  • Mempunyai tujuan-tujuan dengan tindakan dan hukum-hukum-Nya. Jadi dalam penciptaan manusia dan adanya perintah kewajiban shalat, Allah tidak mempunyai tujuan-tujuan tertentu misal supaya mereka menyembah dan ingat kepada Allah. Namun semua itu mempunyai hikmah sehingga tidak sia-sia penciptaannya.
5. Ihtiyajuhu lighairih (tidak berdiri sendiri, butuh yang lain), misal berupa sifat yang ada pada satu tempat, atau membutuhkan pembuat (yang mewujudkan).
6. Ta’adud (berbilangan, berjumlah, tidak esa). Misal :
  • Dzatnya mempunyai kembaran yang lain
  • Benda-benda yang ada itu mempunyai peran dalam menyebabkan sesuatu disamping Allah sendiri. Jadi api itu tidak menyebabkan terbakar, pisau itu tidak menyebabkan terpotong, dan makanan itu tak menyebabkan kenyang, yang menyebabkan (muatstsir) itu semua adalah Allah sendiri.
7. ‘Ajz (lemah) dari segala yang mungkin (mumkin).
8. Karohah (terpaksa). Mustahil Allah menjadikan satu bagian alam disertai rasa terpaksa atas terjadinya hal itu, dengan kata lain tanpa menghendakinya, atau menjadikannya karena lupa, karena sebab tertentu atau karena watak tabiatnya.
9. Jahl (bodoh, tidak mengetahui) terhadap segala yang ma’lum.
10. Maut (mati)
11. Shomam (tuli)
12. ‘Amaa (buta)
13. Bukm (bisu)
14. ‘Aajiz (Dzat yang lemah)
15. Kaarih (Dzat yang terpaksa)
16. Jaahil (Dzat yang bodoh)
17. Mayyit (Dzat yang mati)
18. Ashomm (Dzat yang tuli)
19. A’maa (Dzat yang buta)
20. Abkam (Dzat yang bisu)

SIFAT JAIZ BAGI ALLAH SWT


Sifat Jaiz (wenang) Allah adalah fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu, melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Allah bebas menciptakan seseorang itu besar, gemuk, tinggi, hitam, kaya dan pandai, atau tidak seperti itu.

BUKTI-BUKTI SIFAT WAJIB DAN JAIZ ALLAH

Wujud (Ada)

Bukti wujudnya Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah barunya alam (baru muncul/ada dari yang sebelumnya tidak ada), karena seandainya tidak ada yang menjadikan alam, tapi alam terwujud dengan sendirinya, maka akan terjadi suatu kesamaan antara ada dan tiada atau keunggulan salah satunya tanpa ada sebab yang mengunggulkannya, dan itu mustahil. Gambarannya, ada sebuah timbangan yang kanan-kirinya terdapat benda yang sama berat, tiba-tiba yang kiri turun ke bawah (lebih berat) tanpa ada sebab yang mendorongnya, baik kejatuhan benda lain, dihembus angin atau ditekan dengan tangan, bukankah itu mustahil?. Jadi mustahil adanya benda baru, dari yang tadinya tiada, menjadi ada, tanpa ada yang membuatnya, sehingga setiap benda baru pasti ada penciptanya, yang menciptakannya dari tiada menjadi ada, dan yang menciptakannya itu pasti ada (wujud), karena sesuatu yang tidak ada, pasti tidak bisa mengadakan sesuatu.

Adapun bukti bahwa alam ini baru adalah, karena alam ini menetapi sifat-sifat baru (‘irdh), seperti bergerak dan diam, serta terdiri dari berbagai bentuk (ada hewan, tumbuhan, bebatuan dll). Sedang sesuatu yang tidak bisa terlepas dari sifat baru, pasti merupakan benda baru. Bukti bahwa ‘irdh (sifat, tabiat, kelakuan yang ada pada jirm) itu baru adalah terlihatnya perubahan-perubahan dari tiada menjadi ada, dan dari ada menjadi tiada, misal dari kecil (tidak besar) menjadi besar, dan dari putih (tidak hitam) menjadi hitam, atau sebaliknya.

Qidam (Dahulu tanpa permulaan)

Bukti qidamnya Allah adalah, seandainya Allah tidak qidam, maka pasti Dia khaadits (baru), sehingga butuh yang mewujudkannya (membuatnya baru, mukhdits), akibatnya akan pasti akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rantai).

Daur (lingkaran sebab akibat) ialah adanya masing-masing dari dua benda atau lebih, tergantung pada adanya yang lain. Berarti masing-masing terwujud sebelum sebabnya wujud. Ini jelas salah. Gambaran kemustakhilannya : Tuhan A dicipta oleh tuhan B, tuhan B dicipta oleh tuhan C, tuhan C dicipta oleh tuhan D, sedang tuhan D dicipta oleh tuhan A sendiri…, jadi tuhan A itu ada sebelum dzatnya sendiri ada, karena diciptakan oleh hasil ciptaannya sendiri, ini jelas-jelas salah.

Tasalsul ialah keadaan berturut-turut dan susul-menyusulnya beberapa hal sejak zaman azali (tak ada permulaan), dan tak ada habis-habisnya. Gambaran kemustakhilannya : Tuhan 1 dicipta oleh tuhan 2, tuhan 2 dicipta oleh tuhan 3, tuhan 3 dicipta oleh tuhan 4, dan seterusnya tak terhingga. Ini jelas mustahil.

Baqa’ (Kekal)

Bukti kekalnya Allah adalah, seandainya Allah tidak kekal maka Allah pasti bersifat fana’ (rusak), yang artinya berpeluang menjadi tidak ada (‘adam), tapi ini mustahil, karena Allah sendiri bersifat qidam (dahulu tanpa permulaan, tidak pernah menemui masa ketiadaan), dengan bukti yang telah lalu. Karena ketika tidak kekal, maka wujudnya Allah adalah jaiz (bisa ada, bisa tiada), bukan wajib (pasti ada), sedang sesuatu yang jaiz adanya, pastilah baru.

Mukholafatul lilkhawadits (Beda dengan mahluq)

Bukti Allah berbeda dengan makhluq-Nya adalah, seandainya Allah memiliki sifat-sifat makhluq, seperti berupa ‘irdh atau jirm, maka Allah pastilah baru, sama seperti makhluq-makhluq itu. Hal ini mustahil dengan bukti dari sifat qidam dan baqa yang telah lalu.

Qiyamuhu binafsih (Berdiri sendiri)

Bukti Allah berdiri sendiri adalah, seandainya Allah membutuhkan tempat, maka Allah pasti berupa sifat, padahal sifat itu tidak bisa disifati dengan sifat-sifat ma’aniy maupun ma’nawiyyah, sedang Allah sendiri wajib (pasti) bersifat dengan kedua sifat-sifat itu, jadi Allah pastilah bukan berupa sifat. Salah satu ciri esensi/sifat dan jasmani adalah membutuhkan sandaran atau tempat, seperti tubuh kita, warna, rasa dan lainnya. Seandainya Allah membutuhkan mukhashshish (penentu, yang mewujudkan), pastilah Allah itu baru, bagaimana itu terjadi?! padahal bukti Allah itu bersifat qidam dan baqa telah terang di depan.

Wahdaniyyah (Esa)

Bukti bahwa Allah itu Maha Esa adalah, seandainya Allah tidak esa, pastilah alam ini tidak terwujud sama sekali, karena lemahnya Allah sendiri ketika itu. Misal seandainya di situ ada dua tuhan, maka kemungkinan bisa terjadi perselisihan diantara keduanya, yang satu menghendaki menciptakan sesuatu, sedang yang lain malah menghendaki meniadakannya, maka ketika itu pasti keduanya lemah, karena tujuan keduanya tak mungkin terwujud secara bersamaan, karena mengadakan dan meniadakan adalah perbuatan yang saling berlawanan, tak terwujud pula tujuan salah satunya saja, karena hal itu menunjukkan lemahnya tuhan yang tujuannya tak terwujud, sedang kedua tuhan itu harus mempunyai sifat yang sama, sehingga hal itu pula menunjukkan kelemahan yang lainnya. Diriwayatkan bahwa Ibnu Rusydi pernah berkata : “ketika salah satu tujuannya terwujud, yang lain tidak, maka yang terwujud tujuannya itulah Tuhan yang sebenarnya (al-ilah)”.

Qudrah (Kuasa), Iradah (Berkehendak), ‘Ilmu (Tahu) dan Hayat (Hidup)

Bukti Allah bersifat qudrah, iradah, ‘ilmu dan hayat adalah, seandainya Allah tidak memiliki salah satu dari keempat sifat itu, maka pasti memiliki sifat kebalikannya, sehingga tidaklah tercipta seonggok makhluqpun. Maksudnya seandainya Allah lemah (‘ajz), terpaksa (tak memiliki kemauan, karohah) atau bodoh (jahl), maka pastilah penciptaan alam tak akan terwujud. Seandainya Allah mati (kebalikan dari khayat), maka pastilah tidak mungkin memiliki sifat yang 20 itu, karena syarat untuk memiliki kedua puluh sifat itu adalah harus hidup, sehingga pastilah alam ini tak akan bisa terwujud.

Sama’ (Mendengar), Bashar (Melihat) dan Kalam (Berfirman)

Buktinya adalah Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dan juga seandainya Allah tidak bersifat sama’, bashar, dan kalam, maka pastilah bersifat kebalikannya (tuli, buta dan bisu), sedang sifat kebalikannya itu merupakan kekurangan-kekurangan yang pasti mustahil bagi Allah yang maha sempurna.

Sifat Jaiz

Bukti bahwa melakukan hal-hal yang mungkin atau meninggalkannya adalah wenang bagi Allah yaitu, seandainya melakukan hal itu adalah wajib secara akal atau mustahil secara akal, pastilah sesuatu yang mungkin itu berbalik menjadi wajib atau mustahil, dan itu tak masuk akal, bagaimana mungkin suatu hakikat berubah menjadi hakikat yang lain.

SIFAT-SIFAT WAJIB PARA RASUL

1. Shidiq (benar)
: Sesuainya khobar (informasi) dari mereka dengan kenyataan (realitas) yang ada. Ada tiga macam bentuk shidiq-nya :
  1. benar dalam da’wah kerasulan (risalah) yang dibawanya
  2. benar dalam dalam hukum-hukum yang mereka sampaikan dari Allah
  3. benar dalam ucapan yang berhubungan erat dengan masalah keduniaan, misal mengatakan Zaid telah datang, aku telah makan, aku membelinya dari Umar dsb.
Yang dimaksud di sini adalah nomor 1 dan 2, sedang nomor 3 masuk amanah.

2. Amanah (terpercaya)
: Tiadanya khianat mereka untuk melakukan perbuatan haram atau makruh
: Terjaganya jiwa-raga mereka dari perbuatan yang dilarang, baik haram maupun makruh.
: Sesuatu yang menancap dengan kuat (dimiliki) dalam hati yang mencegah pemiliknya melakukan hal-hal yang dilarang.
: Terjaga dari berbuat dosa (‘ishmah)

3. Tabligh (menyampaikan)
: Menyampaikan apa (wahyu) yang diperintahkan pada mereka untuk disampaikan pada makhluq (umatnya).

Ada tiga macam bentuk wahyu :
  1. Apa yang wajib mereka sampaikan
  2. Apa yang wajib mereka rahasiakan (simpan)
  3. Apa yang mereka diberi pilihan antara disampaikan atau disimpan, terserah.
4. Fathanah (cerdas)[1]
Para rasul pasti bersifat fathanah, yaitu cerdas dan waspada pikirannya, guna mendukung da’wah risalahnya.

Maksud wajib di sini adalah tiada lepasnya sifat-sifat tersebut, meski dengan dalil syara’, karena wajibnya sfat amanah dan tabligh dengan dalil syara’ (naqliy), sedang wajibnya shidiq dengan dalil akal (‘aqliy), walaupun mu’jizat yang sebagai tanda yang menunjukkan shidiq, itu berdasar adat kebiasaan (‘adiy).

SIFAT-SIFAT MUSTAHIL PARA RASUL

1. Kidzb (bohong)
: Tidak sesuainya informasi yang diberikan, dengan realitas yang ada.

2. Khianat
: Melakukan tindakan (termasuk ucapan) yang dilarang baik haram maupun makruh, meski pernah diriwayatkan nabi pernah buang air kecil sambil berdiri, basuhan wudhu berkali-kali pernah dua kali-dua kali, karena itu untuk tasyri’ (memberi pelajaran syara’) dan menerangkan kebolehannya, dan tasyri’ seperti itu adalah wajib bagi beliau.

3. Kitman (menyembunyikan)
: Merahasiakan (menyimpan) sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan, meskipun lupa. Karena mereka tidak boleh lupa terhadap hukum-hukum yang harus mereka sampaikan dari Allah, walaupun dalam masalah lain mereka boleh lupa. Nabi sendiri pernah lupa untuk mengerjakan sholat, tetapi disebabkan kesibukan hatinya mengagungkan Allah.

4. Al-Ghaflah (lalai) & ‘Adamul Fathanah (tidak cerdas)

SIFAT JAIZ PARA RASUL

Para rasul boleh memiliki atau melakukan kelakuan atau watak manusia biasa (al-a’roodh al-basyariyyah), yang tidak mengakibatkan berkurangnya martabat mereka yang luhur, misal sakit, lelah, makan, minum, mengantuk, tidur, beristri dan sebagainya.

BUKTI-BUKTI SIFAT WAJIB DAN JAIZ PARA RASUL

1. Shidiq

Buktinya adalah, seandainya mereka tidak benar, maka pastilah berdusta (kidzb) akan khobar Allah, padahal Allah telah membenarkan mereka dengan penurunan mu’jizat, sesuai dengan ayat : Shodaqo ‘abdii fii kulli maa yab-lughu ‘annii.

Mu’jizat : sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, bersamaan dengan tantangan da’wah risalah, tiada tertandingi.

Syarat-syarat mu’jizat :
  1. Merupakan perbuatan Allah atau yang serupa (meninggalkan perbuatan), supaya menggambarkan keadaannya sebagai pembenar dari Allah bagi orang yang diberinya. Contoh perbuatan : keluarnya air dari celah-celah jejari Nabi. Contoh meninggalkan perbuatan : tidak terbakarnya nabi Ibrohim oleh api.
  2. Merupakan sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, karena melemahkan seseorang tak akan terwujud kecuali dengan hal itu.
  3. Munculnya dari tangan orang yang menda’wahkan kenabian, supaya dimengerti bahwa mu’jizat itu membenarkannya.
  4. Bersamaan dengan da’wah, baik secara hakikat maupun hukumnya, karena mu’jizat merupakan saksi, sehingga tidak boleh sebelum adanya da’wah itu.
  5. Sesuai dengan da’wah (pengakuan), maka yang tidak sesuai, tidak dihitung membenarkan, seperti terbelahnya gunung ketika pengaku rasul mengucapkan : mu’jizatku adalah terbelahnya lautan
  6. Tidak malah mendustakan pengakunya, seperti ucapannya : mu’jizatku adalah berbicaranya batu ini, lalu batu itu berbicara bahwa orang itu tukang mengada-ada dan pendusta.
  7. Tidak bisa ditandingi, kecuali oleh nabi yang semisalnya.
  8. Keluarbiasaan-nya itu tidak terjadi ketika waktu rusaknya aturan adat kebiasaan, sehingga apa yang terjadi ketika hari kiamat tidak termasuk mu’jizat. Ini merupakan syarat tambahan dari sebagian ulama’
Sesuatu yang luar biasa yang keluar dari adat yang tidak memenuhi syarat di atas, tidak bisa disebut mu’jizat, tetapi dinamakan sbb :
  1. irhaash atau ta’siis : suatu tanda dasar bagi kerasulannya, bila terjadi sebelum masa kerasulannya. Misal sebelum jadi nabi, nabi kita selalu dibayang-bayangi oleh awan.
  2. karomah : suatu tanda kemuliaan yang berupa hal luar biasa yang muncul dari tangan seorang yang jelas kebaikan dan keadilannya (wali), tapi tidak mengaku rasul atau nabi. Misal riwayat karomah Sunan Bonang yang bisa merubah buah aren menjadi emas.
  3. ma’unah : suatu pertolongan dari sisi Allah yang berupa hal luar biasa yang muncul dari tangan seorang yang tidak dikenal keadaannya, tidak menampakkan kebaikan tidak pula kefasikan. Misal si Munir, santri yang kelihatannya biasa-biasa saja, terjun dari lantai tingkat empat, dan jatuh di lantai halaman pondok dalam keadaan segar bugar.
  4. istidrooj : suatu tanda penghinaan dari Allah yang berupa hal yang luar biasa yang muncul dari tangan seorang yang fasik, dalam arti bahwa Allah meningkatkannya dengan menampilkan hal itu di tangannya, lantas dia berlarut-larut dalam kefasikan, sehingga bila Allah mengambilnya, maka dia tidak dilepaskan-Nya (mati suu-ul khootimah), na’uudzu billaah min dzaalik.
  5. ihaanah atau khidzlan : suatu tanda pendustaan dan penghinaan dari Allah yang berupa yang berupa hal yang luarbiasa pada tangan seorang pembohong. Misal riwayat Musailamah al-Kadzdzab, yang mengaku menjadi rasul di masa Nabi ﷺ, pernah meludahi mata seorang laki-laki dengan maksud mengobatinya, namun mata itu malah menjadi buta.
  6. sihir : suatu keluarbiasaan yang muncul dari seseorang, yang bisa dipelajari oleh orang lain dan bisa ditandingi.
2. Amanah dan Tabligh

Buktinya adalah, seandainya mereka berkhianat dengan melakukan keharaman dan kemakruhan, maka pastilah keharaman dan kemakruhan itu berbalik menjadi ketaatan (tho’ah) bagi mereka. Karena Allah memerintah kita untuk mengikuti perkataan dan perbuatan mereka, sehingga Allah tidak menyuruh mereka untuk melakukan keharaman maupun kemakruhan. Ini juga bisa dijadikan bukti sifat wajib tabligh.

3. Fathanah

Buktinya ialah seandainya mereka lalai dan tidak cerdas, niscaya mereka tidak mungkin dapat mengemukakakan hujjah (bantahan) terhadap lawan bicara mereka dan tidak mungkin mampu berdebat dengan mereka untuk menanamkan kebenaran pada mereka, sampai mereka merasa puas. Apabila para rasul tidak cerdas, maka jelas bertentangan dengan tugas yang diberikan oleh Allah, yaitu menunjukkan kepada makhluq tentang kebenaran.

4. Sifat Jaiz

Bukti bahwa para rasul itu bersifat jaiz (boleh berperilaku seperti manusia biasa) ialah, disaksikannya realitas sifat-sifat itu pada diri mereka dan sifat-sifat itu tidak mencacatkan atau menjadikan manusia lari dari mereka, misal gila, ayan yang lama, kusta, sopak dan buta. Ada beberapa alasan mengapa mereka tetap boleh berperilaku seperti manusia biasa, diantaranya :
  • untuk melipatgandakan dan mengagungkan pahala yang mereka raih, seperti sakit.
  • untuk tasyri’ (memberi pelajaran hukum syari’at) agar umatnya tahu bahwa hal itu boleh dilakukan
  • untuk menurunkan/mewariskan masalah dunia kepada orang lain (keturunannya), seperti beristri.
  • sebagai peringatan betapa hina derajat dunia di sisi Allah dan tidak ridhonya Allah, dunia sebagai tempat balasan bagi para nabi dan wali-Nya, dengan melihat tingkah laku mereka atas masalah dunia. 

MAKNA SYAHADAT TAUHID DAN SYAHADAT RASUL

Makna dari keyakinan-keyakinan (‘aaqo-id) di atas, semuanya terkumpul dalam ucapan : laa ilaaha illal-lloh muhammadur rosuululloh. Penjelasannya sbb :

1. Karena makna uluhiyyah (ketuhanan) adalah tidak butuhnya Tuhan (al-ilaah) dari segala sesuatu selain-Nya, dan butuhnya segala sesuatu selain-Nya kepada-Nya. Jadi makna laa ilaaha illal-lloh : Tiada dzat yang tidak membutuhkan segala sesuatu selain-Nya, dan tiada Dzat yang segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya, selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2. Adapun ketidakbutuhan (istighnaa’) Allah Subhanahu wa Ta'ala dari segala sesuatu selain-Nya, itu mewajibkan (memastikan) Allah itu wujud (ada), qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatul lil khawadits (beda dengan makhluq), qiyamuhu bi nafsih (berdiri sendiri) dan dibersihkan dari kekurangan-kekurangan. Dan masuk juga ke dalamnya sifat wajib sama’ (mendengar), bashor (melihat) dan kalam (berfirman), karena seandainya sifat-sifat ini tidak wajib bagi Allah, maka pastilah Dia membutuhkan pembuat/pembaharu (muhdits), tempat, atau sesuatu yang menghilangkan kekurang-kurangan itu darinya.

3. Dari ketidakbutuhan Allah juga bisa diambil pengertian, bersihnya Allah dari tujuan-tujuan (ghardh) pada perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum-Nya. Andai tidak bersih, maka pasti membutuhkan sesuatu yang bisa menghasilkan tujuan-Nya. Bagaimana hal itu terjadi? Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan sesuatu selain diri-Nya.

4. Dari ketidakbutuhan Allah juga bisa diambil pengertian bahwa Allah tidak wajib melakukan sesuatu yang mumkin dan tidak wajib meninggalkannya, karena seandainya hal itu secara akal wajib, seperti memberi pahala, maka pastilah Allah Subhanahu wa Ta'ala membutuhkan hal itu, supaya sempurna tujuan-Nya, padahal tidak wajib bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali sesuatu yang sempurna bagi-Nya. Bagaimana itu terjadi?, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak butuh segala sesuatu selain-Nya!.

5. Adapun butuhnya segala sesuatu selain-Nya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka itu mewajibkan (memastikan) Allah bersifat hayat (hidup), qudrah (kuasa), iradah (berkehendak) dan ilmu (mengetahui), karena seandainya Allah tidak bersifat seperti itu, maka tidaklah mungkin untuk bisa mewujudkan makhluq (khawadits) sedikitpun, sehingga tidak ada sesuatupun yang membutuhkan-Nya. Bagaimana itu terjadi?, padahal Allah-lah Dzat yang segala sesuatu selain-Nya, sangat membutuhkan-Nya.

6. Dari butuhnya segala sesuatu selain-Nya pada-Nya, juga mewajibkan Allah bersifat wahdaniyyah (esa), karena seandainya ada dzat kedua selain Allah yang mempunyai sifat ketuhanan (uluhiyyah), maka pastilah tidak ada sesuatupun yang membutuhkan-Nya, karena lemahnya kedua dzat itu, ketika hal itu terjadi. Bagaimana itu terjadi?, padahal Allah-lah Dzat yang segala sesuatu selain-Nya, sangat membutuhkan-Nya.

7. Dari butuhnya makhluq akan Allah, juga bisa diambil pengertian bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa memberi bekas (pengaruh, ta’tsiir) pada sesuatu yang mumkin, sedikitpun. Andai ada, maka pastilah bekas itu tidak membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal Allah adalah Dzat yang segala sesuatu selain-Nya, membutuhkan-Nya. Ketiadaan pemberian pengaruh/bekas pada sesuatu yang mumkin, itu terjadi bila kita mengira-ngirakan ada sesuatu (yang mumkin) yang bisa memberi bekas dengan wataknya (thab’iy). Sedang bila kita mengira-ngirakan sesuatu itu memberi pengaruh/bekas dengan suatu kekuatan yang ada padanya, yang berasal dari Allah, sebagaimana sangkaan banyak orang bodoh (kaum mu’tazilah), itu semua juga mustahil, karena ketika hal itu terjadi, maka Allah jadi butuh suatu perantara (waasithah) dalam penciptaan sebagian perbuatan-Nya. Dan itu semua batal, berdasar apa yang telah kita ketahui dari wajibnya ketidakbutuhan Allah dari segala sesuatu selain diri-Nya.

Sudah cukup jelaslah cakupan makna dari ucapan laa ilaaha illal-lloh, yang mengandung 3 macam hal yang wajib diketahui oleh orang mukallaf, yakni tentang sifat wajib, mustahil dan jaiz yang hak bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

8. Adapun ucapan muhammadur-rasulullah, maka disitu masuk iman kepada nabi-nabi yang lain, malaikat, kitab-kitab samawiy, hari akhir, serta qodho dan qodar. Karena nabi Muhammad datang dengan membenarkan kesemuanya itu.

9. Dari lafadz itu juga bisa diambil pengertian :
  1. wajibnya sifat shidiq bagi para rasul.
  2. mustahilnya sifat kidzb bagi mereka, jika tidak begitu maka mereka tidak akan menjadi rasul yang amanah bagi Allah yang maha mengetahui hal-hal yang samar.
  3. mustahilnya mereka melakukan perbuatan yang dilarang, semuanya, karena mereka diutus supaya manusia tahu perkataan, perbuatan dan diam mereka, sehingga pasti tidak ada yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Allah telah memilih mereka dari semua makhluq, dan memberi mereka amanat atas rahasia wahyu-Nya.
  4. bolehnya mereka punya perilaku manusia umumnya (a’roodh al-basyariyyah), karena hal itu tidak membuat cacat kerasulan mereka dan ketinggian derajat mereka di sisi Allah, bahkan semua itu malah menambah derajat dan kemuliaan mereka.
Jelas sudah makna kedua kalimah syahadat itu, dengan jumlah huruf yang sedikit, mampu mengumpulkan semua hal yang wajib diketahui oleh orang mukallaf, yakni keyakinan-keyakinan tentang iman pada Allah dan utusan-utusan-Nya. Mungkin karena ringkasnya dan kemampuannya mencakup hal itu semua, maka syara’ menjadikannya sebagai terjemahan dari Islam yang ada dalam hati, dan syara’ tidak menerima iman seorangpun, kecuali dengan kalimah syahadat itu. Oleh karenanya, sebaiknya orang yang berakal (‘aqil) memperbanyak mengucapkan kalimah syahadat sambil menghadirkan makna ‘aqo-id iman yang terkandung di dalamnya, sampai maknanya bercampur dengan darah dan dagingnya, sebab tak terbilang jumlah rahasia dan keajaiban/karomah akibat melaksanakan hal itu (memperbanyak dzikir), misal lancar rizkinya dan encer pikirannya.

Menurut imam Syafi’iy, tidak cukup ucapan : Allahu ahad Muhammadur-rasuul sebagai kalimah syahadat, akan tetapi disyaratkan :
  1. memakai lafadz Asyhadu
  2. tahu maknanya, meski secara garis besar. Sehingga seandainya ada orang non-Arab diajari pelafadzan bahasa Arab, lalu ia melafadzkan dua kalimah syahadat (syahadatain) itu, sedang ia tak tahu maknanya, maka belum dihukumi masuk Islam.
  3. tertib/berurutan, syahadat tauhid dulu baru syahadat rasul. Jika terbalik, maka keislamannya belum sah.
  4. bersambung (terus-menerus) antara pelafadzan kedua syahadat itu. Jika setelah membaca syahadat tauhid dipisah oleh waktu yang lama, baru kemudian membaca syahadat rasul, maka keislamannya belum sah.
  5. yang mengucapkannya adalah orang mukallaf (baligh dan berakal). Sehingga Islamnya anak kecil dan orang gila, itu tidak sah, kecuali karena mengikuti orang tua (tab’an).
  6. tidak terang-terangan secara dzahir melakukan sesuatu yang bisa menghapus keislamannya. Sehingga Islamnya orang yang sedang sujud pada berhala, itu tidak sah.
  7. merupakan kemauannya sendiri (ikhtiar, pilihan pribadi, tidak dipaksa). Sehingga tidak sah islamnya orang yang dipaksa, kecuali bila ia termasuk golongan musuh (kharbiy) atau orang murtad, karena memaksa kedua golongan ini untuk masuk Islam, adalah haq (dibenarkan).
  8. mengakui (iqroor) terhadap apa yang pernah ia ingkari, atau menarik kembali kebolehan suatu hal, apabila kufurnya sebab menentang sebagian ijma’ yang diketahui dari agama secara dhoruri (spontan, tanpa dipikir).
Akan tetapi qoul mu’tamad madzhab malikiy menyatakan, tidak disyaratkan seperti itu, tetapi berputar pada lafadz yang menunjukkan pengakuan (iqroor) bahwa Allah itu Maha Esa, dan Muhammad itu Rasulullah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga dan shahabatnya yang baik dan suci. Allahumma tsabbit qolbii ‘alaa diinik, Walhamdu lil-llaahi robbil ‘aalamiin…….

[1] Dalam kitab matan Sanusiyah ini tidak disebutkan, tetapi dalam kitab-kitab tauhid lain ada disebutkan, seperti Husunul Hamidiyah, Jauharut Tauhid, Jawahirul Kalamiyyah dan ‘Aqidatul ‘Awam (Pent.)

( Sumber: pustaka.islamnet.web.id )

Baca Selengkapnya »


Newer Posts Older Posts

KH. Muhammad Ramli Bone


KH. Muhammad Ramli lahir di Bone, Sulawesi Selatan pada tahun 1906 M (1325 H.) dari pasangan H. Masalah dan Hj, Aminah. Kiai Ramli diasuh dan dibesarkan dalam kultur keagamaan yang sangat kuat. Karena ia berasal dari keluarga agamis, maka ia pun menimba ilmu agama pertamanya dari keluarga terdekat, yakni kedua orangtuanya.

Kiai Ramli kemudian menimba ilmu dari para ulama terkenal di daerahnya, seperti KH. Abdul Rasyid dan KH. Abdul Hamid (Qadhi Bone). Selain itu, Ramli kecil juga masuk pendidikan formal berupa Sekolah Rakyat (SR).
Setelah beranjak dewasa, Kiai Ramli berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan belajar ilmu agama selama tiga tahun di sana.

Sepulangnya dari Mekkah Kiai Ramli tetap tawadhu’ dan tidak menyombongkan dirinya. Kiai Ramli mengunjungi para ulama di Sulawesi Selatan dan kembali berguru kepada mereka, seperti KH. Ahmad Bone, Syeikh Mahmud al-Madani, Syeikh Radhi dan Syeikh Hasan al-Yamani.

Karir Kiai Ramli dimulai saat diangkat sebagai badal Syeikh jamaah haji Indonesia asal Sulawesi Selatan, kemudian diangkat menjadi Syeikh jamaah haji selama tiga tahun. Dari sinilah kemudian KH. Ramli diangkat menjadi Imam Masjid Kajuara oleh Arung Kajuara dan kemudian memangku jabatan Qadhi di Luwu. Puncak kariernya dalah menjadi anggota konstituante dari fraksi NU dan diangkat menjadi Imam Masjid Raya Ujung Pandang (Makassar sekarang).

Pada tahun 1946 KH. Muhammad Ramli berangkat menuju Bone untuk terlibat aktif dalam perjuangan Revolusi fisik. Kemudian bersama-sama dengan para ulama lainnya mendirikan perkumpulan yang dinamakan Rabithatul Ulama (RU). Di sini KH. Ramli bertindak sebagai Ketua I sedangkan ketua Umum dijabat oleh KH. Ahmad Bone.

Dalam menjalankan misi dakwahnya, KH. Ramli mengembangkan metode-metode ceramah dan pengajian dengan gaya yang menarik dan disukai oleh masyarakat. Beliau sangat memegang teguh prinsip-prinsip Ahussunnah wal Jama'ah. Aqidah inilah yang diterapkan, baik kepada santri-santrinya maupun kepada masyarakat secara luas.

ANRE Gurutta Haji (AGH) Muhammad Ramli berprinsip bahwa hal paling pokok dalam Islam adalah akidah. Karenanya, ia berusaha semaksimal mungkin untuk menanamkan dasar-dasar akidah ini kepada masyarakat.
Dengan segala daya upaya, KH. Muhammad Ramli memberantas segala kemusyrikan yang masih melanda masyarakat Luwu pada waktu itu. Pada waktu itu masyarakat di Luwu masih banyak yang menyembah pohon-pohon, sungai, batu dan lain sebagainya. Meski dilarang oleh agama, namun pada waktu itu penyembahan-penyembahan seperti ini masih ditolelir oleh pihak kerajaan. Dengan demikian KH. Muhammad Ramli merasa berkewajiban untuk meluruskan kesalahan-kesalahan akidah masyarakatnya ini.

Beliau memberikan penerangan-penerangan dengan sikap yang tegas untuk menghilangkan seluruh praktek-praktek kemusyrikan yang masih melanda masyarakat di Sulawesi Selatan. Karena ketegasan-ketegasan sikap dalam setiap ceramah dan fatwa-fatwanya, maka kehidupan beragama Islam menurut tata cara Ahlussunnah wal Jama'ah di Luwu dapat dirasakan hingga saat ini.

Ketegasan KH. Ramli dalam menata perikeagamaan di masyarakat Luwu, misalnya dapat kita lihat pada perubahan yang dilakukan oleh KH. Ramli mengenai tata cara khutbah Jum’at. Meski gurunya, KH. M As’ad mewajibkan khutbah harus dengan bahasa daerah, namun KH. Ramli dengan mengacu pada kitab-kitab kuning, membolehkan khutbah dengan bahasa Arab.

Jadi menurut KH. Ramli, khatib cukup membaca rukun khutbah dalam bahasa Arab, kemudian menerangkan dengan secukupnya tentang ajakan untuk menambah kebaikan dan ketaqwaan dalam bahasa daerah, bahsa yang dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat setempat. Menurut KH. Ramli, ini adalah bentuk pelaksanaan dari perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengajak manusia pada kebaikan sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka masing-masing.

Dari sisi pergaulan hidup dan sikap keagamaan, meskipun KH. Ramli berpandangan teguh, namun beliau sangat menganjurkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam menampakkan sikap-sikap keagamaan, termasuk cara berdzikir yang dianggap berlebihan oleh masyarakat pada umumnya.

Tahun 1952 KH. A Wahid Hasyim, yang waktu itu menjabat sebagai menteri agama, berkunjung ke markas RU dan merundingkan pembentukan partai politik Islam untuk menghadapi Pemilu 1955. Musyawarah ini memberikan mandat kepada KH. Muhammad Ramli untuk mendirikan partai NU di Sulawesi Selatan.

Melalui partai NU inilah KH. Muhammad Ramli terpilih sebagai anggota Konstituante dari fraksi NU. Ketika sedang menghadiri rapat konstituante di Bandung, rupanya KH. Muhammad Ramli dipanggil menghadap Ilahi dalam usia 52 tahun.

Semoga  rahmat Allah senantiasa tercurahkan ke atas roh beliau, diampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Fatihah....

Baca Selengkapnya »



Newer Posts Older Posts

Permulaan Wahyu


Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan cara permulaan wahyu, ia berkata, "Wahyu pertama diterima oleh Rasulullah ﷺ dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwah (‘uzlah). Beliau melakukan khalwat di gua Hira’ melakukan ibadah selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira’. Pada suatu hari datanglah Malaikat lalu berkata, “Bacalah“. Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.“ Rasulullah ﷺ menceritakan lebih lanjut, Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, "Bacalah“. Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca“. Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah“. Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.“ Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan .. menciptakan manusia dari segumpal darah...“ dan seterusnya.

Rasulullah ﷺ segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya menemui Khadijah lalu berkata, “Selimutilah aku ... selimutilah aku ..“ Kemudian beliau diselimuti hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu beliau berkata kepada Khadijah, “Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa aku tadi begitu?“ Lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya. Selanjutnya beliau berkata, "Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin)." Siti Khadijah menjawab, "Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran."

Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak Rasulullah ﷺ pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seroang anak paman Siti Khadijah. Di masa jahiliyah ia memeluk agama Nasrani. Ia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penglihatannya. Kepadanya Khadijah berkata, "Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak lelaki saudaramu (yakni Muhammad ﷺ)“. Waraqah bertanya kepada Muhammad ﷺ, “Hai anak saudaraku, ada apakah gerangan?“ Rasulullah ﷺ kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialami di dalam gua Hira’. Setelah mendengar keterangan Rasulullah ﷺ, Waraqah berkata, “Itu adalah Malaikat ynag pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu! Rasulullah ﷺ bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?“ Waraqah menjawab, “Ya. Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kaan kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.“ Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah ﷺ tidak menerima wahyu.

Terjadi perselisihan tentang berapa lama wahyu tersebut terhenti. Ada yang mengatakan tiga tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang lebih kuat ialah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa masa terhentinya wahyu tersebut selama enam bulan.

Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Baihaqi meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ﷺ berbicara tentang terhentinya wahyu. Beliau berkata kepadaku, “Di saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Ketika kepala kuangkat, ternyata Malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’“, kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku dan kukakatan kepadanya, Selimutilah aku, selimutilah aku ....selimutilah aku ....! Sehubungan dengan itu Allah kemudian berfirman, “Hai orang yang berselimut, bangunlah dan beri peringatan. Agungkanlah Rabb-mu, sucikanlah pakaianmu, dan jauhilah perbuatan dosa ....“ (QS. Al-Muddatsir).

Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara kontinyu.

Beberapa Ibrah

Hadits permulaan wahyu ini merupakan asas yang menentukan semua hakekat agama dengan segala keyakinan dan syari'atnya. Memahami dan meyakini kebenarannya merupakan persyaratan mutlak untuk meyakini semua berita ghaib dan masalah syari'at yang dibawa oleh Nabi ﷺ. Sebab hakekat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara manusia yang berpikir dan membuat syari'at dengan akalnya sendiri, dan manusia yang hanya menyampaikan (syari'at) dari Rabb-nya tanpa mengubah dan mengurangi atau menambah.

Itulah sebabnya maka para musuh Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fenomena wahyu dalam kehidupan Rasulullah ﷺ. Berbagai argumentasi mereka kerahkan untuk menolak kebenaran wahyu, dan membiaskan dengan ilham (inspirasi) dan bahkan dengan sakit ayan. Ini karena mereka menyadari bahwa masalah wahyu merupakan sumber keyakinan dan keimanan kaum Muslim kepada apa yang dibawa oleh Muhammad ﷺ dari Allah. Jika mereka berhasil meragukan kebenaran wahyu, maka meraka akan berhasil menolak segala bentuk keyakinan dan hukum yang bersumber dari wahyu tersebut. Selanjutnya mereka akan berhasil mengembangkan pemikiran bahwa semua prinsip dan hukum syari'at yang diserukan oleh Muhammad ﷺ hanyalah bersumber dari pemikirannya sendiri.

Untuk merealisasikan tujuan ini, para musuh Islam tersebut berusaha menafsirkan fenomena wahyu dengan berbagai penafsiran palsu. Mereka memberikan aneka penafsiran palsu sesuai dengan seni imajinasi yang mereka rajut sendiri.

Sebagian menggambarkan bahwa Muhammad ﷺ terus merenung dan berpikir sampai terbentuk di dalam benaknya, secara berangsur-angsur, suatu aqidah yang dipandangnya cukup untuk menghancurkan peganisme (watsaniyah). Ada pula yang mengatakan bahwa Muhammad ﷺ belajar Al-Qur'an dan prinsip-prinsip Islam dari pendeta bahira. Bahkan ada yang menuduh Muhammad ﷺ adalah orang yang berpenyakit syaraf atau ayan.

Bila kita perhatikan tuduhan-tuduhan naif seperti ini, maka akan kita ketahui dengan jelas rahasia Ilahi mengapa permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah ﷺ dengan cara yang telah kami sebutkan dalam hadits Bukhari di atas.

Mengapa Rasulullah ﷺ melihat Jibril dengan kedua mata kepalanya untuk pertama kali, padahal wahyu bisa diturunkan dari balik tabir?

Mengapa Rasulullah ﷺ takut dan terkejut memahami kebenarannya, padahal cinta Allah kepada Rasulullah ﷺ dan pemeliharaan-Nya kepadanya semestinya cukup untuk memberikan ketenangan di hatinya sehingga tidak timbul rasa takut lagi?

Mengapa Rasulullah ﷺ khawatir terhadap dirinya kalau-kalau yang dilihatnya di gua Hira’ itu adalah makhluk halus dari jenis jin?

Mengapa Rasulullah ﷺ tidak memperkirakan bahwa itu adalah Malaikat utusan Allah?

Mengapa setelah itu wahyu terputus sekian lama hingga menimbulkan kesedihan yang mendalam pada diri Nabi ﷺ sampai timbul keinginnya sebagaimana riwayat Bukhari untuk menjatuhkan diri dari atas gunung.

Pertanyaan-pertanyaan ini wajar dan alamiah sesuai dengan bentuk permulaan turunnya wahyu tersebut. Dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini kelak, akan terungkap suatu kebenaran yang dapat menghindarkan setiap orang yang berpikiran sehat dari perangkap para musuh Islam yang pengaruh rajutan imajinasi palsu mereka.

Ketika sedang tenggelam dalam khalwatnya di gua Hira’ Rasulullah ﷺ dikejutkan oleh Jibril yang muncul dan terlihat di hadapannya seraya berkata kepadanya, "Bacalah“. Hal ini menjelaskan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber dari inspirasi atau intuisi. Tetapi merupakan penerimaan terhadap haqiqah kharijyah (kebenaran yang bersumebr dari luar) yang tidak ada kaitannya dengan inspirasi, pancaran jiwa, atau instuisi. Dekapan Malaikat terhadapnya, kemudian dilepaskannya sampai tiga kali, dan setiap kali mengatakan "Bacalah“ merupakan penegasan terhadap hakekat wahyu ini. Di samping merupakan penolakan terhadap setiap anggapan bahwa fenomena wahyu tidak lebih sekedar instuisi.

Timbulnya rasa takut dan cemas pada diri Nabi ﷺ ketika mendengar dan melihat Jibril, sampai beliau memutuskan khalwatnya dan segera kembali pulang dengan hati gundah merupakan bukti nyata bagi orang ynag berakal sehat bahwa Nabi ﷺ tidak pernah sama sekali merindukan risalah dibebankan-Nya untuk disebarkannya ke segenap penjuru dunia. Dan bahwa fenomena wahyu ini tidak datang bersamaan ataupun menyempurnakan apa yang pernah terlintas di dalam benaknya. Tetapi fenomena wahyu ini muncul secara mengejutkan dalam hidupnya tanpa pernah dibayangkan sebelumnya. Rasa takut dan cemas tidak akan pernah dialami oleh orang yang telah merenung dan berpikir secara pelan-pelan sampai terbentuk di dalam benaknya suatu aqidah yang diyakini akan menjadi dakwahnya.

Selain itu, masalah inspirasi, instuisi, bisikan bathin atau perenungan ke alam atas, tidak mengundang timbulnya rasa takut dan cemas. Tidak ada korelasi antara perenungan dan perasaan takut dan terkejut. Jika tidak demikian, tentu semua pemikir dan orang yang melakukan kontemplasi akan selalu dirundung rasa takut dan cemas.

Anda tentu mengetahui bahwa perasaan takut, terkejut dan menggigilnya sekujur tubuh tidak mungkin dapat dibuat-buat. Sehingga jelas tida dapat diterima jika ada orang yang mengandaikan Rasulullah ﷺ melakukan hal tersebut.

Keterkejutan dan kecemasan Nabi ﷺ ini semakin nampak jelas pada keraguan beliau, jangan-jangan yang dilihat dan yang mendekapnya di gua Hira’ itu adalah makhluk jin. Ini dapat diperhatikan ketika Nabi ﷺ berkata kepada Khadijah, “Aku khawatir terhadap diriku,“ yakni khawatir terhadap gangguan makhluk jin. Tetapi Khadijah segera menenangkannya, bahwa beliau bukan tipe orang yang bisa diganggu oleh setan dan jin, karena akhlak dan sifat terpuji yang dimilikinya.

Adalah mudah bagi Allah untuk menenangkan hati Rasul-Nya dengan menyatakan, misalnya bahwa yang mengajaknya berbicara tersebut adalah Jibril. Ia adalah Malaikat Allah yang datang mengabarkan bahwa Muhammad ﷺ adalah Rasul Allah kepada manusia. Tetapi, hikmah Ilahiyah ingin menampakkan pemisahan total antara kepribadian Muhammad ﷺ sebelum dan sesudah bi’tsah. Disamping menjelaskan bahwa prinsip aqidah Islam atau perundang-undangan Islam tidak pernah diolah di kepala Rasulullah ﷺ dan tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Kemudian ilham Allah kepada Khadijah untuk membawa Nabi ﷺ menemui Waraqah bin Naufal menanyakan permasalahannya, merupakan penegasan lain bahwa apa yang mengejutkan itu hanyalah wahyu Ilahi yang pernah disampaikan kepada Nabi sebelumnya. Di samping untuk menghapuskan kecemasan yang menyelubungi jiwa Rasulullah ﷺ karena menafsirkan apa yang dilihat dan didengarnya.

Terhentinya wahyu setelah itu selama enam bulan atau lebih, mengandung mu’jizat Ilahi yang mengagumkan. Karena hal ini merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para orientalis yang menganggap wahyu sebagai produk perenungan panjang yang bersumber dari dalam diri Muhammad ﷺ.

Sesuai dengan kehendak Ilahi, Malaikat yang dilihatnya pertama kali di gua Hira’ itu tidak muncul lagi sekian lama, sehingga menimbulkan kecemasan di hati Nabi ﷺ. Kemudian kecemasan itu berubah menjadi rasa takut terhadap dirinya, karena khawatir dimurkai Allah, setelah dimuliakan-Nya dengan wahyu lantaran suatu tindakan yang dilakukannya. Sehingga dunia yang luas ini serasa sempit bagi Nabi ﷺ. Bahkan sampai akhirnya pada suatu hari Malaikat yang pernah dilihatnya di gua Hira’ itu muncul kembali, terlihat di antara langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Muhammad, kamu adalah utusan Allah kepada manusia.“ Dengan rasa takut dan cemas Nabi ﷺ sekali lagi kembali ke rumah, dimana kemudian diturunkan firman Allah, "Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berikan peringatan!“ (QS. Al-Muddatzir 1-2).

Sesungguhnya keadaan dan peristiwa yang dialami oleh Nabi ﷺ ini membuat pemikiran yang mengatakan bahwa wahyu merupakan intuisi sebagai suatu pemikiran gila. Sebab untuk menumbuhkan inspirasi dan instuisi tidak perlu menjalani keadaan seperti itu.

Dengan demikian hadits, permulaan wahyu yang tersebut dalam riwayat shahih di atas merupakan senjata yang menghancurkan segala serangan musuh-musuh Islam menyangkut masalah wahyu dan kenabian Muhammad ﷺ. Dari sini anda dapat memahami mengapa permulaan penurunan wahyu dilakukan Allah sedemikian rupa.

Mungkin musuh-musuh Islam akan kembali bertanya : “Jika wahyu ini diturunkan kepada Muhammad ﷺ. Dengan perantaraan Jibril, mengapa para sahabat tidak ada yang melihat Malaikat tersebut?“

Jawabnya, bahwa untuk menyatakan keberadaan sesuatu tidak disyaratkan harus dapat dilihat. Sebab penglihatan manusia itu terbatas. Apakah setiap sesuatu yang jauh dari jangkauan penglihatan mata manusia itu bisa dikatakan tidak ada? Adalah mudah bagi Allah untuk memberikan kekuatan penglihatan kepada siapa saja yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Berkenaan dengan masalah ini Malik bin Nabi mengatakan, "Buta warna itu menjadi contoh bagi kita bahwa ada sebagian warna yang tidak dapat dilihat oelh sebagian mata. Juga ada sejumlah cahaya infra merah dan ultara ungu yang tidak dapat dilihat oleh mata kita. Tetapi belum terbukti secara ilmiah apakah semua mata juga demikian. Sebab, ada mata yang kurang atau terlalu sensitif.

Kemudian berlanjutnya wahyu setelah itu menunjukkan kebenaran wahyu, dan bukan seperti yang dikatakan oleh musuh-musuh Islam sebagai fenomena kejiwaan. Ini dapat kita buktikan dengan beberapa hal berikut :

1. Perbedaan yang jelas antara Al-Qur'an dan Al-Hadits. Nabi ﷺ memerintahkan para sahabatnya agar mencatat Al-Qur'an segera setelah diturunkan. Sementara untuk hadits, Nabi ﷺ hanya memerintahkan agar dihafal saja. Bukan karena hadits itu sebagai perkataan dari dirinya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan kenabian, tetapi karena Al-Qur'an itu diwahyukan kepadanya dengan makna dan lafadzhnya melalui Jibril, sedangkan hadits itu maknanya dari Allah tetapi lafadzhnya dari Rasulullah ﷺ. Nabi ﷺ sering memperingatkan para sahabat agar jangan sampai mencampuradukan Kalam Allah dengan sabdanya.

2. Nabi ﷺ sering ditanya tentang beberapa masalah, tetapi beliau tidak langsung menjawabnya. Kadang Nabi ﷺ menunggu lama hingga apabila telah diturunkan suatu ayat Al-Qur'an mengenai apa yang ditanyakan tersebut, barula Nabi ﷺ memanggil si penanya kemudian membacakan Al-Qur'an yang baru diturunkan itu. Kadang dalam beberapa hal Nabi ﷺ, melakukan tindakan tertentu, kemudian diturunkan beberapa ayat Al-Qur'an, dan kadang berupa teguran atau koreksi.

3. Rasulullah ﷺ adalah seorang ummi. Tidak mungkin orang seperti ini dapat mengetahui melalui meditasi peristiwa-peristiwa sejarah, seperti kisah Yusuf, ibu Musa, ketika menghanyutkan anaknya di sungai, kisah Fir’aun dan lainnya. Semua ini termasuk hikmah yang dapat diambil dari keadaannya sebagai seorang yang ummi : "Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu Kitab pun, dan kamu tidak pernah menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu, andaikan (kamu pernah membaca dan menulis) benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu)“. (QS. Al-Ankabut : 48).

4. Kejujuran Nabi ﷺ selama empatpuluh tahun bergaul bersama kaumnya sehingga dikenal di kalangan mereka sebagai orang yang jujur dan terpercaya, membuat kita yakin akan kejujurannya terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, selama pengamatan terhadap fenomena wahyu, pasti Nabi ﷺ telah berhasil mengusir keraguan yang membayangi kedua matanya atau pikirannya. Seolah ayat berikut ini merupakan jawaban terhadap penelitian dan kajian yang pertama tentang wahyu : "Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Rabb-mu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu“ (QS. Yunus : 94). Karena itu diriwayatkan bahwa setelah ayat ini diturunkan, Nabi ﷺ bersabda, "Aku tidak lagi dan tidak akan bertanya lagi“.

Wallahu a'lam.

(Sirah Nabawiyah, Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthiy; Bagian Kedua, Sejak Kelahiran Hingga Kenabian)

Baca Selengkapnya »
Newer Posts Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)

Adnow Ads

loading...

Post Terbaru

Translate

SAYANGI YANG ADA DI BUMI, ENGKAU DISAYANGI PENDUDUK LANGIT

قال رسول الله  ﷺ : مَنْ لَا يَرْحَمْ مَنْ فِي الْاَرْضِ لَا يَرْحَمْهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ –الطبراني Rasulullah ﷺ telah bersabda, ”Ba...


Daftar Pondok Pesantren
se-Indonesia


Subscribe To

Posts
Atom
Posts
All Comments
Atom
All Comments

Sparkline


guest counter
Flag Counter

Adnow1

loading...

Jadwal Waktu Shalat dan Imsyakiyah



Silahkan Pilih Kota untuk melihat Jadwal Waktu Shalat
di Kota Anda.


Post Populer

  • SHALAWAT TIBBIL QULUB
    اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا . وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا . وَنُوْرِ اْلأَبْصَ...
  • Risalah Awwal - Pon Pes Attauhidiyyah
    FAS-ALUU AHLADZ- DZIKRI INKUNTUM LAA TA'LAMUUN Bismillaahirrohmaanirrohiim.... Alhamdulillaahilladzii ja'ala lanaal iimaana wal is...
  • Terjemah Al-Akhlaq lil Banin Juz 1
    ★ ﺑﻤﺎﺫﺍ ﻳﻨﺨﻠﻖ ﺍﻟﻮﻟﺪ؟ ★  ﻳﺠﺐ ﻋﻠﮯ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﺨﻠﻖ ﺑﺎﻼﺧﻼﻕ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﺻﻐﺮﻩ، ﻟﻴﻌﻴﺶ ﻣﺤﺒﻮﺑﺎ ﻓﻲ ﻛﺒﺮﻩ: ﻳﺮﺿﮯ ﻋﻨﻪ ﺭﺑﻪ، ﻭﻳﺤﺒﻪ ﺃﻫﻠﻪ، ﻭﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴ...
  • JADILAH ORANG 'ALIM
    قَالَ النَّبِيُّ  ﷺ  كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتَهْلِكَ . رواه بيهقى Nabi...
  • Nadham Aqidatul Awam
    Aqidatul Awam adalah salah satu kitab yang membahas tentang tauhid karya ulama besar dan waliyullah Syeikh Sayyid Ahmad al-Marzuqi al-Mali...

Post Lainnya




Cari Post Lainnya

Kategori

Adab dan Akhlak Aqidah Aswaja Bicara Hidayah Biografi Ulama Bulughul Maram Cahaya Raudhah Do'a Harian Do'a Para Nabi Dalam Al-Qur'an Do'a dan Shalawat Fathul Qarib Fiqih HNA Habaib Habib Abubakar Assegaf Hadits Qudsi Hikmah Sufi Hujjah Aswaja Kajian Fiqih Kajian Tafsir Al-Qur'an Kisah Hikmah Kiswah TV Mahfudzot Masjid Nusantara Mutiara Hadits Mutiara Hikmah Nabi dan Rasul Nisfu Sya'ban Nurul Qur'an Pesan Sahabat Puasa Ramadhan Serba Serbi Shalat Tarawih Shalawat Nabi Sirah Nabawi Tadabbur Daily Tadzkirah Tafsir Qur'an Terjemah Ta'lim Muta'alim Terjemahan Matan kitab Safinatun Najah USWAH (Meneladani Para Pendahulu) Ulama Nusantara Ummul Mukminin Untaian Kalam Hikmah Video Wisata Religi Ziarah Wali

Blog Archive

Report Abuse