Janganlah kita merasa suci di hadapan orang lain apalagi merasa diri paling suci, jangan pula menganggap diri paling baik dengan menganggap rendah orang lain dan jangan pula menganggap diri paling mulia dengan memandang sebelah mata kepada masyarakat kelas bawah, orang yang ekonominya lemah, mempunyai penyakit, pekerjaan sebagai pesuruh, pedagang keliling, petani, nelayan dan mereka yang tidak memiliki status sosial.
Bisa jadi mereka memang bukanlah orang yang dikenal di dunia akan tetapi dikenal dan menjadi bahan pembicaraan penduduk langit, kenapa demikian? karena hati mereka yang bersih dari penyakit dan di dalam hati mereka tiada menyimpan rasa iri, dengki, dendam serta senantiasa tulus menjalani kehidupan dengan banyak bersabar.
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Ditambahkan di dalam surat Al-Hujuraat ayat 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Lalu bagaimana sebaiknya kita bersikap jika dilarang untuk merasa diri seorang yang suci atau merasa seolah-olah lebih shalih dari orang lain jika dibandingkan dengan orang yang terlihat seperti bukan ahli ibadah, jarang puasa dan lain sebagainya.
Sedangkan kita misalnya adalah seorang yang senantiasa menghiasi hari-hari di waktu siang dan malam dengan ibadah, puasa senin-kamis, sedekah di mana-mana hingga ibadah haji atau sering pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umrah.
Merasa suci tidaklah terpuji, karena dalam bahasa Indonesia saja kata-kata merasa konotasinya bisa menjadi negatif, seperti merasa baik padahal belum tentu baik, merasa diri paling shalih padahal masih jauh dari kata shalih apalagi merasa diri suci.
Merasa suci adalah membicarakan tentang keadaan seseorang, sedangkan berusaha untuk menyucikan diri adalah bicara tentang sebuah proses seseorang dalam menggapai ridha Ilahi.
Bicara sebuah keadaan tentu jauh berbeda dengan membicarakan sebuah proses, karena sebuah hasil tidaklah menjadi berarti tanpa proses bermakna disertai dengan kesungguhan seseorang dalam menggapainya.
Islam mengajarkan kepada kita bukan dengan memiliki sifat “merasa”, melainkan berlomba-lomba dalam kebaikan dengan menjadi pribadi menawan yang senantiasa haus akan siraman ruhani yang bisa menyehatkan jiwa dan raga yaitu berusaha memiliki sifat “senantiasa untuk terus menyucikan diri”.
PROSES MENYUCIKAN DIRI
Proses yang sejatinya bisa membawa manusia menuju keberuntungan dan kebahagiaan dalam kehidupannya, senada dengan ayat Al-Qur'an yang terkandung di dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Ditambahkan di surat Al-A’laa ayat 14-15:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”
Inilah hakikat kehidupan dunia, selama ini kita hanya melihat sesuatu dari yang nampak saja yang kita anggap baik. Kita memandang sesuatu yang kita sukai padahal belum tentu di sisi Allah disukai, kita membenci sesuatu hal padahal di dalamnya bisa jadi tersimpan banyak hikmah dan kebaikan yang bisa kita petik, kita memandang orang lain kurang berbahagia dengan kehidupannya, bisa jadi dia lebih berbahagia dari kita.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
"Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An Nisaa: 19)
Betullah Al-Qur'an menggambarkan manusia dengan sifat lemah karena tiada mengetahui hakikat kehidupan kecuali dengan bimbingan dari Allah Ta’ala yang tersimpan di dalam Al-Qur'an sebagaimana dijelaskan di beberapa ayat:
"dan manusia dijadikan bersifat lemah." (QS. An Nisaa: 28)
"dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf: 21)
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." (QS. Ar-Ruum: 7)
"Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan." (QS. As-Sajdah: 17)
Shared by ⓑⓘⓒⓐⓡⓐ ღ ⓗⓘⓓⓐⓨⓐⓗ
Bisa jadi mereka memang bukanlah orang yang dikenal di dunia akan tetapi dikenal dan menjadi bahan pembicaraan penduduk langit, kenapa demikian? karena hati mereka yang bersih dari penyakit dan di dalam hati mereka tiada menyimpan rasa iri, dengki, dendam serta senantiasa tulus menjalani kehidupan dengan banyak bersabar.
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Ditambahkan di dalam surat Al-Hujuraat ayat 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Lalu bagaimana sebaiknya kita bersikap jika dilarang untuk merasa diri seorang yang suci atau merasa seolah-olah lebih shalih dari orang lain jika dibandingkan dengan orang yang terlihat seperti bukan ahli ibadah, jarang puasa dan lain sebagainya.
Sedangkan kita misalnya adalah seorang yang senantiasa menghiasi hari-hari di waktu siang dan malam dengan ibadah, puasa senin-kamis, sedekah di mana-mana hingga ibadah haji atau sering pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umrah.
Merasa suci tidaklah terpuji, karena dalam bahasa Indonesia saja kata-kata merasa konotasinya bisa menjadi negatif, seperti merasa baik padahal belum tentu baik, merasa diri paling shalih padahal masih jauh dari kata shalih apalagi merasa diri suci.
Merasa suci adalah membicarakan tentang keadaan seseorang, sedangkan berusaha untuk menyucikan diri adalah bicara tentang sebuah proses seseorang dalam menggapai ridha Ilahi.
Bicara sebuah keadaan tentu jauh berbeda dengan membicarakan sebuah proses, karena sebuah hasil tidaklah menjadi berarti tanpa proses bermakna disertai dengan kesungguhan seseorang dalam menggapainya.
Islam mengajarkan kepada kita bukan dengan memiliki sifat “merasa”, melainkan berlomba-lomba dalam kebaikan dengan menjadi pribadi menawan yang senantiasa haus akan siraman ruhani yang bisa menyehatkan jiwa dan raga yaitu berusaha memiliki sifat “senantiasa untuk terus menyucikan diri”.
PROSES MENYUCIKAN DIRI
Proses yang sejatinya bisa membawa manusia menuju keberuntungan dan kebahagiaan dalam kehidupannya, senada dengan ayat Al-Qur'an yang terkandung di dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Ditambahkan di surat Al-A’laa ayat 14-15:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”
Inilah hakikat kehidupan dunia, selama ini kita hanya melihat sesuatu dari yang nampak saja yang kita anggap baik. Kita memandang sesuatu yang kita sukai padahal belum tentu di sisi Allah disukai, kita membenci sesuatu hal padahal di dalamnya bisa jadi tersimpan banyak hikmah dan kebaikan yang bisa kita petik, kita memandang orang lain kurang berbahagia dengan kehidupannya, bisa jadi dia lebih berbahagia dari kita.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
"Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An Nisaa: 19)
Betullah Al-Qur'an menggambarkan manusia dengan sifat lemah karena tiada mengetahui hakikat kehidupan kecuali dengan bimbingan dari Allah Ta’ala yang tersimpan di dalam Al-Qur'an sebagaimana dijelaskan di beberapa ayat:
"dan manusia dijadikan bersifat lemah." (QS. An Nisaa: 28)
"dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf: 21)
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." (QS. Ar-Ruum: 7)
"Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan." (QS. As-Sajdah: 17)
Shared by ⓑⓘⓒⓐⓡⓐ ღ ⓗⓘⓓⓐⓨⓐⓗ